Dimensi Religiusitas Masyarakat Loloan & Festival Budaya Loloan Kabupaten Jembrana

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM | 

Festifal Budaya Loloan Jaman Lame (LJL) yang diinisiasi oleh Remaja Loloan Timur dan disupport oleh Pemerintah kabupaten Jembrana dan beberapa pihal lainnya menjadi salah satu event yang dinanti sekaligus icon budaya masyarakat yang masih dilestaraikan di tengah gempuran budaya luar termasuk K-Pop dan lainnya.  Hal ini tampak dari antusias panitia penyelenggara yang merupakan anak-anak muda Loloan dengan menampilkan beberapa stand tradisi yang ada di masyarakat Loloan, seperti stand benda-benda kuno, (termasuk Al-Qur’an tua yang ditulis tangan dan prasasti yang berusia 200 tahun lebih), stand tradisi metangas, stand ngaji alif alifan, stand burdah, dan stand lainnya.  Bahkan diisi dengan beberapa kegiatan seperti “Megesa” (Diskusi ringan), Tarian Ambur Salim dan penampilan Teater Cerita Rakyat Nenek Rate. Masyarakat yang datang dan hadir bukan hanya masyarakat loloan, beberapa pengunjung berasal dari daerah lain bahkan LJL Jilid VI pengunjung ada yang berasal dari Amerika.

Adanya stand-stand pameran tradisi masyarakat loloan menjadi salah satu media edukasi bagi pemuda dan generasi penerus bahwa entitas kebudayaan Islam dapat hidup di tengah masyarakat multikultural secara harmonis. Namun hal yang sangat substansial dari kehidupan masyarakat Loloan adalah religiusitas yang dulu sangat kental dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Mulai dari intensitas mengaji anak-anak yang saat ini mulai menurun dengan padatnya kegiatan di sekolah. Maka sebagai salah satu dari tripusat Pendidikan adalah masyarakat dan keluarga, dimana keluarga dalam hal ini memiliki peran penting untuk meningkatkan intensitas mengaji anak-anak Loloan demi menjaaga religiusitas kehidupan masyarakat Loloan yang dikenal dengan kampung muslim terbanyak di Jembrana.

Berdasarkan data pada portal LAYAK KUA Jembrana 2025 bahwa jumlah TPQ di Loloan Timur adalah 10 lembaga, maka 32,3%  dari jumlah TPQ se kabupaten Jembrana (31). Namun eksistensi Lembaga tersebut sebatas untuk Pendidikan anak-anak. Sedangkan untuk remaja banyak yang lebih tergiur dengan kehidupan pragmatis dan kurang mengedepankan aspek religiusitas. Hal ini menjadi perhatian Bersama di tengah kehidupan yang serba digital, pemuda bukan hanya menjadi pelestari budaya, tetapi yang lebih penting adalah menjadi garda terdepan dalam pelestarian religiusitas masyarakat dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Memperdalam agama kepada para Ahli (‘Ulama’) dengan kegiatan-kegiatan pengajian yang menjadi wasilah (perantara) untuk memahami agama dengan benar, terutama tradisi yang dilestarikan dalam kegiatan rutin masyarakat seperti pembacaan barzanji dan lainnya.

Pengetahuan agama salah satu dari 5 dimensi  menurut R. Strak dan C.Y Glock yang mana dimensi pengetahuan ini menjadi salah satu hal hal yang harus dimiliki oleh penganut agama. Remaja seharusnya ikut serta mendalami budaya pembacaan barzanji, Burdah dan mengikuti kegiatan pengajian yang dilaksanakan pada masyarakat Loloan Timur sebagai pelestari, dan memiliki pengetahuan agama yang benar dan mengakomodir budaya lokal.

Seperti dikatakan oleh KH. Said Aqil Siradj bahwa Budaya tanpa Agama menjadi sekuler dan Agama tanpa budaya menjadi keras (kaku). Maka keduanya harus diikhtiarkan untuk dilestarikan pada Masyarakat Loloan; menjadi pemuda pelestari agama dan menjadi pengawal pengamalan agama.

Penulis: Rohil Zilfa

diunggah oleh:

Picture of Dadie W Prasetyoadi

Dadie W Prasetyoadi

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »