ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Ahmad Marzuki Hasan
Di banyak pesantren, tersimpan kisah-kisah yang tak pernah tercetak di lembar kitab, tapi mengalir dari hati ke hati, dari generasi ke generasi. Kisah-kisah kecil, yang sering luput dari catatan sejarah, tapi diam-diam membentuk wajah dunia santri. Salah satunya tentang seorang santri yang tampak biasa. Nilai pelajarannya tak pernah istimewa, hafalannya pun sekadar cukup. Tapi setiap subuh, ia sudah berdiri di pelataran ndalem kiai, membawa sapu lidi, membersihkan teras tanpa suara.
Tahun-tahun berlalu. Ia tak menjadi dosen, bukan pula tokoh di layar kaca. Namun di kampungnya, orang-orang datang kepadanya: meminta nasihat, memintanya memimpin tahlil, bahkan menjadi penengah saat ada keluarga yang retak. Aneh, tapi nyata. Saat ditanya rahasianya, ia hanya menjawab lirih, “Saya ini bukan siapa-siapa. Dulu cuma pernah nderekaken dawuh kiai.”
Ini bukan dongeng. Kita kerap menjumpainya: tokoh-tokoh alim di desa, pengasuh majelis taklim, atau orang-orang sederhana yang tutur katanya menyejukkan. Mereka tak selalu jebolan kampus ternama. Tapi ada satu yang sama: mereka pernah khidmat. Mereka pernah menyiapkan sandal kiai, mimbar pengajian, atau sekadar menunggu di depan pintu untuk menerima amanat. Yang tampak remeh di mata dunia, tapi justru di situlah pintu rahmat terbuka.
Di pesantren, khidmat bukan hanya rutinitas. Ia adalah jalan halus tempat ilmu turun—dari dada guru ke dada murid. Dalam khidmat, santri belajar tentang hormat, sabar, dan cinta. Pelajaran yang tak disampaikan lewat ceramah, tapi lewat laku harian. Bahkan sering kali, keberkahan datang bukan dari banyaknya hafalan, tapi dari ketulusan yang tak terlihat.
Imam Malik pernah berkata, “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” Di pesantren, ini nyata adanya. Ada santri yang mungkin tak unggul di kelas, tapi khidmatnya luar biasa. Dan kelak, ia justru yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Karena ilmu bukan hanya soal hafalan, tapi soal keberkahan. Dan keberkahan hanya turun pada hati yang bersih dan tunduk.
Kita hidup di zaman di mana ilmu bisa dicari dari mana saja. Tapi hanya ilmu yang datang dari guru yang kita hormati, yang mampu menyentuh hati dan mengubah perilaku. Hanya ilmu yang datang lewat adab yang mampu mengendap dan membentuk akhlak. Di pesantren, ilmu bukan sekadar informasi. Ia adalah sambung rasa—antara murid dan restu spiritual dari gurunya.
Saya teringat nasihat seorang santri senior kepada adik kelasnya yang hendak pulang: “Kalau nanti mau sukses, jangan lupakan sandal kiai.” Bukan tentang sandalnya, tentu, tapi tentang rasa. Di sanalah adab dijaga. Karena di pesantren, yang dilihat bukan hanya apa yang kita lakukan, tapi rasa yang kita bawa: rasa hormat, rasa patuh, rasa cinta.
Semua itu tak pernah masuk kurikulum formal. Tapi justru di sanalah letak inti pendidikan pesantren. Ilmu yang sejati bukan yang membuat kita pintar bicara, tapi yang membentuk kita lebih rendah hati. Dan itu hanya tumbuh dari jiwa yang bersih—yang sering kali dibentuk dalam sunyi, lewat khidmat yang ikhlas.
Di tengah dunia yang serba cepat dan instan, khidmat mungkin tampak kuno. Tapi justru karena itu, ia semakin langka—dan mulia. Tak semua sanggup menjalaninya. Tapi bagi yang bisa, khidmat akan melahirkan ilmu yang hidup. Ilmu yang meneduhkan, menghidupkan, dan terus mengalir sebagai keberkahan, jauh melampaui gelar dan ijazah.
(Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Thoriqul Mahfudz Sumbersari, Melaya, Jembrana, Bali)