ASWAJADEWATA.COM – Melihat realitas yang diberitakan oleh berbagai media akhir-akhir ini, kita dapat melihat sebuah sisi kegetiran yang tengah melanda bangsa Indonesia. Mulai dari korupsi para pejabat di tengah kemiskinan rakyat yang diwakilinya, penegakan hukum yang rapuh, pendidikan moral sedikit demi sedikit mulai runtuh, gerakan separatis-transnasional yang coba merongrong kedaulatan Negara, hingga campur tangan bangsa asing yang melancarkan cengkeramannya pada kekayaan alam Indonesia. Ketegangan antar pemeluk agama pun turut serta memberi ancaman disintegrasi bangsa. Tidak berhenti sampai di situ, keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia juga berkontribusi melahirkan konflik di Negeri ini.
Kekhawatiran terjadinya perpecahan serta terkikisnya kedaulatan Negara patut mendapat tempat di hati masyarakat. Sebab, dengan adanya kekhawatiran tersebut, masyarakat bisa menyadari arti penting persatuan serta persaudaraan dalam bingkai kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah). Bangsa Indonesia ini harus dijaga kedaulatannya, dirawat kekayaan alamnya, serta dikawal penegakan hukum dan pendidikan moralnya. Untuk melakukan hal itu semua, masyarakat mesti bersatu padu mewujudkannya.
Semangat persatuan inilah yang mendorong para pejuang mampu mengusir para penjajah. Kecintaan terhadap tanah air inilah yang membuat para pahlawan rela bertaruh nyawa. Perbedaan suku, ras, dan agama di antara mereka tak menjadi penghalang dalam perjuangan untuk menjadi bangsa yang merdeka. Saat ini dan kapanpun jua, rasa persatuan yang dipupuk oleh kecintaan terhadap tanah air mesti dijaga. Budaya gotong royong dalam kebaikan tanpa memedulikan perbedaan kelas serta atribut sosial hendaknya terpatri di jantung bangsa.
Dalam hal ini, Islam sangat menjunjung tinggi persatuan. Perpecahan adalah sesuatu yang oleh Islam diperintah agar dihindari. Dalam al-Qur’an dinyatakan:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 103)
Menafsiri ayat tersebut, Musthafa al-Maraghi menyatakan, bahwa agama memerintahkan agar seluruh lapisan masyarakat dalam suatu bangsa bersatu padu meskipun di dalamnya terdapat perbeadaan agama, ras, dan suku. Perintah agama agar masyarakat dalam suatu bangsa menggalang persatuan ini bukan didasari oleh sikap fanatisme golongan (al-‘ashabiyyah al-jinsiyyah), melainkan cita-cita kuat untuk memakmurkan tanah air yang dianugerahkan Tuhan (Tafsir al-Maraghi: 4: 17). Kecintaan terhadap bangsa sendiri tidak ditunjukkan dengan cara merendahkan bangsa lain, melainkan dengan cara menjaga keutuhan persatuan masyarakat untuk mencapai kemakmuran bersama.
Tujuan prinsip agama (maqashid as-syari’ah) untuk menebar kemaslahatan dan memberangus mafsadah tidak mungkin tercapai tanpa ada keinginan kuat dari masyarakat secara kolektif untuk mewujudkannya. Sebagai contoh, agama menginginkan agar manusia menjauhi hal-hal yang dapat merusak potensi akal insaniahnya. Sementara itu, persebaran narkotika dan pornografi yang dapat merusak akal masyarakat semakin merajalela karena didukung oleh kecanggihan tekhnologi dan media. Perlu kesadaran bersama dari seluruh lapisan masyarakat untuk bersatu padu memberantas persebaran ‘penyakit’ yang dapat menghancurkan generasi bangsa itu. Jika cita-cita agama dan bangsa baru dapat terwujud manakala masyarakat bersatu padu, maka persatuan adalah sesuatu yang niscaya dilakukan.
Memang disadari, bukan perkara mudah untuk mempersatukan masyarakat heterogen dalam berbagai hal. Pluralitas agama dan keragaman budaya di satu sisi bisa menjadi kekayaan yang berharga, tetapi di sisi lain bisa saja membawa petaka. Pengalaman di Indonesia, seringkali sentimen keagamaan berubah wujud menjadi kekerasan atas nama agama. Benturan antara muslim dan non muslim seolah menjadi santapan setiap musim. Kepentingan politik terselubung telah memanipulasi agama untuk memanaskan suasana.
Khusus soal relasi muslim dan non muslim, pada prinsipnya Islam sendiri lebih mengedepankan sikap toleran nan damai. Dalam bahasa yang digunakan oleh Wahbah az-Zuhaily, bahwa الاصل في علاقة المسلمين بغيرهم السلم لا الحرب”” (pada dasarnya, relasi antara kaum muslim dan non muslim adalah harmonis, bukan disharmonis) (Qadlaya al-Fikr al-Mu’ashir: 2: 559). Pandangan tersebut tentu tidak bertentangan dengan sumber otoritatif Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam dua sumber tersebut tertera penjelasan mengenai hak untuk bebas memilih agama, bersikap baik kepada non muslim yang bersikap koperatif, dan perlindungan atas hak-hak mereka. Di antaranya sebagai berikut:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama; Sesungguhnya telah jelasjalan yang benar daripada jalan yang sesat…” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)
مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأَنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang Siapa menyakiti kafir dzimmy, maka aku adalah musuhnya. Dan barang siapa yang menjadi musuhku, maka aku akan memusuhinya pada hari kiamat” (al-Jamī’ al-Kabīr,[Maktabah Syamilah]: 1: 21853)
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, sikap yang dikedepankan dalam hubungan sosial antar umat pemeluk agama ini adalah wajah teduh penuh keramahan, bukan muka merah penuh kemarahan. Dalam hal ini, kaum muslim berhak untuk menjadi teladan terdepan dalam menampilkan wajah ramah ini agar Islam tampak menjadi rahmat semesta alam.
Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam al-Qur’an dan hadits terdapat banyak penjelasan mengenai kewajiban memerangi kaum kafir. Namun, penjelasan tersebut tidak menafikan kemungkinan melakukan hubungan harmonis dengan non muslim. Dalam sebuah keterangan, Jasser Auda menyatakan bahwa ayat-ayat atau berbagai hadits yang menjelaskan tentang jihad (yang salah satu maknanya adalah ‘berperang’) turun dalam konteks dan sebab-sebab tertentu. Tidak semestinya beragam ayat dan hadits tersebut digeneralisasi ke dalam berbagai kondisi dan situasi (Fiqh al-Maqashid: 199).
Dalam konteks Indonesia, pemahaman keagamaan yang lebih mengedepankan toleransi dan menyadari kebhinekaan lebih relevan untuk dibuat pedoman kaitannya dengan hubungan muslim dan non muslim. Pendapat-pendapat sebagian atau mayoritas ulama yang tampak diskriminatif dalam kitab-kitab fikih—misalnya—harus disadari sebagai keputusan yang tepat di saat yang tepat, tetapi tidak bisa diterapkan setiap saat. Perlu adanya kontekstualisasi pemahaman terhadap nash-nash syariat untuk mengatasi benturan antar pemeluk agama sehingga problematika musiman seperti hukum mengucapkan selamat Natal, kepemimpinan non muslim, nikah beda agama, dan lain semacamnya dapat diselesaikan dalam bingkai karakteristik bangsa Indonesia yang bhinneka. Pemahaman kebangsaan (fiqh al-muwathanah) yang didasarkan atas toleransi dalam kebhinekaan menjadi penting untuk diwujudkan dalam performa.
Tuhan telah memberikan semacam ‘fitrah kebangsaan’ (fitrah wathaniyyah) kepada segenap manusia. Setiap manusia lahir di daerah tertentu, beribadah, dan berpenghidupan di atas tanahnya. Tanah air yang ia tinggali merupakan ‘rumah’ yang secara naluriah mesti dilindungi agar nyaman dihuni. Tentu, para penghuni ‘rumah’ tersebut adalah saudara dan keluarga. Para penghuni rumah Bangsa Indonesia adalah orang-orang yang beragam ras, suku, dan agamanya. Agar tetap bersatu padu dan tak tercerai berai, masyarakat Bangsa Indonesia harus menyadari bahwa keberagamannya bukan untuk dikonfrontasikan melainkan untuk didialogkan. Dengan begitu, siapapun yang hendak merongrong kedaulatan bangsa, menghambat kesejahteraan dan mengganggu ketenteraman masyarakatnya dapat dihindarkan. (MA)