Oleh : Muhammad Ihyaul Fikro
Bayangkan seorang presiden yang menyambut tamu negara dengan sandal jepit. Bayangkan seorang ulama besar yang lebih suka mendengarkan musik Beethoven daripada berdebat soal dalil. Bayangkan seorang pemimpin yang tertidur di tengah sidang penting, namun saat bangun mampu menyimpulkan seluruh pembicaraan dengan presisi yang menakutkan.
Itulah Gus Dur. Ia bukan sekadar nama dalam buku sejarah; ia adalah sebuah teka-teki, sebuah paradoks, dan rindu yang tak pernah tuntas bagi bangsa ini.
Mata yang Terpejam, Visi yang Menembus Zaman
Banyak orang meremehkan Gus Dur karena keterbatasan fisiknya. Namun, justru di situlah letak “kesaktiannya”. Ketika mata fisiknya meredup, mata batinnya (bashirah) justru menyala terang.
Gus Dur melihat Indonesia bukan sebagai peta politik, melainkan sebagai orkestra kemanusiaan. Saat orang lain melihat Papua sebagai daerah konflik, Gus Dur melihat mereka sebagai saudara yang terluka hatinya karena nama dan identitasnya dicabut. Saat orang lain melihat etnis Tionghoa sebagai “orang asing”, Gus Dur melihat mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari mozaik Nusantara.
”Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.”
Istana Merdeka dan Celana Pendek
Gus Dur adalah antitesis dari kekakuan birokrasi. Ia “mengacak-acak” kesakralan Istana Negara yang selama 32 tahun Orde Baru terasa angker dan tak tersentuh.
Di tangannya, Istana menjadi rumah rakyat. Kiai-kiai kampung bersarung, aktivis gondrong, hingga rakyat jelata bisa duduk di sofa empuk istana. Cerita legendaris tentang Gus Dur yang santai memakai celana pendek di lingkungan istana adalah simbol: bahwa kekuasaan tidak harus kaku, dan pemimpin tidak harus berjarak.
Ia mengajarkan filosofi “Gitu Aja Kok Repot”. Ini bukan kalimat orang malas, melainkan mantra seorang sufi tingkat tinggi. Bagi Gus Dur, masalah duniawi itu kecil. Jabatan itu daki. Yang besar hanyalah kemanusiaan dan Tuhan itu sendiri.
Diplomat Tawa
Di dunia yang penuh politisi bermuka masam, Gus Dur datang membawa tawa. Ia menjadikan humor sebagai senjata diplomasi tingkat tinggi.
Ia pernah bercerita kepada Presiden Kuba, Fidel Castro, dan Presiden AS, Bill Clinton, dengan lelucon yang membuat mereka terpingkal-pingkal. Humor Gus Dur melunturkan ketegangan, mencairkan kebekuan, dan yang terpenting: menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan cerdas.
Ia pernah berkata, “Saya jadi presiden itu modalnya cuma dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais.” Sindiran tajam yang dibungkus tawa, membuatnya menjadi kritikus yang jenius.
Sang Pembela Tuhan? Tidak Perlu.
Salah satu pemikiran Gus Dur yang paling kontroversial namun mendalam adalah esainya yang berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela”.
Di saat banyak kelompok radikal berteriak membela Tuhan dengan kekerasan, Gus Dur dengan tenang mengingatkan: Tuhan itu Maha Besar. Ia tidak butuh pembelaan manusia yang kecil. Yang perlu dibela adalah mereka yang diperlakukan tidak adil atas nama Tuhan.
Inilah yang membuatnya menjadi Bapak Tionghoa, sahabat bagi umat Kristiani, pelindung Ahmadiyah, dan peneduh bagi siapa saja yang minoritas. Ia pasang badan ketika orang lain cari aman.
Warisan yang Hidup: Makam yang Tak Pernah Sepi
Hari ini, pergilah ke Tebuireng, Jombang. Anda akan melihat fenomena yang mencengangkan. Makam Gus Dur tidak pernah sepi 24 jam sehari. Ribuan orang dari berbagai agama, suku, dan strata sosial datang mendoakannya. Ekonomi rakyat di sekitar makam hidup dan berputar.
Bahkan setelah wafat, Gus Dur masih “menghidupi” rakyat kecil. Ia membuktikan pepatah kuno: Gajah mati meninggalkan gading, Gus Dur mati meninggalkan cinta.
Gus Dur adalah bukti bahwa untuk menjadi besar, kita tidak perlu seragam militer atau harta triliunan. Kita hanya perlu hati yang seluas samudra, yang mampu menampung segala perbedaan tanpa kehilangan jati diri.
Alfatihah untuk Sang Guru Bangsa.









