Monday 02nd December 2024,

Umat Islam di Jerman, Beragama di Negeri Sekuler

Umat Islam di Jerman, Beragama di Negeri Sekuler
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Sekitar 4,5 juta Muslim tinggal di Jerman. Organisasi-organisasi besar yang ada tergolong konservatif secara teologi, namun masyarakat Islam semakin beragam.

Tanggal 16 Juni 2017 merupakan hari yang penting bagi aktivis hak perempuan Seyran Ateş dan bagi Islam di Jerman. Dengan khotbah Jumatnya yang pertama, pada hari itu ia meresmikan Masjid Ibn-Rushd-Goethe yang didirikannya di Berlin. 20 kru televisi dari seluruh dunia meliput ibadah tersebut. Sebab dalam komunitas masjid liberal yang baru itu, kaum perempuan bukan saja berkhotbah, mereka pun salat tanpa cadar di dalam satu ruangan dengan kaum laki-laki. Sebelumnya ini hanya ada di AS dan Britania Raya.

Peresmian masjid kecil yang liberal itu menarik perhatian media antara lain karena sebagian besar umat Muslim Jerman, yang berjumlah sekitar 4,5 juta jiwa, bersikap konservatif dalam hal agama. Keempat organisasi Islam yang terbesar juga berhaluan konservatif. Namun tidak ada yang tahu persis berapa banyak di antara kaum Muslim di Jerman benar-benar taat beragama. Pihak organisasi dan masjid tidak membuat daftar anggota, sementara instansi terkait tidak membuat daftar masjid.

Aliran Umat Muslim di Jerman | Sumber: “Komunitas Islam di Jerman”, Lembaga Federal untuk Migrasi dan Pengungsi (BAMF) atas permintaan Konferensi Islam Jerman.

AGAMA SEBAGAI PENGGANTI KAMPUNG HALAMAN

Menurut data Konferensi Islam Jerman, jumlah tempat ibadah Muslim mencapai 2.600, di antaranya sekitar 105 masjid ‘klasik’, yaitu bangunan dengan kubah dan paling tidak satu menara. Dengan sekitar 900 masjid, Uni Turki-Islam untuk Urusan Agama (Ditib) menjadi organisasi masjid terbesar di Jerman. Organisasi ini bernaung di bawah Kantor Urusan Agama di Ankara dan berhaluan konservatif. Ini adalah karena kaum Muslim yang mula-mula datang ke Jerman dalam jumlah cukup besar sejak tahun 1960-an adalah orang Turki yang menjadi buruh migran. Banyak di antara mereka berasal dari kawasan pedesaan Anatolia, tempat masyarakat menjalankan ajaran Islam Sunni tradisional. Mereka beserta keturunan mereka hingga kini merupakan setengah dari seluruh umat Muslim di Jerman. Pengungsi akibat perang saudara dari kawasan Timur Tengah mulai berdatangan pada pertengahan tahun 1980-an, diikuti oleh orang-orang Bosnia pada tahun 1990-an. Lebih dari setengah di antara ke-900.000 orang yang pada tahun 2015 meminta perlindungan di Jerman dari perang dan persekusi berasal dari Suriah, Afghanistan, Irak, Iran, dan Eritrea.

Bagi banyak di antara para pendatang generasi pertama, agama menjadi pengganti kampung halaman dan memainkan peran sosial yang penting: orang-orang bisa bertemu, bertukar pengalaman mengenai permasalahan sehari-hari, mengatur acara pernikahan, dan saling membantu. Karena biaya menjadi kendala, mereka berkumpul di pekarangan belakang, di lantai pabrik yang tidak dikunci, di pasar swalayan yang kosong, maupun ruang bawah tanah. Sekitar 20 tahun lalu, komunitas-komunitas pertama mulai membangun masjid yang representatif dan menunjukkan keyakinan mereka dengan penuh percaya diri di hadapan publik. Semangat beragama semakin meningkat di kalangan anak-cucu para pendatang, seperti yang terungkap dalam kajian Religionsmonitor 2017 oleh Yayasan Bertelsmann.

Tempat Asal Umat Muslim di Jerman | Sumber: “Berapa jumlah Muslim yang tinggal di Jerman“, Lembaga Federal untuk Migrasi dan Pengungsi (BAMF) atas permintaan Konferensi Islam Jerman 2016

PERDEBATAN YANG BERULANG

Jerman merupakan negara sekuler. Negara dan agama dipisahkan, dan negara tidak ikut campur dalam urusan intern tiap-tiap agama. Meskipun begitu, negara tetap membina komunitas-komunitas keagamaan dan menjalin kerja sama di banyak bidang, antara lain dalam hal pemeliharaan kesejahteraan atau terkait pendidikan agama di sekolah negeri. Sebelas di antara ke-16 negara bagian kini menyelenggarakan pendidikan agama Islam di samping pendidikan agama Kristen, dan sejumlah universitas telah mendirikan lembaga-lembaga untuk teologi Islam.

Setengah umat Muslim di Jerman memegang paspor Jerman. Menurut data Religionsmonitor 2017, 81% bekerja purnawaktu atau pun paruh waktu, dan tiga perempat berhubungan dengan orang non-Muslim di waktu senggang mereka. Singkat kata: kaum Muslim di Jerman terintegrasi dengan cukup baik. Meskipun begitu terjadi ketegangan dengan para tetangga non-Muslim: hampir setiap masjid representatif dibahas panjang lebar, dan kebiasaan berhijab di kalangan perempuan Muslim pun mengundang perdebatan yang selalu berulang.

RAMADAN DAN POHON NATAL

Di luar perdebatan politik yang kadang-kadang gaduh, banyak Muslim menjalankan keyakinan mereka tanpa menarik perhatian dan juga tanpa pergi ke masjid. Mereka berpuasa selama Ramadan, tetapi juga membeli pohon Natal pada bulan Desember, karena anak-anak mereka menginginkan Natal sebagaimana dirayakan oleh sebagian besar orang di sekeliling mereka. Ada juga yang memahami Islam terutama sebagai warna kultural, yang terus menghubungkan cucu mereka dengan tanah air yang lama. Masyarakat di Jerman, termasuk masyarakat Muslim, semakin beragam, dan di kalangan muda tumbuh kesediaan untuk menganggap biasa hal tersebut. Umat Muslim di Jerman pun lambat laun menjadi umat Muslim Jerman.

Penulis: 
Claudia Keller sejak 2017 menjadi redaktur majalah “Herder Korrespondenz”. Sebelumnya ia menulis di “Tagesspiegel” mengenai tema gereja dan agama

Penerjemahan: Hendarto Setiadi
Copyright: Goethe-Institut e. V., Internet-Redaktion
Oktober 2017

Sumber: Goethe.de

 

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »