Penulis : Muhammad Yaufi Nur Mutiullah
Salah satu kritik terhadap sistem pendidikan di pesantren adalah terpeliharanya sistem feodal (kata beberapa pengamat). Ini adalah satu di antara beberapa kritik terhadap pesantren.
Di satu sisi saya sepakat, tapi di sisi yg lain saya kurang sepakat. Di pesantren ada pelajaran tasawuf/etika bahasa gampangnya (meskipun beda antara etika dan tasawuf). Di sana ada ajaran rendah hati, dan menghormati. Rendah hati penting dimiliki oleh sang pendidik (kiai, ustadz, dll). Sikap menghormati penting dimiliki oleh yg dididik (santri, murid, dll). Dan jika dua hal ini sama sama ada dalam dua golongan tadi, saya kira tidak akan terjadi yg namanya feodal. Disebut feodal ketika “sang guru mengeksploitasi, dan sang murid ter-eksploitasi”. Dan kecenderungan mengeksploitasi akan hilang ketika sang guru memiliki sifat rendah hati.
Kalau semuanya disebut “feodal”, maka salah satu ciri khas pesantren sebagai lembaga pendidikan yg unik di Indonesia akan hilang, yaitu “ewuh pekewuh” “hormat” “khidmat” “barokah”, akan hilang dan digantikan oleh gaya “Barat”. Dan ini berbahaya.
Tapi, kritikan para pengamat terhadap sistem pendidikan pesantren yg feodal juga ada benarnya. Hal itu terjadi ketika sang pendidik tidak mau belajar rendah hati dan selalu mengeksploitasi sang murid. Ini juga berbahaya. Ya dua duanya harus sama sama introspeksi diri, sang pendidik dan yg dididik.
Dan kebetulan saya alumni pesantren, lulus SD saya mondok di Nurul Jadid Paiton. Selama saya mondok, Kiai Zuhri Zaini (pengasuh pesantren), selalu mencontohkan sikap rendah hati yg luar biasa. Kiai Zuhri tidak pernah mengeksploitasi atau bersikap feodal. Dan seperti inilah seharusnya tenaga pendidik pesantren itu bersikap.
Selamat Hari Lahir Nurul Jadid. Dan semoga panjang umur, Kiai Zuhri. Al-Fatihah..