Smartphone: Replika Dajjal di Era Digital yang Mengintai Ketahanan Keluarga

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

Oleh : Saini

Dengan tidak menafikan manfaat positif yang dibawa oleh smartphone, seperti kemudahan dalam berkomunikasi dan akses informasi tanpa batas, bahaya dari penggunaannya yang berlebihan dan tanpa kontrol jelas tidak bisa diabaikan. Smartphone, dengan berbagai fiturnya, menyimpan potensi yang sangat berbahaya jika digunakan secara terus-menerus tanpa pengawasan. Oleh karena itu, sangat penting untuk merumuskan strategi yang efektif agar dampak negatifnya bisa diminimalkan, terutama dalam menjaga ketahanan keluarga.

Pada dasarnya, smartphone diciptakan untuk mempermudah berbagai aspek kehidupan, tetapi pada saat yang sama, ia juga berpotensi menjadi alat yang dapat memanipulasi realitas. Media sosial, misalnya, menawarkan gambaran kehidupan yang sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Orang cenderung menunjukkan versi terbaik dari diri mereka, menimbulkan ilusi kebahagiaan yang palsu. Situasi ini menggeser fokus masyarakat dari kehidupan nyata dan membuat mereka terjebak dalam dunia maya, mirip dengan bagaimana Dajjal dikenal sebagai penipu ulung yang mampu mengaburkan batas antara benar dan salah.

Penggunaan smartphone yang berlebihan sering kali mengikis nilai-nilai spiritual yang menjadi fondasi kehidupan keluarga. Banyak orang menghabiskan lebih banyak waktu dengan perangkat mereka daripada dengan aktivitas ibadah atau spiritual. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas kehidupan beragama dalam keluarga, yang pada akhirnya berdampak pada ketahanan dan keharmonisan keluarga itu sendiri. Kehadiran smartphone dalam keseharian kita, tanpa disadari, telah menggerus prioritas yang seharusnya menjadi perhatian utama.

Tidak hanya mengganggu kualitas spiritual, smartphone juga mempengaruhi interaksi sosial dalam keluarga. Terlalu banyak anggota keluarga yang asyik dengan gadget masing-masing, bahkan saat sedang berkumpul. Ini mengurangi waktu berkualitas bersama keluarga dan menciptakan jarak emosional antara anggota keluarga. Anak-anak, yang seharusnya tumbuh dengan komunikasi langsung dan interaksi hangat dari orang tua, sering kali lebih memilih untuk berlama-lama di depan layar. Akibatnya, ikatan keluarga menjadi rapuh, seperti halnya Dajjal yang dalam ajarannya merusak hubungan yang seharusnya kuat.

Lebih jauh lagi, smartphone dapat memicu konflik rumah tangga. Pasangan suami-istri kerap terlibat dalam pertengkaran akibat rasa cemburu terhadap aktivitas di media sosial. Ketidakpercayaan dan rasa curiga yang timbul dapat merusak hubungan pernikahan, sedangkan anak-anak menjadi semakin sulit dikendalikan terkait penggunaan gadget. Masalah ini sering kali diabaikan oleh banyak keluarga, meskipun dampaknya sangat signifikan terhadap dinamika rumah tangga. Smartphone secara perlahan namun pasti dapat menggoyahkan fondasi hubungan yang seharusnya dibangun atas dasar komunikasi dan saling percaya.

Kehadiran smartphone dalam kehidupan anak-anak juga patut diwaspadai. Kemudahan mengakses berbagai konten di internet dapat berbahaya bagi perkembangan moral anak-anak. Mereka dapat dengan mudah menemukan konten negatif, seperti kekerasan atau pornografi, yang bisa merusak akhlak dan nilai-nilai mereka. Meskipun orang tua mungkin berusaha memantau penggunaan smartphone anak-anak, kenyataannya adalah bahwa kontrol tersebut sering kali tidak cukup. Layaknya Dajjal yang menyebarkan keburukan, smartphone membuka jalan bagi masuknya pengaruh yang merusak ke dalam rumah.

Di sisi lain, smartphone memudahkan masuknya budaya asing yang tidak selalu selaras dengan nilai dan norma lokal. Ini menyebabkan tergerusnya identitas budaya yang selama ini dijaga dengan baik oleh masyarakat. Ketika anak muda lebih tertarik dengan gaya hidup dan tren yang datang dari luar, nilai-nilai keluarga yang diturunkan dari generasi ke generasi pun mulai memudar. Kehadiran smartphone sebagai pintu masuk pengaruh asing ini membuat kita harus lebih waspada dalam menjaga identitas budaya keluarga dan masyarakat.

Smartphone juga mengubah cara kita memaknai kebahagiaan. Banyak orang kini menilai kebahagiaan berdasarkan seberapa banyak “like” atau komentar yang mereka dapatkan di media sosial. Ini adalah bentuk kebahagiaan semu yang didasarkan pada validasi dari orang lain, bukan dari pengalaman nyata atau kualitas hidup yang sesungguhnya. Ketika hidup hanya diukur melalui respons di dunia maya, perasaan tidak puas dengan kehidupan nyata mudah timbul. Kondisi ini mempengaruhi suasana hati anggota keluarga dan bahkan dapat menyebabkan gangguan psikologis.

Tidak hanya itu, kecanduan smartphone juga dapat berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental. Menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar dapat menyebabkan masalah kesehatan, seperti gangguan penglihatan, postur tubuh yang buruk, serta meningkatnya risiko depresi dan kecemasan. Ketika seseorang terus-menerus terpaku pada layar, interaksi dengan anggota keluarga lain menjadi berkurang, menciptakan lingkungan yang kurang sehat baik secara fisik maupun emosional.

Penggunaan smartphone juga sering kali digunakan sebagai cara mudah bagi orang tua untuk menenangkan anak-anak mereka. Ketika orang tua sibuk atau lelah, memberikan gadget kepada anak-anak tampaknya menjadi solusi praktis. Namun, penggunaan smartphone sebagai “pengasuh” ini justru mengurangi interaksi langsung antara orang tua dan anak. Anak-anak menjadi terbiasa mencari hiburan melalui gadget, bukan melalui permainan fisik atau kegiatan bersama keluarga. Dampaknya, kualitas pengasuhan menurun dan anak-anak kehilangan kesempatan untuk belajar dari interaksi nyata.

Berita palsu atau informasi yang tidak benar mudah menyebar melalui smartphone, yang membuat batas antara fakta dan fiksi menjadi semakin kabur. Dalam konteks keluarga, ini bisa menyebabkan kesalahpahaman dan konflik. Orang tua dan anak mungkin memiliki pemahaman yang berbeda mengenai suatu topik hanya karena informasi yang mereka terima berbeda. Kehadiran smartphone sebagai penyebar kebohongan ini serupa dengan sifat Dajjal yang dikenal sebagai penyebar fitnah.

Selain itu, smartphone memperlebar kesenjangan generasi. Anak-anak yang tumbuh dengan teknologi digital sering kali memiliki sudut pandang dan nilai yang berbeda dari orang tua mereka. Ketika komunikasi antar generasi semakin sulit, maka jarak emosional dalam keluarga pun semakin lebar. Masalah ini perlu diselesaikan melalui dialog yang lebih terbuka dan pengertian yang lebih dalam antara orang tua dan anak.

Di tengah semua bahaya yang ditimbulkan, keluarga perlu mencari cara untuk mengendalikan penggunaan smartphone. Orang tua harus berperan aktif dalam membuat aturan yang jelas tentang penggunaan gadget, tidak hanya untuk anak-anak tetapi juga untuk diri mereka sendiri. Membatasi waktu layar dan mendorong aktivitas bersama tanpa gadget adalah langkah penting dalam memperkuat ikatan keluarga. Dengan cara ini, keluarga bisa memanfaatkan sisi positif smartphone tanpa harus terjebak dalam pengaruh buruknya.

Pada akhirnya, smartphone memang membawa banyak manfaat, tetapi jika tidak digunakan dengan bijak, perangkat ini bisa menjadi ancaman nyata bagi ketahanan keluarga. Menganggapnya sebagai replika Dajjal di era digital bukanlah tanpa alasan, karena dampak buruknya bisa menghancurkan nilai-nilai yang selama ini kita junjung tinggi. Sudah saatnya kita menyadari bahaya ini dan berusaha menjaga keluarga dari pengaruh negatif yang mungkin timbul.

Kunci utama untuk mengatasi tantangan ini adalah dengan menggunakan smartphone secara sadar dan bertanggung jawab. Dengan strategi yang tepat, smartphone tidak harus menjadi ancaman bagi keluarga, melainkan bisa menjadi alat yang mendukung keharmonisan dan kesejahteraan.

**Penulis adalah Dosen Hukum Keluarga Islam STIS Nurul Qarnain Jember

diunggah oleh:

Picture of Muhammad Ihyaul Fikro

Muhammad Ihyaul Fikro

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »