Oleh: Saini
Pilkada sudah hampir di depan mata. Hiruk pikuk politik mulai menggema di seluruh penjuru negeri. Kandidat politik saling berlomba menjanjikan masa depan yang lebih baik, tetapi ada satu hal yang sering luput dari perhatian mereka: keluarga. Ketahanan keluarga, sebagai benteng terakhir dari kehidupan sosial, perlahan terguncang oleh berbagai kebijakan yang tidak selalu pro-keluarga. Dalam dinamika politik yang semakin keras, keluarga sering kali menjadi korban yang paling rentan. Namun, apakah para pemimpin kita sadar bahwa kekuatan bangsa terletak pada kekuatan keluarga?
Keluarga adalah inti dari masyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Tahrim ayat 6,
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا”
(Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka). Ayat ini menekankan pentingnya menjaga keluarga dalam setiap aspek kehidupan, termasuk politik. Jika kebijakan politik tidak memperhatikan kesejahteraan keluarga, dampaknya bisa merusak tatanan sosial yang lebih besar.
Salah satu aspek penting dari ketahanan keluarga adalah kesejahteraan ekonomi. Kebijakan ekonomi yang digulirkan oleh pemerintah dapat menjadi pedang bermata dua bagi keluarga. Subsidi pendidikan, tunjangan anak, dan akses terhadap layanan kesehatan adalah contoh kebijakan pro-keluarga yang bisa memperkuat struktur keluarga. Namun, di sisi lain, kenaikan harga bahan pokok dan krisis lapangan pekerjaan sering kali menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi keluarga. Ketika ekonomi keluarga goyah, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga kerap kali muncul sebagai dampak lanjutannya.
Di tengah peningkatan politik identitas, isu-isu seputar keluarga juga kerap digunakan sebagai alat politik. Misalnya, pernikahan lintas agama yang dilarang oleh sebagian kalangan kerap dijadikan bahan kampanye untuk meraih suara dari kelompok mayoritas. Dalam konteks ini, politik identitas mempersempit ruang kebebasan keluarga untuk memilih sesuai keyakinan dan tradisi mereka sendiri. Padahal, dalam Islam, meskipun ada batasan, keputusan pernikahan harus dilandasi atas pertimbangan kafaah (kesetaraan) yang lebih dalam daripada sekedar perbedaan agama atau suku. Hadits Rasulullah SAW juga mengingatkan,
“إذا أتاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه”
(Jika datang kepadamu seorang lelaki yang agamanya dan akhlaknya baik, maka nikahkanlah dia).
Kebijakan negara yang tidak peduli pada keluarga bisa memperburuk situasi krisis dalam keluarga. Perceraian, misalnya, tidak hanya berdampak pada suami dan istri, tetapi juga anak-anak. Ketika negara tidak menyediakan dukungan psikologis dan sosial yang memadai bagi keluarga yang terancam perceraian, maka ketahanan keluarga bisa runtuh. Begitu pula dengan kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun undang-undang perlindungan terhadap kekerasan sudah ada, pelaksanaan di lapangan sering kali tidak efektif. Akibatnya, korban kekerasan, terutama perempuan dan anak-anak, kehilangan perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan.
Perubahan sosial akibat urbanisasi juga memberikan tantangan baru bagi keluarga. Banyak keluarga yang harus beradaptasi dengan kehidupan kota yang penuh tekanan ekonomi dan sosial. Dalam konteks ini, peran negara seharusnya lebih aktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung keluarga. Misalnya, dengan menyediakan hunian yang layak dan terjangkau, memperbaiki sistem transportasi publik, serta memberikan akses terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan yang merata.
Globalisasi juga membawa tantangan tersendiri bagi ketahanan keluarga. Nilai-nilai tradisional yang dulu menjadi landasan keluarga kini digerus oleh budaya konsumtif dan individualis yang datang dari luar. Kebijakan yang terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi sering kali mengabaikan aspek sosial yang lebih mendalam, seperti waktu berkualitas antara anggota keluarga. Padahal, dalam Islam, keluarga adalah tempat pertama untuk belajar tentang kehidupan dan moralitas. Jika keluarga hancur, maka generasi berikutnya akan kehilangan pondasi moral yang kuat.
Salah satu solusi yang dapat diambil oleh pemerintah adalah memperkuat kebijakan pro-keluarga dalam agenda politik. Partai-partai politik harus menyadari bahwa menjaga ketahanan keluarga bukan hanya soal kampanye, melainkan investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa. Kebijakan yang mendukung pemberdayaan keluarga, seperti cuti melahirkan yang lebih panjang, jam kerja fleksibel, dan dukungan terhadap usaha keluarga, bisa membantu memperkuat ikatan keluarga di tengah tekanan ekonomi dan sosial.
Namun, perlu diingat, kebijakan pro-keluarga tidak boleh berhenti pada tataran normatif saja. Implementasi yang efektif menjadi kunci keberhasilan kebijakan tersebut. Sebagai contoh, tunjangan keluarga yang diberikan oleh pemerintah harus dipastikan benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan, bukan hanya menjadi alat untuk meraih simpati politik semata. Transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan ini menjadi sangat krusial.
Pada akhirnya, ketahanan keluarga juga harus dibangun dari dalam, dengan pondasi moral dan spiritual yang kuat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW,
“خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي”
(Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik kepada keluarganya, dan aku adalah yang terbaik kepada keluargaku). Ini menunjukkan betapa pentingnya peran setiap individu dalam keluarga untuk menciptakan harmoni dan kesejahteraan di rumah.
Ketahanan keluarga bukanlah isu yang bisa dianggap sepele, terutama di tengah kompleksitas politik yang ada. Jika para pemimpin bangsa benar-benar peduli terhadap masa depan negara ini, mereka harus mulai dari yang paling dasar: keluarga. Kebijakan yang mendukung keluarga adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan masyarakat yang kuat, beradab, dan sejahtera. Ketika keluarga kokoh, maka bangsa pun akan lebih siap menghadapi berbagai tantangan zaman.
*Dosen Hukum Keluarga Islam STIS Nurul Qarnain Jember