ASWAJADEWATA.COM
Diriwayatkan, suatu ketika pernah ada seorang perempuan datang kepada Nabi lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku hendak menikahkanku dengan seseorang yang aku tidak menyukainya.” Lalu Nabi berkata kepadanya, “Perkenankan ayahmu melakukan kehendaknya.” Dia menjawab, “Saya tidak menyukai.” Nabi berkata lagi, “Perkenankan apa yang dilakukan ayahmu.” Demikian secara berulang-ulang terjadi tanya jawab antara Nabi dengan perempuan tersebut. Ketika perempuan itu bersikeras menolak, akhirnya Nabi berkata: “Sesungguhnya engkau punya hak untuk menolak”. Kemudian Nabi memerintahkan si ayah membiarkan anak gadisnya itu menuruti kehendaknya. Di saat setelah Nabi berkata begitu, si gadis berkata, “Aku perkenankan apa yang dilakukan ayahku, tetapi aku ingin para ayah mengetahui bahwa mereka tidak mempunyai kekuasaan apa-apa mengenai urusan (pernikahan) anak perempuan mereka”.”
Ayah yang bijak adalah menentukan pilihan anaknya
bukan memilih ketentuannya sendiri
Hadits di atas menceritakan tentang seorang perempuan dan ayahnya yang sama-sama memiliki kehendak. Perempuan itu berkehendak untuk memilih cinta sesuai kehendak hatinya. Sementara ayahnya berkehendak agar anaknya menikah dengan laki-laki yang menjadi pilihannya. Memang sulit, bahkan mustahil menentukan pilihan yang sama-sama berkehendak, apalagi kehendak cinta yang berlawanan dengan kehendak orang tua. Begitulah tradisi yang sering kali terjadi dalam percintaan, khususnya percintaan ala Siti Nurbaya.
Pemahaman lain dari hadits tersebut, Rasulullah tidak memaksa seseorang yang memang sama sekali tidak memiliki keinginan (suka, cinta, dan sayang) untuk menikah dengan orang yang tidak dikehendakinya. Artinya, Rasulullah juga mempertimbangkan perasaan seseorang yang kosong dari rasa suka dan cinta.
Islam menyuruh mempertimbangkan pendapat pihak perempuan, dan janganlah dia dipaksa menikah dengan orang yang tidak disukainya, walaupun dia masih gadis. Sebab, gadis itu harus dimintai izinnya (untuk dinikahkan) dan izinnya ialah jika dia diam, selama hal itu merupakan indikasi kerelaannya. Nabi pernah membatalkan pernikahan seorang perempuan yang dipaksa nikah dengan seseorang yang tidak disukainya.
Jadi, si gadis wajib diajak musyawarah, dimintai kerelaannya, dan perlu diketahui pendapatnya, baik secara terang-terangan maupun dengan melihat indikasinya.
Demi mewujudkan rumah tangga yang ASMARA (As-Sakinah, MAwaddah, wa RAhmah), seharusnya -barang kali sewajibnya- orang tua atau wali memperhatikan kemauan dan keinginan anak-anak perempuannya. Janganlah si ayah membuang perasaan dan keinginan anaknya dan menjadikannya amplop kosong tak berisi, lalu mengawinkannya dengan siapa yang saja yang dipilihnya, sehingga si anak memasuki kehidupan rumah tangga dengan terpaksa. Karena si anak itulah kelak yang akan menjalani hidup dengan suaminya, bukan si ayah. Tetapi ini tidak berarti bahwa antara pemuda dan si gadis harus sudah ada hubungan cinta sebelum terjadinya perkawinan, namun paling tidak harus ada kerelaan hati. Karena itu, Islam memerintahkan ta’aruf (saling mengenal) terlebih dahulu sebelum terjadi akad. Rasulullah bersada, “Lihatlah dia karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua”
Kriteria Gadis Tak perlu dijodohkan
Ada beberapa criteria gadis yang tak perlu dijodohkan. Pertama, Gadis yang sudah dewasa. Gadis yang seperti ini biasanya sudah mampu memilih mana yang baik dan buruk untuk menentukan masa depannya, termasuk masa depan keluarganya sendiri.
Kedua, gadis yang sudah berpendidikan. Gadis seperti ini, selain dia dewasa, pasti dia sudah memiliki bekal yang baik untuk menentukan masa depan keluarganya. Tapi harus dilihat dulu, berpendidikannya apa memang sudah memiliki kelimuan yang mapan atau sekedar mendapatkan ijazah?
Ketiga, gadis yang sudah memiliki karier. Gadis seperti ini biasanya lebih matang dalam memilih pasangan hidup untuk memabngun masa depan keluarganya. Karena dia sudah lebih mandiri. Ciri-ciri perempuan yang mandiri, dia sudah memiliki usaha sendiri dan bisa mengatur keuangan.
Ketiga kriteria di atas tidak untuk dijadikan alasan bagi seorang gadis untuk menentukan pilihannya dengan sesukanya, atau dijadikan bahan argument untuk membantah orang tuanya. Kriteria ini ditujukan kepada orang tua untuk dijadikan pertimbangan agar tidak memutuskan pilihan pasangan anak perempuannya dengan sekehendaknya sendiri.
Bagi seorang ayah yang memiliki anak perempuan yang berkriteria di atas, tidak sepantasnya menjodohkan anak perempuannya dengan tidak mempertimbangkan pendapatnya. Apalagi dengan cara mengabaikan perasaannya. Ayah yang bijak adalah menentukan pilihan anaknya bukan memilih ketentuannya sendiri. (Dikutip dari buku Peka Rasa)