Pemikiran Kiai Afif Tentang Pembentukan Negara Islam di Indonesia

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Dalam Islam, persoalan politik masuk dalam kategori fiqh muamalah. Prinsip dasar dalam muamalah adalah boleh dilakukan selama tidak ada dalil yang melarang. Jika mengacu kepada prinsip ini, maka ketentuan mengenai persoalan politik tidak memerlukan dalil yang detail.

Dasar pembentukan sebuah pemerintahan dalam Islam ialah kemaslahatan yang dituangkan dalam berbagai dalil kulli berkenaan dengan seruan moral. Adapun menyangkut detail-operasionalnya, Islam sangat akomodatif dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu ketatanegaraan.

Kehadiran negara dalam pandangan Islam bukanlah tujuan (ghayah), melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan (wasilah). Tujuan berdirinya sebuah negara adalah mewujudkan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena posisi negara sebagai sarana mencapai tujuan, maka menjadi masuk akal jika dalam teks wahyu, bentuk negara dan sistem pemerintahan tidak disebutkan secara tersurat dan terperinci. Sebaliknya, teks wahyu banyak berbicara soal negara dan pemerintahan secara makro dan universal.

Dengan demikian, Islam memberikan kebebasan kepada umatnya dalam bentuk dan format negara dan memberikan ketentuan-ketentuan global dan universal berkaitan penyelenggaraan negara. Jadi, tidak apa persoalan ketika para pendiri bangsa ini memiliki sistem demokrasi dengan dasar pancasila. Indonesia meskipun tidak disebut Negara Islam (Daulah Islâmiyah), dapat dikatakan sebagai daerah Islam (Darul Islam). Hal ini sebagaimana hasil Muktamar NU pada 9 Juni 1936 di Banjarmasin yang merujuk kepada kitab Bughyah al-Mustarsyidin, yaitu,

كل محل قدر مسلم ساكن به على الامتناع من الحربيين في زمن من الأزمان يصير دار إسلام، تجري عليه أحكامه في ذلك الزمان وما بعده، وإن انقطع امتناع المسلمين باستيلاء الكفار عليهم ومنعهم من دخوله وإخراجهم منه، وحينئذ فتسميته دار حرب صورة لا حكماً، فعلم أن أرض بتاوي بل وغالب أرض جاوة دار إسلام لاستيلاء المسلمين عليها سابقاً قبل الكفار.

“ Setiap tempat yang dihuni kaum muslimin yang mampu mempertahankan diri dari (dominasi) kaum Harbi (musuh) pada suatu zaman tertentu, dengan sendirinya menjadi Darul Islam yang berlaku kepadanya ketentuan-ketentuan hukum saat itu, meskipun suatu saat mereka tak lagi mampu mempertahankan diri akibat dominasi kaum kafir yang mengusir dan tidak memperkenankan mereka masuk kembali. Dengan demikian, penyebutan wilayah itu sebagai darul harbi hanya formalistis bukan status yang sebenarnya. Maka menjadi maklum, bahwa Bumi Betawi dan sebagian besar Tanah Jawa adalah Darul Islam karena telah terlebih dahulu dikuasai kaum muslimin.”

Menurut Almukarram KH. Afifuddin Muhajir, label sebagai bukan “Negara Islam” yang diberikan kepada negara Indonesia bukanlah persoalan, karena yang terpenting bukanlah cap dan format, melainkan substansi dan hakikat. Bahkan, cap tersebut lebih aman bagi kaum muslimin ketimbang terjadi kecemburuan dan sentimen agama. Akan tetapi, “bukan Negara Islam” tidak bermakna tidak sah menurut Islam. Islam memang memiliki aturan-aturan universal yang ideal berkenaan dengan negara, namun di sisi yang lain Islam juga realistis dengan tidak menutup mata dari realitas yang terjadi.

Sebenarnya sistem pemerintahan dan bentuk negara merupakan masalah ijtihâdiyyah karena tidak ada nash qot`i yang memerintahkan untuk mendirikan Negara dengan bentuk dan sitem tertentu. Teks-teks wahyu tidak pernah berbicara secara mendetail dan terperinci menyangkut relasi agama dan negara. Sebaliknya, teks wahyu banyak mengungkap relasi agama dan negara secara global dan universal. Menyangkut persoalan ini, teks wahyu baik dalam Alquran maupun Hadist memberikan pesan moral tentang pentingnya penegakan keadilan, asas persamaan di muka hukum, demokrasi, penegakan HAM dan kebebasan.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Pendirian negara Islam masuk dalam ranah ijtihâdiyyah karena tidak ada aturan baku dalam Al-Qur`ân dan Hadith terkait bentuk dan sistem pemerintahan tertentu. Aturan yang ada berupa aturan universal yang muara akhirnya adalah keadilan dan kemaslahatan bagi rakyat. Jadi apapun bentuk dan sistem pemerintahannya, yang terpenting prinsip-prinsip universal tentang prinsip-prinsip pemerintahan Islam bisa dilaksanakan dan diterapkan dengan baik. Demokrasi sebagai sistem yang digunakan di Indonesia termasuk salah satu sistem pemerintahan yang memiliki banyak kesesuaian dengan prinsip-prinsip Islam.

 

Oleh: Ahmad Muzakki (Mudir Ma`had Aly Zainul Hasan Genggong Probolinggo)

 

diunggah oleh:

Picture of El Muhammad

El Muhammad

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »