Kiai Azaim Temukan Catatan Penjelasan Keganjilan Al-Quran Kuno di Bali

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM | BULELENG

Kehadiran Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, KHR Ahmad Azaim Ibrahimy di Masjid Jami Agung Singaraja Buleleng, Bali pada Rabu (22/02) lalu, mampu menjawab keganjilan pada Al-Quran kuno yang tersimpan di masjid tersebut.

Pengurus Masjid menunjukan kepada Kiai Azaim Mushaf Al-Quran tulisan tangan yang telah berusia dua abad, atau sekitar tahun 1820 Masehi. Mushaf kuno ini diyakini ditulis oleh I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi, keturunan I Gusti Anglurah Ki Barak Panji Sakti, pendiri kerajaan Buleleng.

“Yang masih mengganjal kami pak yai, di Al-Quran kuno ini semua surat ditulis kecuali satu surat yang tidak ada, surat Al-Ikhlas” ungkap Muhamad Reza Yunus, Sekretaris Takmir Masjid Jami Agung Singaraja.

Kyai Azaim pun meminta kepada pengurus takmir untuk membuka mushaf tersebut di halaman paling akhir. Sambil Kiai Azaim memperhatikan setiap tulisan di halaman terakhir, Reza menjelaskan bahwa ada beberapa peneliti yang berasumsi tidak adanya Surat Al-Ikhlas di Mushaf kuno ini karena untuk menjaga perasaan saudara agama lain, mengingat di surat tersebut menjelaskan ketauhidan.

Tiba tiba Kiai Azaim menemukan tulisan pembatas antara surat satu dengan yang lainnya, yang ditulis dengan warna merah, atau tepatnya setelah surat Al-Lahab.

“Dugaan sementara, beliaunya (penulis Mushaf) akan menuliskan surat Al-Ikhlas, karena sudah dicantum disini, bahkan disebutkan arbaah ayat makkiah , tapi penulisnya langsung menulis ayat Al-Falaq” Jelas Kiai Azaim.

Masih menurut Kiai Azaim, penulisnya bukan sengaja untuk menghilangkan Surat Al-Ikhlas, tapi karena terjadi kesalahan atau kelupaan sehingga langsung menulis ke surat berikutnya. Sebab, jika memang sengaja, tidak mungkin ada penjelasan kalimat pembatas antar surat, dimana disana jelas menyebut Surat Al-Ikhlas berjumlah 4 ayat, namun isinya Al-Falaq yang berjumlah 5 ayat.

Penjelasan Kiai Azaim ini, menurut Reza, lebih bisa diterima dari pada asumsi para peneliti sebelumnya.

“Kita selama ini tidak pernah memperhatikan tulisan pembatas antar surat berwarna merah itu, dan alhamdulillah Kiai Azaim secara tidak terduga bisa menjawab keganjilan kami” terang Reza.

Untuk diketahui, kisah masuknya Islam I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi setelah terjadi peperangan internal keluarga kerajaan. Saat itu, ia yang masih kecil menyelamatkan diri dan sembunyi di Masjid Keramat Kampung Kajanan.

Kemudian ia diselamatkan dan diangkat anak oleh Syech Muhammad Yusuf, seorang guru agama setempat, yang diketahui berasal dari Makassar. I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi belajar mengaji dan agama langsung ke ayah angkatnya. Konon jaman itu, untuk dinyatakan lulus ngaji, harus menuliskan Al-Quran secara utuh.

Al-Quran kuno yang kini menjadi cagar budaya ini memiliki keunikan, bukan hanya tulisan tangan dengan huruf arab, tapi juga dipadukan dengan ukiran khas bali Patra Timun. Sampulnya menggunakan bahan kulit lembu, dan tintanya diambil dari pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar Masjid Keramat Kajanan saat itu.

Sebagai informasi, kehadiran Kiai Azaim ke Masjid Jamik Agung Singaraja dalam rangka pengajian dan pengukuhan Majelis Ratibul Haddad Masyarakat Muslim Bali untuk wilayah Kec. Buleleng dan Kec Banjar. Kegiatan ini juga menjadi rangkaian safari dakwah cucu Pahlawan Nasional KHR As’ad Syamsul Arifin tersebut selama 3 hari di Pulau Dewata.

Penulis: Abdul Karim Abraham

Artikel ini telah dimuat sebelumnya di: NU Online

 

 

diunggah oleh:

Picture of Dadie W Prasetyoadi

Dadie W Prasetyoadi

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »