ASWAJADEWATA.COM |
Setiap menjelang Idul Fitri, umat Islam di berbagai daerah disibukkan dengan berbagai persiapan, mulai dari belanja baju baru hingga membagi-bagikan THR kepada sanak saudara. Namun, di sebuah daerah di Jombang, ada satu pertanyaan yang muncul setiap tahunnya, sebuah dilema yang tampaknya tak kunjung usai. Apakah boleh memberikan THR kepada imam, khotib, dan muadzin dari kas masjid?
Sebuah pertanyaan yang sejujurnya lebih mudah dijawab daripada menentukan apakah ketupat lebih enak dengan opor atau rendang.
Seorang kiai yang memiliki kepekaan luar biasa terhadap hukum Islam pun tak ingin mengambil risiko. Beliau memilih datang langsung untuk sowan ke seorang alim di desa Banjardowo, demi mendapatkan jawaban yang lebih meyakinkan, bukan sekadar diskusi di grup WhatsApp yang isinya lebih banyak kiriman stiker takjil dan doa berbuka puasa.
Dan jawaban pun didapat : “BOLEH”.
Ya, boleh. Dengan catatan bahwa uang tersebut bukan berasal dari dana pembangunan masjid, melainkan dari kas yang memang diperuntukkan bagi kemaslahatan masjid seperti hasil umplungan setiap Jumat. Dengan kata lain, jika dana itu bisa digunakan untuk membayar listrik masjid, membeli pengeras suara, atau bahkan mengganti karpet yang sudah mulai berbau sejarah, maka tentu saja boleh digunakan untuk memberikan apresiasi kepada mereka yang setiap hari mengurus rumah Allah.
Mungkin di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan berpikir: Mengapa pertanyaan ini masih terus muncul setiap tahun?
Apakah kita terlalu sibuk mengkhawatirkan boleh tidaknya memberikan THR kepada imam, khotib, dan muadzin, tetapi lupa bahwa mereka telah bertahun-tahun mengabdikan diri tanpa pernah menuntut imbalan? Apakah kita begitu semangat mengumpulkan dana untuk renovasi kubah masjid agar tampak megah, tetapi enggan memberikan sedikit penghargaan kepada mereka yang setiap hari menghidupkan masjid dengan suara adzan, khutbah, dan shalat berjamaah?
Ironisnya, masjid sering kali menjadi tempat paling sibuk dalam hal pengumpulan dana, tetapi paling pelit dalam hal penghargaan kepada mereka yang mengurusnya. Kita tidak keberatan merogoh kocek untuk infak pembangunan, tetapi saat giliran imam dan muadzin ingin mendapatkan sedikit apresiasi, kita malah sibuk mencari dalil yang melarangnya.
Beruntunglah kita masih memiliki ulama yang paham bahwa agama bukan hanya soal aturan hitam di atas putih, tetapi juga soal keadilan dan kemaslahatan. Sebagaimana disebutkan dalam Ghoyatu Talhisil Murod, harta yang diwakafkan untuk masjid atau kemaslahatannya memang boleh digunakan untuk kebutuhan imam, muadzin, bahkan biaya listrik. Hanya saja, jika harta itu memang dikhususkan untuk pembangunan, maka tidak boleh dialihkan ke pos lain.
Sederhana, bukan?
Namun, di balik semua ini, ada pertanyaan yang lebih besar: Seandainya pun tidak ada dalil yang membolehkan, apakah kita benar-benar tega membiarkan imam, khotib, dan muadzin melewati hari raya tanpa sedikit pun apresiasi dari kita?
Sebab pada akhirnya, kita bukan hanya sedang membahas soal boleh atau tidaknya. Kita sedang membicarakan tentang bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang selama ini telah mengorbankan waktu dan tenaga untuk agama kita.
Dan jika kita masih sibuk memperdebatkan masalah ini setiap tahun, mungkin masalahnya bukan pada hukum fiqihnya—tetapi pada hati kita sendiri.
Penulis: M. Fawaid