ASWAJADEWATA.COM – Penyerangan kolonial Belanda terhadap kerajaan Badung atau yang dikenal dengan Puputan Badung pada tahun 1906, mendapatkan kecaman dari negara-negara Eropa, karena hanya untuk menundukan kerajaan kecil Badung tidak menggunakan cara-cara diplomasi, justru menggunakan penyerangan yang menewaskan Raja Badung.
Pihak kolonial Belanda kemudian berencana untuk memulihkan kebijakannya yang salah tersebut dengan memamerkan kebudayaan Bali di Eropa. Dengan memamerkan kebudayaan negeri jajahan, menunjukkan pada negara-negara Eropa bahwa pihak Belanda sebenarnya juga memiliki kepedulian terhadap negeri jajahan (Bali). Dipentaskanlah tarian-tarian Bali, disebarkan juga untuk pertama kalinya brosur wisata tujuan Bali, dengan penggambaran pulau tropis yang eksotik, wanitanya masih bertelanjang dada, dan muncullah istilah the last paradise.
Pada masa-masa setelahnya, Bali terus dijaga untuk membedakannya dengan dua pulau yang mengapitnya, Jawa dan Lombok. Dua pulau yang berada disisi barat dan timur Bali tersebut memiliki agama yang beda dengan penduduk mayoritas Bali. Namun bagi pihak Belanda, yang terpenting bukan hanya melindungi Bali dari pengaruh agama Islam, tapi yang terpenting membendung dari arus pemahaman nasionalisme dari arah barat.
Dibuatlah identitas semu tentang siapa orang Bali sebenarnya. Pihak kolonial terus mensosialisasikan akan identitas ke-bali-an terus dijaga. Orang Bali adalah seniman, patuh dan tidak membangkang. Jangan bicara politik. Politik hanya dibicarakan di Batavia, pembangkangan hanya terjadi di Jawa, bukan di Bali.
Salah satu cara membendung arus pemahaman anti kolonialisme dari Jawa, pihak Belanda mengangkat kembali Raja-Raja Bali di delapan daerah, yang saat ini menjadi delapan Kabupaten. Raja-Raja tersebut memimipin kerajaan boneka Belanda. Segala kebijakan Belanda, dijalankan oleh masing-masing Raja. Dan kebijkan-kebijakan tersebut, sangat menyengsarakan rakyat Bali. Seperti kerja paksa, dan pembayaran pajak yang tinggi. Akibatnya, bukannya melawan pihak kolonial, justru rakyat Bali membenci pihak kerajaan, termasuk golongan kasta tinggi yang mendapat keistimewaan di setiap kebijakan yang dibuat masing-masing kerajaan.
Dalam menanggapi perlakuan istimewa terhadap golongan kasta tinggi (Triwangsa) oleh pihak kerajaan maupun kolonial, sekelompok pemuda terpelajar berkasta rendah (Sudra) mengorganisir diri dalam kelompok yang diberi nama Surya Kanta. Surya Kanta berdiri pada tahun 1925 di Singaraja, dan keberadaannya untuk menyuarakan kesetaraan hak masyarakat Bali tanpa membedakan kasta, dengan menerbitkan media surat kabar yang juga diberi nama Surya Kanta.
Surya Kanta, yang diredakturi kaum Sudra terpelajar, sangat kritis terhadap adanya perbedaan kasta dan hak istimewa kasta, serta mengkritik pemerintah kolonial yang menyokong sistem itu. Koran ini menyerukan pemerintah kolonial agar mendasarkan seleksi pejabat pemerintah pada kriteria pendidikan dan mutu ketimbang kasta.
Koran ini juga mendesak penyederhanaan upacara agama untuk meringankan beban ekonomi orang Bali biasa, dan menuntut demistifikasi pengetahuan agama untuk mengurangi kekuasaan sosial religius yang berlebihan pada Pedanda. Akhirnya koran ini menyerukan pelonggaran dalam hubungan sosial khususnya dalam bahasa, busana, dan aturan perkawinan lintas kasta. (Robinson,2006:52)
Wacana yang didengungkan untuk membongkar hegemoni kasta, sungguh telah menyita perhatian pihak Belanda dan para petinggi yang berkasta tinggi. Dalam menanggapi wacana baru Surya Kanta tersebut, Kelompok Triwangsa menerbitkan koran tandingan bernama Bali Adnyana, yang dengan jelas menyatakan bahwa untuk menjunjung konsep kasta sebagai fondasi prinsipil masyarakat Bali.
Bali Adnyana, yang diredakturi kaum triwangsa dan dijuluki oleh Korn sebagai “koran eksklusif kaum bangsawan”, menanggapi kritik Surya Kanta dengan sengit. Dalam masyarakat dan dalam bahasa, demikian dikemukakan redakturnya, hierarki adalah prinsip alami yang tak boleh diganggu-gugat oleh manusia belaka. Hampir mirip para pejabat Belanda, redaktur Bali Adnyana juga mendengungkan tanda peringatan akan “Bahaya Merah” yang mereka klaim direpresentasikan oleh Surya Kanta dengan “filosofi” komunis-nya.(Robinson,2006:53)
Polemik publik di Bali Utara ini secara tidak langsung juga memecah perhatian masyarakat Bali secara umum akan perkembangan pergerakan nasional di Jawa pada tahun 1920-an. Sehingga tak salah jika banyak pengamat Bali mengatakan bahwa saat berlangsung Kongres II Pemuda Indonesia, yang diikuti dengan lahirnya Sumpah Pemuda 1928, bisa dipastikan tidak ada perwakilan Pemuda Bali yang hadir. Saat itu sedang sibuk-sibuknya anak muda Bali dan masyarakat Bali secara umum dalam perang wacana kebudayaan antara Sudra melawan Triwangsa, Surya Kanta melawan Bali Adnyana.
Dan perdebatan identitas ke-bali-an tersebut, seolah tak pernah menemukan titik temu, hingga sekarang. Dan entah sampai kapan.
Penulis : Abdul Karim Abraham (Pegiat Warung Kopi, aktif di GP Ansor Buleleng)