Saya sebenarnya bukanlah orang yang biasa ikut meramaikan hiruk pikuk diskusi medsos. Selama ini, saya lebih menikmati saat menjadi silent reader terkait isu-isu panas atau hangat di medsos. Akan tetapi, terkait isu baru-baru ini, saya tertarik untuk ikut menulis, bukan hanya karena saya merupakan santri Ponpes yang sempat dipimpin oleh alm. KHR. As’ad, tetapi karena melihat beberapa alumni dan teman seangkatan yang bereaksi terlalu emosional tentang diskusi ini. Padahal, status yang ditulis oleh Gus Kholili Kholil tidak bisa dibantah dengan sikap emosional, tetapi harus dibantah menggunakan argumentasi ilmiah khas pesantren. Emosi dan caci maki tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan bisa memperuwetnya.
Gus Kholili Kholil, secara tegas memberikan tiga argumen yang menguatkannya meragukan kisah Tasbih dan Tongkat yang diceritakan oleh KHR. As’ad. Maka selayaknya, untuk menggugurkan keraguannya, tiga argumen itu perlu dibantah atau dikritisi, atau minimal ditakwil.
Pertama, Kiai Taha tidak mencatatkan kisah 66 ulama yang berkumpul di kediamannya untuk sowan ke Syaichona Cholil Bangkalan untuk meminta restu pendirian NU. Padahal, Kiai Taha termasuk orang yang rajin mencatat segala peristiwa di sekitarnya. Yang tercatat, justeru pertemuan para ulama di kediamannya pada tahun 1931 (setelah Organisasi NU bediri). Gus Kholili kemudian mengisyaratkan bahwa KHR. As’ad mungkin memaksudkan pertemuan tahun 1931 ini. Atau bisa saja pertemuan serupa pernah terjadi sebelumnya, tetapi tidak ditemukan catatan.
Argumen pertama ini sekilas sangat kuat, tetapi justeru kalimat terakhir menjadi senjata makan tuan. Fakta sejarah tidak melulu harus didukung oleh catatan. Atau, kalaupun Kiai Taha adalah orang yang rajin mencatat, bisa saja catatan tentang pertemuan para ulama yang terjadi sebelum lahirnya NU, keselip atau hilang. Tidak diketahuinya suatu kejadian bukan berarti kejadian tersebut tidak pernah terjadi. عدم العلم بشيء ليس دليلا على عدمه. Terlebih, sebagaimana komentar KH. Afifuddin Muhajir, Kiai Taha bukanlah nabi yang luput dari alpa dan ‘Catatan Jengkabuan’ bukanlah al-Qur’an yang tidak menyisakan kekurangan atau dapat terjaga hingga hari kiamat.
Kedua, Gus Kholili berargumen bahwa catatan primer tentang sejarah berdirinya NU di tahun-tahun awal tidak pernah menyebut kisah tasbih dan tongkat sebagaimana yang dikisahkan oleh KHR. As’ad. Kisah tasbih dan tongkat baru muncul pada sejarah berdirinya NU yang ditulis oleh Chairul Anam setelah mendapatkan kisah tersebut pada tahun 1982. Karena baru diketahui pada tahun 1982, maka cak Anam menduga bahwa kisah itu dituturkan untuk meredam perseteruan kubu Idham Chalid dan Kiai Ali Ma’sum.
Sepintas, argumen kedua ini cukup kuat. Sebenarnya, saya juga penasaran, mengapa kisah tasbih dan tongkat ini baru tersebar tahun 1980-an. Apakah pada tahun-tahun sebelumnya tidak pernah ada penuturan kisah tasbih dan tongkat ini? Kalau memang tidak pernah, maka kisah yang dituturkan pada tahun 1982 menjelang Munas (1983) dan Muktamar (1984) Situbondo, patut dicurigai. Namun, kalau pada tahun-tahun sebelumnya kisah ini sudah pernah dituturkan, maka dugaan cak Anam terbantahkan dan argumen kedua Gus Kholili juga terbantahkan.
Setelah menelusuri ‘Beranda FB’, saya menemukan komentar yang menyatakan bahwa kisah tasbih dan tongkat pernah dituturkan oleh KHR. As’ad pada tahun 1960 s.d 1970-an kepada para santri. Komentator ini bukan sembarang orang, melaikan penulis buku Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat yang terbit perdana pada tahun 2003, Syamsul A Hasan. Penulis buku tersebut mengaku telah melakukan riset jauh hari sebelum 2003 dengan bertanya kepada santri-santri senior KHR. As’ad yang pernah mondok tahun 1960 dan 1970-an. Kalau melihat time line penerbitan buku (2003), maka penelitiannya pasti dilakukan paling tidak pada tahun 2000 s.d 2002 akhir. Tahun-tahun ini, masih sangat mungkin (bahkan banyak) bisa ditemui santri-santri senior yang masih hidup. Profil penulis juga merupakan seorang peneliti serius dan telah melakukan banyak penelitian hingga saat ini.
Pertanyaan berikutnya, kalau memang sudah pernah dituturkan pada 1960-an dan 1970-an, mengapa baru booming pada 1980-an? Kemungkinan jawabannya ada dua. Pertama, para santri pada 1960-an atau 1970-an tidak punya motif yang mendorong mereka untuk memasyhurkan kisah ini. Kisah ini dituturkan murni semata-mata untuk memupuk semangat juang santri dalam memakmurkan NU, berkhidmah untuk NU, dan loyal kepada NU, dan terutama khidmah kepada guru. Kedua, sebelum tahun 1980-an, kisah ini hanya dituturkan secara lisan. Tapi pasca 1980-an, kisah ini mulai direkam. Terlebih, pada tahun 1980-an lah Ponpes yang diasuh oleh KHR. As’ad juga mulai dikenal masyarakat luas, hingga luar Jawa. Sehingga, apapun yang terjadi atau kisah yang disampaikan oleh pengasuh, mulai menyebar ke berbagai daerah.
Lalu, kalau memang kisah itu sudah sering diceritakan kepada para santri, kenapa tidak dimuat oleh sumber-sumber primer sejarah NU pada tahun-tahun awal berdirinya? Sebagaimana jama’ diketahui, bahwa KHR. As’ad juga merupakan salah satu mursyid thariqah. Kisah tasbih dan tongkat, lebih menitikberatkan kepada nilai khidmah seorang murid terhadap mursyidnya. Perintah Syaichona Cholil dan KH. Hasyim Asy’ari kepada KHR. As’ad untuk ‘wara-wiri’ Bangkalan – Tebuireng diposisikan sebagai permintaan seorang mursyid kepada muridnya, penuh nuansa spritual. Tentu saja, hal semacam ini bukanlah sesuatu yang pantas dibicarakan kepada sembarang orang yang tidak memiliki ikatan mursyid-murid atau Kiai-Santri. Bahkan, rekaman yang memperlihatkan KHR. As’ad menceritakan kisah ini pada tahun 1980-an, merupakan wejangan guru kepada para santrinya. Perhatikan saja bahasa yang digunakan, bahasa Madura. Jadi, sejatinya memang bukan untuk khalayak umum. Begitu pula pada tahun-tahun awal berdirinya NU, KHR. As’ad tidak punya kepentingan untuk menceritakan kisah spritualnya kepada orang asing. Terlebih, siapa sesosok As’ad yang masih berusia 26-27 tahun di hadapan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahhab, dll sehingga layak dijadikan narasumber penting dalam sejarah berdirinya NU pada tahun-tahun awal?
Dalam Ghayatul Wushul disebutkan bahwa salah satu tanda kabar palsu adalah ما نقل آحادا فيما تتوفر الدواعى على نقله تواترا (kisah yang diriwatkan secara Ahad padahal ia memiliki motif/alasan untuk diriwayatkan secara mutawatir). Dalam kisah Tasbih dan Tongkat, walaupun riwayat Ahad, tetapi motif untuk menyebarluaskannya menjadi mutawatir tidak terpenuhi.
Argumen ketiga Gus Kholili justeru absurd. Apa hubungannya kebenaran kisah tasbih dan tongkat dengan penolakan sebagian santri senior Syaichona Cholil untuk terlibat dalam NU? Penolakan ini juga tidak menafikan bahwa Syaichona sangat merestui berdirinya NU.
Simpulan akhirnya, argumen-argumen yang disampaikan oleh Gus Kholili sesuai dengan apa yang disampaikan oleh KH. Afifuddin Muhajir, tidak bertolak belakang dengan kisah Tasbih dan Tongkat. Argumen-argumen di atas tidak saling menafikan terhadap kisah tasbih dan tongkat. KH. Afif menambahkan, bahwa bila ada dua kisah saling menafikan (bertolak belakang), maka yang bisa dijadikan pegangan adalah kisah yang disampaikan oleh pelaku utama. Terlebih, bila tidak saling menafikan.
Izzul Madid
Sukorejo, 30-07-2025









