Cyberstalking dan Ancaman bagi Stabilitas Pernikahan di Era Digital

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

Oleh : Saini

Bagaimana kehadiran teknologi yang seharusnya mempermudah kehidupan kita malah menjadi ancaman bagi kepercayaan dalam pernikahan? Di era digital, ancaman ini semakin nyata melalui fenomena cyberstalking, yang merujuk pada perilaku memantau, mengintai, atau bahkan mengendalikan aktivitas pasangan secara online. Meskipun pada awalnya mungkin bertujuan untuk memastikan keamanan, namun sering kali perilaku ini berkembang menjadi upaya mengontrol dan melanggar privasi pasangan.

Perubahan besar dalam pola komunikasi menjadi salah satu alasan utama cyberstalking muncul dalam rumah tangga. Dahulu, komunikasi antara pasangan lebih banyak terjadi secara langsung, sementara di era digital, pasangan bisa saja memanfaatkan teknologi untuk memantau lokasi atau aktivitas online pasangan mereka. Teknologi yang memberikan akses mudah terhadap informasi pribadi ini dapat menciptakan rasa tidak aman dan kecurigaan, yang akhirnya memicu konflik dalam hubungan.

Fenomena ini semakin diperparah dengan penggunaan media sosial yang sangat terbuka. Dengan sekali klik, seseorang bisa melihat siapa saja yang berinteraksi dengan pasangan mereka, foto apa saja yang disukai, atau aktivitas yang dibagikan. Meskipun beberapa pasangan merasa tidak ada yang salah dengan saling “mengawasi” demi alasan keamanan, faktanya, perilaku ini cenderung mengarah pada pelanggaran privasi yang merusak rasa saling percaya. Seiring berjalannya waktu, cyberstalking bisa menjadi bentuk kekerasan emosional yang membahayakan kesehatan mental pasangan.

Dampak dari cyberstalking tidak hanya terjadi pada hubungan itu sendiri, tetapi juga pada kesehatan mental individu. Seseorang yang merasa terus diawasi mungkin mengalami stres, kecemasan, atau bahkan depresi. Perasaan selalu diawasi menciptakan tekanan psikologis yang membuat seseorang tidak nyaman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ketika ketidaknyamanan ini dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin hubungan akan semakin tegang dan berujung pada perceraian.

Tidak hanya pasangan yang menjadi pelaku cyberstalking, teknologi juga memudahkan pihak ketiga untuk ikut campur dalam hubungan rumah tangga. Ada banyak kasus di mana orang tua, teman, atau bahkan mantan kekasih menggunakan teknologi untuk memantau dan mempengaruhi hubungan pasangan. Campur tangan ini, meskipun sering kali dimaksudkan untuk membantu, malah dapat memperkeruh suasana dan menambah konflik.

Cyberstalking sering kali dipicu oleh kurangnya rasa percaya dalam hubungan. Kecurigaan yang berlebihan membuat salah satu pihak merasa perlu untuk selalu mengetahui apa yang dilakukan pasangannya. Padahal, dalam sebuah pernikahan yang sehat, kepercayaan adalah kunci utama untuk mempertahankan keharmonisan. Ketika kepercayaan tersebut dirusak oleh cyberstalking, sulit bagi pasangan untuk kembali membangun fondasi hubungan yang kokoh.

Meski cyberstalking seringkali dianggap sebagai bentuk “cinta berlebihan” atau “perlindungan”, perilaku ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan digital. Sama halnya dengan kekerasan fisik atau verbal, kekerasan digital melalui cyberstalking memiliki dampak merusak yang tak kalah serius. Dalam banyak kasus, korban cyberstalking merasa kehilangan kendali atas hidup mereka dan menjadi tertekan secara emosional.

Selain itu, dampak cyberstalking juga meluas ke anak-anak yang menjadi bagian dari keluarga. Anak-anak yang terpapar konflik akibat cyberstalking orang tua dapat mengalami gangguan psikologis, seperti kecemasan dan ketakutan. Pengalaman melihat orang tua saling mencurigai dan bertengkar dapat membentuk persepsi negatif mereka tentang pernikahan dan hubungan.

Di era digital, penting bagi pasangan untuk memiliki literasi digital yang memadai. Literasi digital bukan hanya tentang memahami teknologi, tetapi juga tentang bagaimana menggunakan teknologi tersebut dengan bijak dalam menjaga privasi dan menghargai batasan masing-masing. Edukasi mengenai literasi digital ini penting untuk mencegah potensi masalah yang bisa timbul dari cyberstalking.

Meskipun begitu, teknologi tidak selamanya menjadi sumber masalah dalam pernikahan. Ada berbagai aplikasi dan layanan yang dirancang untuk membantu pasangan mengatasi masalah kepercayaan dan membangun hubungan yang lebih sehat. Konseling pernikahan online, misalnya, memberikan solusi praktis bagi pasangan yang ingin memperbaiki hubungan mereka. Terapi ini membantu mereka untuk berkomunikasi secara lebih efektif dan belajar bagaimana membangun kepercayaan tanpa harus melanggar privasi.

Pasangan juga perlu menetapkan aturan bersama tentang penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Aturan ini dapat berupa kesepakatan untuk tidak memeriksa ponsel masing-masing tanpa izin, atau tidak menggunakan aplikasi pelacakan lokasi tanpa persetujuan. Kesepakatan semacam ini penting untuk membangun kepercayaan dan menghormati batasan privasi dalam hubungan.

Teknologi bisa dimanfaatkan secara positif untuk mempererat hubungan jika digunakan dengan benar. Misalnya, pasangan dapat memanfaatkan aplikasi komunikasi untuk tetap terhubung meskipun sedang berjauhan. Namun, saat teknologi digunakan dengan cara yang tidak sehat, seperti untuk memantau dan mengontrol pasangan, dampaknya bisa sangat merugikan.

Penting juga bagi individu yang merasa menjadi korban cyberstalking untuk mencari bantuan. Konsultasi dengan ahli atau psikolog dapat memberikan perspektif yang lebih jelas dan membantu menemukan solusi terbaik. Jangan biarkan masalah cyberstalking ini berlarut-larut, karena dampaknya bisa merusak kesehatan mental dan hubungan secara keseluruhan.

Pada akhirnya, cyberstalking menunjukkan bahwa teknologi dapat menjadi pedang bermata dua dalam pernikahan. Jika tidak dikelola dengan baik, teknologi yang seharusnya mempermudah kehidupan justru dapat merusak hubungan. Oleh karena itu, setiap pasangan perlu menyadari pentingnya menjaga keseimbangan antara penggunaan teknologi dan membangun kepercayaan dalam pernikahan untuk mencapai kehidupan rumah tangga yang harmonis di era digital ini.

*Penulis adalah Dosen Tetap Hukum Keluarga Islam (HKI) STIS Nurul Qarnain Jember

diunggah oleh:

Picture of Muhammad Ihyaul Fikro

Muhammad Ihyaul Fikro

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »