Sambutan KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy Dalam Rangka Kick Off Halaqah Fiqih Peradaban

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM | SITUBONDO

Kick off Halaqah Fikih Peradaban digelar Rabu siang (4/10/2023) di Ponpes Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo.

KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy selaku Pengasuh pesantren menyampaikan sambutan  saat acara pembukaan.

Berikut isi sambutan lengkap cucu dari pahlawan nasional KHR. As’ad Syamsul Arifin, yang juga salah seorang tokoh dibalik berdirinya NU;

Saat ini kita hidup di suatu era yang sangat berbeda jauh dengan era Islam awal, era klasik, dimana banyak kasus-kasus hukum muncul dengan jawaban hukumnya berupa (fatwa). Kita hidup dalam kubangan serba teknologi, media sosial (medsos) dan era masyarakat industri 5.0. Dari satu aspek, kehidupan kita ini tidak lepas dari norma hukum agama.

Berangkat dari sinilah, kita harus membuka cakrawala bagaimana Islam sebagai ”guidence(hudan) yang mengarahkan kepada sikap moderat (al-Wasathiyyah, moderasi), tidak ekstrem ( (al-ghuluw fî al-dîn), dan tidak menyimpang (tatharruf) dari Islam sebagai agama yang mengandung misi rahmatan lil ‘alamin. Dalam memahami suatu hukum Islam, terlebih dalam menerapkan suatu hukum untuk publik (tathbîqul ahkâm lil mujtama‘), jangan terperangkap dalam ”sangkar” atau ”kotak” bunyi nash Al-Qur’an, hadits dan teks para ulama fiqh begitu saja. Karena hal ini dapat berimplikasi pada stagnan, padahal Islam sendiri bukanlah agama yang rigid (kaku), melainkan agama yang luwes, dinamis dan universal, sebagaimana perkataan Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki dalam karyanya, “as-Syari’ah Allah al-Khalidah: Dirasah fi Tarikh Tasyri’ al-Ahkam wa Madzahib al-Fuqaha’ al-A’lam,:

إذا دبت الحياة في هذه الأمة…..فالشريعة الإسلامية حاضرة تلبي حاجاتها المتجددة ومطالبها المتغيرة بما فيها من سعة ومرونة وشمول

Artinya: “Jika kehidupun umat ini (umat Islam) stagnan, maka syari’ah Islam akan hadir untuk memenuhi kebutuhan hidup yang baru dan keperluan hidup yang berubah dengan luwes, dinamis dan universal.

Konsistensi pada asas-asas pembentukan hukum dalam rangka untuk merealisasikan tujuan hukum merupakan cara beragama yang moderat, yang menjadi keharusan dalam pandangan agama dan akal sehat. “Sungguh konsistensi dalam bermoderasi dan bersikap adil itu (mulâzamatul wasathiyyah wal i‘tidâl) diperintahkan oleh agama dan akal sehat, untuk merealisasikan (perintah) berpegang teguh pada jalan yang lurus (as-shirâthul mustaqîm), dan melindungi umat baik sebagai individu maupun pubik. Konsep melindungi umat adalah dengan menetapi syara’ sesuai dengan keberadaannya (norma syara’) dengan melindungi tujuan-tujuannya. Hal ini akan melahirkan kehidupan yang harmoni dalam masyarakat global, dimana hal tersebut sebagai intiasi peradaban Islam yang dapat menghidupkan hati yang damai, sebagaimana dikatakan oleh Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki dalam karyanya, al-Muslimun Bain al-Waqi’ wa at-Tajribah:

الإسلام الحضاري الرؤف الرحيم بكل ذي كبد حي

Artinya: “Islam adalah agama peradaban yang penuh pengayoman dan kasih sayang bagi orang memiliki hati yang hidup.”

Dalam konteks sejarah peradaban, pada akhir abad pertama Hijriyah dan penghujung abad dua Hijriyah mulai bermunculan aliran dalam bentuk fiqh. Aliran-aliran fiqh itu ialah: madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’ie, madzhab Hanbali, madzhab Dzahiri dan madzhab Syi’ah Jafar Al-Shadiq.

Adanya aliran-aliran fiqh ini karena adanya perbedaan di sekitar metode berijtihad yang menimbulkan perbedaan pendapat. Dari perbedaan pendapat ini terbentuklah kelompok- kelompok fiqh yang pada mulanya terdiri dari murid-murid para imam mujtahid.

Setelah periode keemasan fiqh Islam tersebut, dunia ijtihad adakalanya mengalami stagnasi dalam pemikiran fiqh sebagai basis peradaban yang dominan di dunia Islam.

Hal ini disebabkan ulama masing-masing madzhab yang sudah terbentuk lebih mempertahankan pendapat madzhabnya daripada berijtihad langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Pada masa ini (abad ke 4 H), perkembangan ijtihad dan mulai lmengalami kevakuman kemajuan intelektual. Kemudian mereka mengisi kevakuman ini dengan berbagai aktivitas, di antaranya:

1. Meresume kitab-kitab lama.

2. Membuat syair atau nadham

3. Memberi syarah kitab-kitab sebelumnya (fiqh madzhab masing-masing).

4. Mempersulit penulisan kitab dengan penggunaan kosa kata asing seperti jam’u al-Jawami’ ibn Subki sebagaimana diakui oleh Syech Khodhari Biek , ahli ushul fiqh dan Tarikh tasyri’.

5. Menulis kitab dengan kata-kata indah dalam karya ilmiahnya, seakan menyembunyikan kurang kreatif.

Dinamisasi fiqh perlu dilakukan melalui telaah ulang pendapat ulama terdahulu (i‘âdatun nazhar) ketika suatu pendapat (qaul) dipandang tidak cocok lagi untuk dijadikan pegangan karena sulit diimplementasikan dalam kehidupan atau menimbulkan kesulitan terhadap manusia (ta‘assur aw ta‘adzdzurul a‘mal), sebagaimana dikatakan oleh Syekh Ba’sûdan :

اعلم أن أئمتنا الشافعية رضوان الله عليهم لهم اختيارات مخالفة لمذهب الإمام الشافعي رضي الله عنه اعتمدوا العمل بها لتعسر أو تعذر العمل بالمذهب، وهي كثيرة مشهورة وعند التحقيق فهي غير خارجة عن مذهبه، وذلك إما بالاستنباط أو القياس أو الاختيار من قاعدة له أو على قول له قديم أو لدليل صحيح، لقوله رضي الله عنه: إذا صح الحديث فهو مذهبي، فمن الاختيارات العمل بمذهب مالك في أن الماء لا ينجس مطلقا إلا بالتغير

Artinya, “Ketahuilah bahawa para pemuka mazhab Syafi’i mempunyai pilihan yang berbeda dengan mazhab Imam Syafii. Mereka tetap berpegang pada pilihan tersebut di saat tidak memungkinkan untuk menggunakan metode yang ditetapkan mazhab. Kasus ini banyak terjadi, dan menurut pendapat yang terpercaya, hal seperti ini tidak keluar dari lingkup mazhab Syafi‘i.

Demikian ini bisa terjadi adakalanya dengan mempergunakan cara pengambilan hukum sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafii atau dengan cara qiyas atau dengan mempergunakan kaidah yang telah diformulasikan olehnya atau dengan memilih pendapat terdahulu (qaul qadîm), atau terdapat dalil yang lebih shahih.

Imam Syafi’i sendiri pernah berkata, ‘Jika (kamu temukan) hadis shahih, maka itulah mazhabku.’ Di antara pilihan itu adalah menerapkan mazhab Imam Malik bahwa air tidak menjadi najis secara mutlak kecuali sebab berubah warna, bau dan atau rasanya.

Dari waktu ke waktu, umat muslim semakin meluas ke berbagai belahan dunia. Masing-masing mereka hidup dalam kultur berbeda secara otomatis menuntut proses penentuan hukum harus berkembang. Proses ini dilakukan untuk menjawab peristiwa peristiwa yang tidak terjadi di zaman Rasul.

Mulailah babak baru untuk melakukan ijtihad sehingga muncul banyak aliran mazhab. Banyaknya mazhab fiqh yang muncul dalam sejarah perkembangan hukum Islam banyak melahirkan kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh para imam mujtahid. Karya-karya tersebut diposisikan sebagai barometer pengambilan hukum yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah masyarakat. Kita banyak melihat jumlah kitab-kitab fiqh ketimbangan dengan keilmuan yang lain, karena itu kita tidak fanatic buta pada mazhab tertentu, sebagaimana perkataan Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki dalam karyanya, Mafhum at-Tathawwur wa at-Tajdid fi asy-Syari’ah al-Islamiyah :

لم يكن أئمة الدين والفقه يلزمون الأخذ بمذاهبهم والتزام العمل بها بل كانوا لا يرون غضاضة من الخلاف وكان الواحد منهم اذا رأى المصلحة لا يأنف أن يرجع إليها

Artinya: “tidak ada para imam agama dan fiqh mengharuskan mengikuti mazhab mereka dan harus mengamalkan tetapi mereka memandang kerendahan perbedaan. Salah satu dari mereka terkadang menggunakan kemasalahatan maka tidak boleh meremehkan untuk menarik Kembali pendapatnya.”

Penyataan Abuya di atas sangat cocok dengan konteks Indonesia, terutama NU di masa yang akan datang, dimana sekarang ini banyak sekali kader-kader NU yang menuntut ilmu di berbagai negara yang multi mazhab. Jika tidak diantipasi mulai sekarang, maka akan terjadi benturan di dalam tubuh NU. Multi mazhab merupakan suatu keniscayaan dan sesuai dengan fitrah kelahiran Jam’iah Nahdhatul Ulama (kebangkitan ulama) yang bediri 31 Januari 1926.

Pada masa awal NU memang hanya perjuangan ulama yang berbasis di Pesantren. Tetapi tuntutan habitat lingkungan akan mengalami perubahan secara terus-menerus. Apalagi pada masa kini, tantangan, dan tuntutan zaman, problema kehidupan masyarakat yang terus mengalir tiada henti.

Karena itu, perlu mengingat amanat Khadlrahtus syech KH. Hasyim Asy’ari kepada kyai As’ad kecil agar memperbanyak mencetak ahli fiqh. Akhirnya, amanat itu diimplementasikan oleh KHR. As’ad Syamsul Arifin pada tahun 1990 dengan mendirikan Ma’had Aly, sebagai lembaga tinggi pesantren dengan konsentrasi fiqh dan ushul al-fiqh.

Ma’had Aly ini merupakan buah pemikiran visioner KHR. As’ad Syamsul Arifin untuk melahirkan fiqh peradaban dunia baru dengan basis kemanusian, sebagaimana perkataan Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki dalam karyanya, “as-Syari’ah Allah al-Khalidah: Dirasah fi Tarikh Tasyri’ al-Ahkam wa Madzahib al-Fuqaha’ al-A’lam :

فالفقه الإسلامي نظام عام للمجتمع البشري لا الإسلامي فقط

Artinya: “Fiqh Islam adalah sistem sosial yang mencakup seluruh komunitas manusia bukan Islam saja.”

Selama ini, ada ungkapan ‘pintu ijtihad telah tertutup’, tetapi ungkapan ini bukanlah suatu yang baku. Walaupun sedikit banyak ada benarnya, tetapi pada hakikatnya pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Artinya, kapan pun dan dimana pun, ijtihad tetap bisa dilakukan, bahkan kita akan selalu butuh ijtihad.

Hal ini dapat dibuktikan dengan fakta sejarah bahwa umat Islam selalu ada pemikiran yang dinamis dalam setiap kurun yang disebut oleh pakar sosiologi, evolusi Islam. Namun bukan berarti itjihad boleh dilakukan oleh siapa saja. Karena itu, pintu ijtihad ibarat pintu kokpit dalam tubuh pesawat terbang. Kita sebagai penumpang tidak boleh masuk ke dalamnya, karena bukan pilot dari pesawat itu. Namun, pintu kokpit pesawat tidak selamanya tertutup karena di dalamnya ada pilot yang mengemudikan arah terbang. Tidak sembarang orang boleh keluar masuk pintu kokpit pesawat. Sebagai penumpang jangan coba-coba nekat masuk dan mengotak-atik tombol dan panel instrumen di dalamnya karena berakibat pesawat bisa tertabrak akibat dikemudikan oleh orang yang bukan ahlinya.

Karena itu, pintu ijtihad terbuka bagi mereka yang mampu melakaukan ijtihad. Karena itu, sangat menginpirasi dauh Abu Sayyid Muhammad al-Maliki dalam karyanya, Mafhum at-Tathawwur wa at-Tajdid fi asy-Syari’ah al-Islamiyah:

لسنا ندعي غلق باب الاجتهاد بل هو مفتوح على مصراعيه إلى يوم القيامة ولكن لمن كان أهلا لذلك

Artinya: “Kami tidak mengklaim tertututnya pintu ijtihad bahkan terbuka sampai hari kiamat kelak. Tetapi tentunya bagi orang yang memiliki kemapuan berijtihad.”

Jika dikaitkan dengan kekinian, dimana banyak muncul persoalan-persoalan baru yang membutuhkan untuk menjawabnya. Hal ini mendorong beberapa ilmuwan dan pemikir modern seperti Hasan at-Turabi dan Yusuf al-Qardhawi bersemangat mengajak pada pentingnya mereview syarat-syarat berijtihad, dan berkesimpulan bahwa penting menjadikan ilmu umum dan sosial sebagai salah satu bahan berijtihad di masa kini . Karena itu, sangat perlu kiranya membuka ijtihad dengan bentuk lain, ijtihad jama’iy (kolektif).

Prosedur ijtihad kolektif diikuti para cendekiawan Muslim menghargai dan memahami bahwa masalah di era modern jauh lebih kompleks daripada di masa kenabian lima belas abad yang lalu. Dengan ijtihad jama’i, seluruh mujtahid dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu sains, sosial, dan hukum Islam, dapat berkumpul merumuskan sebuah produk hukum yang berbasis kemaslahatan umum. Ijitihad kolektif biasanya dilakukan oleh sebuah lembaga fatwa yang memiliki otoritas penuh dari Negara dan masyarakat.

Di Timur Tengah ada Dar al-Ifta di Mesir yang merupakan lembaga fatwa resmi tertua di dunia yang masih ada sampai saat ini. Sedangkan di Eropa ada The European Council For Fatwa and Research, lembaga fatwa ini bersifat independen dan merupakan gabungan dari banyak ulama besar dari berbagai negara di dunia. Lembaga International Islamic Fiqh Academy (IIFA) di bawah OKI merupakan upaya untuk mempermudah ijtihad kolektif. Lembaga ini memiliki beragam ahli ijtihad yang dikirim oleh negara anggotanya, di samping juga anggota yang memiliki kemampuan tersendiri di bidangnya, misalnya ahli ekonomi, ahli kedokteran, ahli sains dan lain sebagainya.

Hal ini mempermudah proses pengistinbathan hukum, karena setiap orang mampu memberikan jawaban atas sebuah permasalahan sesuai dengan keahliannya. Sedangakan Indonesia memiliki beberapa lembaga fatwa di antaranya Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, komisi Fatwa MUI dan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Ijtihad kolektif merupakan wasilah atau sarana terbentuknya ijma’, sedangkan ijma’ merupakan tujuan dari adanya ijtihad kolektif. Sebagian pemikir kontemporer ada yang menyamakan antara ijtihad kolektif dengan ijma’, dikatakan bahwa ijma’ yang faktual terjadi merupakan ijtihad kolektif, padahal antara media (wasilah) dengan tujuan merupakan dua hal yang berbeda. Ijma’ tidak dapat terwujud tanpa adanya ijtihad kolektif yang dilakukan sekelompok ahli ijtihad. Pada saat bersamaan tidak semua ijtihad kolektif menghasilkan ijma’, karena kadangkala hasil yang diputuskan tidak menjadi kesepakatan semua orang yang terlibat, melainkan hanya suara mayoritas.

Secara fungsional, Ijtihad kolektif dapat mencegah perpecahan umat Islam, karena mereka sepakat dengan hukum yang sama. Banyak masalah yang jika diputuskan dengan ijtihad individu akan timbul perselisihan pendapat.

Perlu ditegaskan, ijtihad yang diharapkan haruslah mengakomodir dua tujuan utama, yaitu: pertama, sampai kepada maksud Allah yang tersimpan dalam kasus-kasus dan permasalahan yang berbeda-beda. Kedua, sampai pada implementasi maksud Allah terhadap kenyataan individu dan kelompok. Ini dapat dilakukan setelah memahami kenyataan dengan pemahaman yang mapan sesuai dengan pemahaman wahyu misalnya, penentuan hilal bulan Ramadhan dan Syawal. Masalah ini kerap menimbulkan perselisihan dan perdebatan antara pakar keilmuan pada satu negara, hingga kerap menimbulkan perbedaan kelompok atau ormas Islam.

Maka selayaknya permasalahan ini diputuskan lewat lembaga-lembaga ijtihad kolektif sehingga melahirkan fiqh sebagai sarana penyatu umat, sebagaimana digambarkan oleh Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki dalam karyanya ,as-Syari’ah Allah al-Khalidah: Dirasah fi Tarikh Tasyri’ al-A3hkam wa Madzahib al-Fuqaha’ al-A’lam:

فالأمة الإسلامية لا حياة لها بدون الفقه ولا رابطة ولا جامعة تجمعها سوى رابطة الفقه

Artinya: “kehidupan Umat Islam tidak akan pernah ada tanpa fiqh, tidak ada sarana dan pemersatu yang dapat menyatukan umat Islam kecuali dengan fiqh. (***)

 

diunggah oleh:

Picture of Muhammad Ihyaul Fikro

Muhammad Ihyaul Fikro

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »