Kemarin, saya bertemu dengan Taufik Rahzen, seorang budayawan kelahiran Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Kalau tidak keliru, ini yang ketiga kalinya bertemu dengan dia, persisnya mendengarkan dia bicara. Pertemuan pertama terjadi saat dia menjadi moderator di sebuah seminar akbar bersama Pramudya, Gus Dur, Mansur Fakih, dan Gadis Arivia, di UGM, sekitar 2002/2003, tidak lama setelah Gus Dur lengser. Pertemuan ketiga, saya lupa di mana dan acara apa. Tetapi baru kemarinlah, di acara Kementerian Agama, kami duduk berdekatan.

Saya terkejut, dia menyampaikan perihal humor. Dia mengatakan bahwa humor adalah khazanah keislaman di Indonesia yang harus dieksplorasi, selain soal aksara, visual, desain, dan musik.

“Humor yang saya maksud bukan sekedar lelucon, tetapi cara berpikir.” Begitu dia katakan, dengan dingin dan serius. Wajah Rahzen sekarang tampak berkerut di sana sini. Maklum, sudah berumur, tidak seperti 20 tahunan lalu. Yang berbeda sama sekali adalah, dia memakai batik, penutup kepala, syal, dan sarung. Tidak lagi baju hitam-hitam, identitas dia dulu.

Dan dia mencontohkan Gus Dur! Dalam hati saya menggumam, “Tentu saja tidak ada contoh lain terkait humor dan Islam, juga agama secara umum, kecuali Gus Dur.”

Dalam tulisan dan obrolan-obrolan informal, saya beberapa kali mengatakan, sepanjang Islam tumbuh, selama 15 abad, hanya tiga muslim yang sungguh-sungguh menggunakan humor sebagai hal yang paling serius; Abu Nawas yang hidup abad 8 Masehi di Baghdad, Nasruddin Hoja di Konya-Turki abad ke-13 Masehi, dan dan 7-8 abad kemudian di Asia Jauh, di Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur. Belakangan, setelah mendengarkan ceramah Gus Baha, saya tambahi jadi 4 orang, yaitu Nu’aiman radliyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi yang tidak banyak dikenal.

Saya sepakat dengan Rahzen bahwa humor itu bukan sekedar lelucon, aktivitas hiburan, ketawa-ketiwi, tetapi cara berpikir. Humor lebih kompleks dari itu. Saya mengatakan dengan bahasa lain, humor itu perspektif atau cara memandang hidup dan kehidupan. Melihat Islam dan dogma-dogma agama dengan humor, itu seperti Jalaluddin Rumi memaknai Islam dan kehidupan dengan keindahan, kenikmatan, kearifan, dan kepasrahan, tidak melulu teks atau sumber formal yang tertulis.

Bahkan, Abu Nawas, Nasruddin Hoja, dan Gus Dur, unggul di atas Rumi, karena ketiga nama itu tak segan mengkritik lebih gamblang. Teapi masing-masing punya tempat dan peran yang berbeda-beda.

Narasi humor sebagai cara berpikir atau perspektif yang bukan melulu canda, dipraktikkan, ditunjukkan, atau diperagakan oleh Gus Dur dengan sempurna. Seperti apa konkretnya?

Bisa mengungkapkan kenyataan hidup atau kehidupan yang nyata dengan narasi yang berbeda, dari sudut yang lain. Bagi saya, wafatnya Kiai Abdul Wahid Hasyim di usia muda, dengan meninggalkan 5 putra-putri yang masih kanak-kanak dan istri yang baru mengandung anak keenam, bukan semata-mata peristiwa kepedihan yang menyanyat hati kita semua, tetapi bisa dinarasikan dengan nada-nada “gugatan” kepada Tuhan:

“Ya Allah, apa Engkau tidak tahu Kiai Wahid pemimpin yang sedang kami butuhkan? Apa Engkau tidak tahu putri-putrei beliau masih kecil bahkan ada yang masih di dalam kandungan? Pelajaran apa yang sedang Engkau berikan sehingga kami mendapatkan ujian seberat ini?”