Saya pertama kali mendengar kisah tentang tongkat dan tasbih terkait pendirian NU sekitar tahun 1993. Jika ingatan saya tidak keliru, saat itu saya mendengarnya melalui kaset rekaman yang diputar di Percetakan Assyarif Sukorejo. Tidak ada momen khusus yang menyertai pemutaran kaset itu, hanya keinginan tulus untuk mendengarkan bagaimana seorang guru mewasiatkan misi penting kepada murid-muridnya.
Suasana saat itu sungguh berbeda dengan kondisi sekarang – di mana sering kita saksikan upaya-upaya untuk mendeligitimasi peran pihak lain demi kepentingan sesaat. Kami waktu itu hanya ingin mendengar, bahkan berulang kali, pesan sang guru, dengan harapan Allah memberikan kekuatan untuk menjalankan wasiat tersebut.
Kini, kisah tongkat dan tasbih itu dipertanyakan dengan mengedepankan berbagai catatan dan arsip. Sejatinya, sejarah memang perlu terus ditinjau ulang dan dikritisi – bukan untuk melemahkan legitimasi, melainkan untuk belajar lebih baik dalam meneladani masa lalu. Namun perlu dipahami, menggunakan catatan administratif semata untuk mengkritisi cerita tutur bernuansa spiritual adalah pendekatan yang kurang tepat. Keduanya berada dalam dimensi dan alam pemahaman yang berbeda.
Dalam khazanah pesantren, sebagaimana dijelaskan Jan Vansina dalam Oral Tradition as History (1985), terdapat pengetahuan yang hidup melalui transmisi lisan guru-murid, dengan mekanisme penjagaan kebenarannya yang khas. Kiai As’ad, sebagai penerima langsung wasiat Kiai Khalil Bangkalan, tidak sekadar menyampaikan fakta historis, tetapi menyampaikan isyarat spiritual yang dalam. Kisah tongkat dan tasbih ini adalah simbol tentang istiqamah dan ketundukan kepada Allah sebagai ruh perjuangan NU.
Paul Connerton dalam How Societies Remember (1989) mengingatkan kita bahwa masyarakat memiliki cara unik mengingat masa lalu, salah satunya melalui artefak sensorik. Tongkat dan tasbih dalam narasi Kiai As’ad berfungsi sebagai pengingat material akan komitmen spiritual NU, di mana ketepatan kronologis bukanlah hal utama. Ini adalah cara khas kaum santri memahami sejarah melalui pendekatan spiritual.
Ingatan kolektif sering muncul kembali untuk menjawab kebutuhan zaman, demikian kata sosiolog Perancis Halbwachs dalam teori memori kolektif. Kiranya hak itu yang membuat kisah tongkat dan tasbih itu baru populer tahun 1980an. Mungkin saat itu NU membutuhkan penguatan identitas spiritual di tengah gejolak politik sehingga kisah itu diceritakan kembali.
Kritik terhadap ketiadaan bukti tertulis adalah sah, namun dalam tradisi pesantren, otoritas guru (sanad) tetap menjadi metode valid untuk menetapkan kebenaran, sebagaimana diakui dalam epistemologi Islam klasik.
Kiai As’ad sendiri adalah ulama pergerakan yang memiliki rekam jejak dengan tingkat kewara’an diatas ratarata, beliau tidak pernah tergoda kekuasaan. Beliau pernah menolak tawaran menjadi Menteri Agama di era Soekarno demi mengabdi kepada para santri. Demikian pula putra-putrinya, mereka bukanlah generasi yang merasa berhak mendapatkan keuntungan dari jasa orang tua. Semoga Allah senantiasa menjaga keluarga besar Sukorejo dan kita semua dari sifat-sifat tercela.
Akhir kata, mari kita lihat kisah ini bukan sebagai bahan perdebatan, tetapi sebagai pelajaran tentang kesetiaan kepada guru dan keteguhan dalam berjuang. Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh: Malik
Sydney 29.5.25









