Penulis : Moh Fariz Wahyu Abadi (Redaktur Aswaja Dewata)
Baca ini jika kalian merasa kalian harus berubah menjadi lebih baik.
Dalam berkehidupan sosial kita selalu diajarkan secara turun temurun mengenai sebuah Asumsi Klasik (yang menyatakan bahwa kita harus menggunakan akal budi kita untuk menguasai emosi), asumsi tersebut diajarkan selama berabad-abad hingga membentuk budaya kita hari ini. Asumsi tersebut mengatakan bahwa jika seseorang tidak disiplin, tidak patuh, atau berperilaku jahat, itu karena ia tidak memiliki kemampuan untuk menundukkan perasaannya, bahwa ia adalah seorang yang berkemauan lemah atau tidak waras. Asumsi Klasik melihat gairah dan emosi sebagai cacat, sebuah kesalahan dalam kejiwaan-nya yang harus diobati dan dibentuk dari alam.
Kini, kita bisa menilai orang berdasarkan Asumsi Klasik tersebut. Orang yang gemuk dicemooh dan dipermalukan karena kegemukannya itu dilihat sebagai kegagalannya dalam mengendalikan diri. Mereka tahu mereka harus menjadi kurus, tapi mereka terus saja makan. Mengapa ? Pasti ada sesuatu yang salah dengan mereka, pikir kita.
Perokok: begitu juga. Pecandu obat mendapatkan perlakuan yang sama, tentu saja, tapi sering dengan menimpakan tambahan stigma, dianggap pelaku kriminal.
Kita menganggap ketaklukan pada dorongan-dorongan emosional sebagai cacat moral. Kita menganggap kurangnya kendali diri sebagai tanda karakter yang kurang baik. Sebaliknya, kita menyanjung-nyanjung orang yang bisa menundukkan emosi-emosinya. Kita ngiler berjamaah kalau melihat para pemimpin yang kaku bahkan kejam demi mengejar efisiensi. Jika seorang Pemimpin atau CEO terlelap dibawah mejanya, dan tidak bertemu anaknya selama 6 minggu berturut-turut secara spontan kita akan mengatakan nah gitu dong, itu baru semangat baja.
Jelas, tidak susah untuk melihat bagaimana Asumsi Klasik dapat menuntun pada sebuah asumsi yang… membawa petaka. Jika Asumsi Klasik itu benar, artinya kita harus mampu mengendalikan diri ,jangan sampai emosi dan gairah Anda meledak-ledak, dan mencegah munculnya ketergantungan dan kesenangan dengan upaya-upaya mental saja. Setiap kegagalan untuk mempraktikkan hal tersebut, mencerminkan adanya sesuatu yang salah atau rusak di dalam diri Anda.
Sebuah prolog tulisan ini dari Mark Manson dalam buku Everything Is F*cked.
Ya, begitulah doktrin mengenai Asumsi Klasik membuat kita merasa bahwa kita harus merubah identitas kita. Karena dengan mengindahkan Asumsi Klasik tersebut kita merasa bahwa semua akan berjalan lebih baik ketika kita mengubah identitas. “Aku yang lama” tidak dapat menghentikan kebiasaan merokokku yang kronis, namun “Aku yang baru” pasti bisa. Siklus tersebut akan terus saja berjalan yang berujung pada kegagalan pengendalian diri mendorong untuk berpikir sekali lagi untuk mengubah diri anda lagi dan lagi tanpa mencoba menyelesaikan Asumsi Klasik yang menjadi permasalahan tersebut.
Kita selalu merasa bahwa mengubah diri adalah solusi terbaik dalam memunculkan kembali harapan yang memberikan api semangat untuk mencapainya. Padahal dalam diri manusia lebih kompleks dari sekedar mengubah diri.
Apakah dalam hidup ini anda yakin sudah hadir utuh dan sadar penuh ?
Bagaimana jika kesadaran dan kendali diri adalah sebuah ilusi yang anda rawat ?
Pernahkah anda merasa ingin melakukan sesuatu namun penuh pertimbangan hingga kemudian mengurungkan niat untuk melakukan hal tersebut ?, atau terjadi hal yang membuat anda menyesal telah melakukan suatu hal karena sebelumnya anda tidak menghiraukan segala pertimbangan yang ada di pikiran anda ?, atau anda merasa sangat bahagia karena telah melakukan sesuatu setelah mengabaikan pertimbangan yang muncul ?. Semua terjadi layaknya sebuah ilusi, asumsi klasik membuat anda merasa bahwa dalam pengambilan keputusan hanya dipengaruhi oleh kemampuan rasional kita.
Funfact, Anda memiliki dua otak, dan keduanya tidak mampu saling berinteraksi dengan baik. Anggap saja pikiran kita adalah sebuah Mobil Kesadaran yang meluncur di jalan kehidupan dan bertemu dengan jalan-jalan dan persimpangan, dimana jalan-jalan dan persimpangan ini melambangkan keputusan-keputusan yang harus Anda buat saat Anda berkendara, dan semua itu menentukan tujuan Anda.
Sekarang terdapat 2 orang pada mobil kesadaran anda: Otak Pemikir (Thinking Brain) dan Otak Perasa (Feeling Brain). Otak Pemikir melambangkan pikiran-pikiran sadar Anda, kemampuan rasional dan kemampuan bahasa yang anda miliki. Otak Perasa melambangkan emosi, dorongan hati, intuisi, dan insting. Saat otak pemikir Anda menghitung jadwal dan total pembayaran tagihan, Otak Perasa anda ingin menjual semua harta benda dan kabur ke Kota lain.
Kedua otak tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Otak Pemikir bersifat hati-hati, akurat, dan bekerja secara metodik dan rasional, namun juga lamban dan membutuhkan banyak usaha dan energi, seperti otot, yang harus terus dilatih dan diperhatikan kesehatannya. Otak Perasa sebaliknya, sampai pada keputusan secara cepat dan mudah. Masalahnya, sering tidak akurat dan tidak rasional, Otak Perasa gemar cari perhatian dan berlebihan dalam bereaksi.
Dalam mobil kesadaran biasanya kita beranggapan bahwa pemegang kendali dalam perjalanan mobil kesadaran adalah si Otak Pemikir, sedangkan Otak Perasa sedang duduk santai di kursi penumpang sambal melihat-lihat dan meneriakki tempat yang ingin dia tuju dan sesekali menyentak setir kemudi yang membuat mobil menuju jalur lawan arah dan membahayakan mobil kesadaran orang lain dan mobil kita sendiri. Ini merupakan Asumsi Klasik, kepercayaan bahwa akal kita memegang kendali hidup secara penuh, dengan melakukan penyanderaan terhadap emosi dan merasa telah mengendalikan diri, Manis sekali!.
Tapi bukan begitu cara kerja mobil kesadaran, Otak Perasa lah yang memegang kemudi mobil kesadaran. Pada akhirnya, hanya emosilah yang menggerakkan kita untuk bertindak. Emosi mencetuskan aksi, dan aksi mencetuskan emosi. Ini kenyataannya, mau sebanyak apapun predikat yang anda peroleh. Anda dan Saya adalah seorang robot berdaging yang dipiloti oleh Otak Perasa. Ini karena emosi adalah sebuah hidrolik biologis yang mendorong tubuh kita untuk bergerak. Sementara otak pemikir sebagai navigator dan pemberi saran terhadap jalannya mobil kesadaran supaya mobil tersebut tetap pada jalurnya (menuju masa depan yang lebih baik).
Sampailah kita pada jawaban kenapa kita tidak mengerjakan tugas-tugas yang kita tahu, dan seharusnya kita kerjakan ?
Karena kita tidak menyukainya.
Setiap permasalahan kendali diri bukanlah permasalahan rasional yang dapat diselesaikan dengan logika, melainkan permasalahan emosional yang lebih sukar ditangani ketimbang permasalahan logika. Kemalasan, suka menunda, ketidakmampuan, kegelisahan semuanya merupakan permasalahan emosi. Mengetahui cara mengubah perilaku tidak serta mertta mengubah peerilaku Anda. Saya tahu saya harus berhenti merokok dan mengurangi gula, akan tetapi dalam menulis ini saya juga masih mengkonsumsi keduanya. Dan itu bukan karena kita tidak cukup tahu tapi karena kita tidak cukup merasa nyaman.
Permasalahan emosi merupakan irasional, permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan penalaran, selalu ada jawaban tentang bagaimana menghitung tagihan bulanan, akan tetapi tidak pernah ada jawaban pasti mengenai bagaimana hubunganmu dengan orang lain.
Oleh karena itu kecerdasan emosional menjadi penting akan tetapi dunia akademis sangat jarang mengajarkan tentang muatan materi ini. Kecerdasan Emosional membantu kita dalam berkomunikasi pada diri sendiri, itulah yang disebut Leadership, kita terlalu terlena dalam mempelajari ilmu-ilmu manajemen, ilmu-ilmu logika. Yang padahal tanpa leadership yang baik, tanpa kecerdasan emosional yang baik ilmu-ilmu tersebut hanyalah teori semu yang membuat kita lagi-lagi terperangkap pada Asumsi Klasik yang tidak pernah terselesaikan siklusnya.
Leadership dahulu baru kemudian Manajemen. Leadership adalah melakukan hal benar, Manajemen melakukan hal dengan benar, jika Manajemen tanpa didasari Leadership maka kita hanya akan melakukan hal dengan benar tanpa menyadari apakah hal tersebut merupakan hal yang benar atau bukan.
Kecerdasan Emosional membantu dalam segala aspek kehidupan kita dapat Hadir Utuh dan Sadar Penuh.
Terimakasih kepada mas Jay Akhmad Seknas Gusdurian yang telah membantu menyadarkan penulis tentang pentingnya Leadership.