Di tengah gemuruh modernisasi, generasi Z menghadapi tantangan besar dalam membangun hubungan yang kokoh. Teknologi yang semakin canggih menjanjikan kedekatan instan, tetapi sering kali melahirkan jarak emosional yang sulit dijembatani. Pertanyaannya, ketika pernikahan kehilangan GPS moral dan spiritual, akankah ikatan itu mampu bertahan? Pernikahan, dalam Islam, bukan sekadar hubungan personal, melainkan perjanjian sakral yang membutuhkan kompas untuk menavigasi jalan menuju keberkahan.
Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Rum: 21:
“وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ”
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Namun, di era di mana komitmen sering digantikan oleh tren, nilai-nilai luhur ini perlahan terkikis. Banyak pernikahan generasi Z yang dimulai tanpa pemahaman mendalam tentang tujuan dan visi jangka panjang. Akibatnya, hubungan yang seharusnya menjadi jalan menuju ketenangan justru menjadi medan konflik tanpa ujung.
Hubungan tanpa GPS mengacu pada pernikahan yang kehilangan panduan. Generasi Z sering terjebak dalam konsep cinta yang instan dan dangkal. Padahal, dalam Islam, pernikahan adalah mitsaqan ghalizha, perjanjian yang kokoh di hadapan Allah. Pernikahan ini bukan sekadar penyatuan dua hati, tetapi juga penyatuan visi untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Kitab Uqud al-Lujain karya Syaikh Nawawi al-Bantani menegaskan:
“النِّكَاحُ شَرِيفٌ وَفِيهِ مَصَالِحُ دِينِيَّةٌ وَدُنْيَوِيَّةٌ”
Artinya: “Pernikahan adalah sesuatu yang mulia dan di dalamnya terdapat maslahat agama dan dunia.”
Ketika pasangan tidak memahami visi ini, pernikahan menjadi rapuh. Kesetiaan diuji oleh godaan dunia maya, dan rasa tanggung jawab terkikis oleh gaya hidup individualis. Di sini, penting untuk kembali ke prinsip dasar Islam yang menekankan pentingnya komitmen dan ketakwaan dalam pernikahan.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي”
Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini mengingatkan bahwa keunggulan dalam pernikahan tidak diukur dari kesempurnaan pasangan, tetapi dari bagaimana mereka saling memperbaiki dan mendukung satu sama lain.
Di sisi lain, teknologi yang seharusnya mempermudah komunikasi sering kali menjadi akar permasalahan. Aplikasi kencan, media sosial, dan kemudahan akses internet membuka peluang untuk perselingkuhan dan ketidakjujuran. Ketika pasangan kehilangan transparansi, hubungan menjadi rapuh. Dalam Islam, kesetiaan adalah fondasi utama pernikahan. Nabi SAW mengingatkan:
“فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ”
Artinya: “Hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah karena wanita.” (HR. Muslim)
Pernikahan tanpa GPS Islami juga kehilangan visi utama sebagai ibadah. Generasi Z sering kali memandang pernikahan sebagai ajang untuk memenuhi kebutuhan emosional semata, tanpa memahami tanggung jawab yang menyertainya. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis:
“النِّكَاحُ يَسْتَكْمِلُ بِهِ الدِّينُ وَيُحَصَّلُ بِهِ الْعِفَّةُ”
Artinya: “Dengan pernikahan, agama menjadi sempurna dan kehormatan diri terjaga.”
Tanpa pemahaman ini, pernikahan kehilangan maknanya sebagai ibadah yang menyempurnakan agama. Generasi Z perlu menyadari bahwa pernikahan bukan sekadar hubungan emosional, tetapi juga komitmen untuk saling mendekatkan diri kepada Allah.
Di tengah tantangan ini, penting untuk menavigasi pernikahan dengan GPS Islami. Prinsip-prinsip seperti komunikasi yang jujur, saling mendukung dalam kebaikan, dan menjaga hak serta kewajiban masing-masing pasangan harus menjadi panduan. Hubungan tanpa GPS bukan hanya berpotensi tersesat, tetapi juga kehilangan berkah yang seharusnya ada dalam sebuah pernikahan.
Pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tidak tercipta begitu saja. Dibutuhkan upaya terus-menerus untuk memahami pasangan, memperkuat komunikasi, dan menghadirkan Allah dalam setiap keputusan. Tanpa ini, pernikahan generasi Z akan terus menghadapi risiko tersesat di tengah arus modernisasi.
Apakah Anda siap untuk menjadikan GPS Islami sebagai panduan utama dalam perjalanan pernikahan Anda? Sebab, hanya dengan mengikuti kompas syariah, pernikahan dapat menjadi pijakan kokoh menuju ridha Allah dan kebahagiaan sejati.
Oleh : Saini
Dosen STIS dan Ma’had Aly Nurul Qarnain Jember