Suatu hari, K.H.R. Ach. Fawaid As’ad melakukan perjalanan ke Surabaya. Ia mencari alamat seseorang. Seharian penuh ia mencari, namun tak kunjung menemukan rumah yang dituju. Akhirnya, ia mampir silaturrahim dan bertanya kepada seorang sahabatnya, K.H. Agoes Ali Masyhuri (Gus Ali), yang ternyata mengetahui alamat yang dicari. Tanpa ragu, Gus Ali langsung mengantar Kiai Fawaid ke tempat itu.
Perjalanan membawa mereka ke sebuah gang sempit, melewati rumah-rumah sederhana, hingga akhirnya tiba di sebuah rumah kecil yang tampak bersahaja. Begitu pintu diketuk, muncullah seorang lelaki yang tampak kaget dan tergopoh-gopoh menyambut tamunya. Lelaki itu, ternyata, adalah seorang alumni Pondok Pesantren Sukorejo yang kini bekerja sebagai tukang becak.
Pemandangan itu membuat Gus Ali terperangah. Namun, tidak demikian dengan Kiai Fawaid. Ia datang bukan sebagai seorang kiai besar yang disegani, melainkan sebagai seorang guru yang mencari muridnya. Ia tak peduli pada status atau profesi. Yang ada dalam benaknya hanyalah satu hal: santri tetaplah santri, tak peduli di mana ia berada dan dalam keadaan seperti apa pun.
Cerita tersebut, pernah disampaikan Gus Ali, pada ceramah Haul Majemuk Masyayikh Sukorejo, dan dikutip ulang dalam buku Kiai Fawaid As’ad: Kepribadian, Pemikiran, dan Perilaku Politik.
Kisah ini bukan sekadar cerita biasa. Ia adalah gambaran nyata dari kecintaan Kiai Fawaid kepada para santri, bahkan setelah mereka meninggalkan pesantren. Inilah cerminan kasih sayang seorang guru yang tak lekang oleh waktu. Bagi Kiai Fawaid, hubungan antara santri dan kiai bukanlah sekadar interaksi akademik yang berakhir ketika santri meninggalkan pesantren. Ia lebih dari itu. Ia adalah ikatan spiritual, persambungan batin yang tak terputus.
Sebagai penerus Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, amanah besar yang diwariskan oleh Kiai As’ad bukan hanya membimbing santri selama mereka mondok, tetapi juga memastikan mereka tetap berada dalam jalur yang benar setelah kembali ke masyarakat. “Kalau tidak bisa mengawasi mereka satu per satu, paling tidak, saya bisa mengingatkan mereka bila mereka berbuat salah,” katanya.
Kiai Fawaid pernah mengibaratkan Pesantren Sukorejo sebagai mesin diesel, sementara para santri adalah lampu-lampu yang menerangi kegelapan di tengah masyarakat. Sebuah lampu hanya bisa bersinar bila tetap terhubung dengan mesinnya. Demikian pula santri, harus tetap terhubung dengan pesantrennya, dengan gurunya, dengan nilai-nilai yang telah diajarkan.
Baginya, kunci keberhasilan seorang santri bukan hanya terletak pada ilmu yang ia peroleh, tetapi juga pada kemampuannya untuk terus menjalin silaturahim dan berinteraksi. Setelah kembali ke masyarakat, seorang santri seyogianya tetap menjaga hubungan dengan para guru dan sesama alumni. Ikatan itu bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya yang terpenting; dengan aktif di Ikatan Santri Alumni Salafiyah Syafi’iyah (Iksass), organisasi yang menjadi wadah kebersamaan bagi para alumni.
Lebih dari itu, Kiai Fawaid menekankan pentingnya kembali ke pondok setidaknya setahun sekali, terutama saat acara haul masyayikh. Selain sebagai momen mengenang perjuangan para guru terdahulu, acara tersebut menjadi ajang reuni dan refleksi diri bagi para santri. Jika tidak bisa hadir, minimal mereka harus mengikuti kegiatan Iksass di daerah masing-masing. Dan yang paling penting, mereka harus mengkhatamkan Al-Qur’an serta membaca Surat Al-Ikhlas sebagai bentuk penghormatan dan doa bagi para guru yang telah berpulang.
Kisah Kiai Fawaid adalah kisah tentang cinta yang tak pernah usai, tentang ikatan yang tak pernah putus. Ia mengajarkan kita bahwa menjadi guru bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa yang abadi. Dan bagi para santri, ia adalah pengingat bahwa mereka tak pernah benar-benar pergi dari pesantren, karena di sana, selalu ada seorang guru yang menunggu dengan hati terbuka, siap menerima mereka kapan pun dan di mana pun.
Hingga ke ujung jalan, hingga ke akhir hayatnya, Kiai Fawaid tetap menjadi sosok yang mencintai santri-santrinya dengan tulus. Dan cinta itu, seperti lampu-lampu yang ia sebutkan, akan terus menyala, menerangi jalan bagi siapa pun yang mengenangnya.
Meskipun kini ia telah tiada—wafat pada Jumat, 16 Rabiul Akhir 1433 H atau 9 Maret 2012—warisan ketulusan dan perhatiannya terus hidup. Cintanya kepada santri tetap abadi, seperti lampu yang tak pernah padam, menerangi jalan bagi mereka yang senantiasa menjalin ikatan dengan pondok, guru, dan ilmu yang telah diajarkan.
Sukorejo, 8 Maret 2025
Penulis buku “Kiai Fawaid As’ad: Kepribadian, Pemikiran, dan Perilaku Politik”.
Syamsul A Hasan