Oleh : Abdul Wahid
Mengapa Rais โAmm tidak hadir di Lirboyo? Pertanyaan ini kini tampaknya telah berubah status: dari pertanyaan faktual menjadi lomba tafsir bebas. Ada yang menjawab dengan nada yakin, ada yang menjawab dengan nada curiga, dan ada pula yang menjawab sambil mendesah panjang, “๐๐ฆ๐ด, ๐ฏ๐จ๐ฆ๐ฏ๐ฆ ๐ช๐ฌ๐ช ๐๐.”
Kemungkinan pertama: Rais โAmm memang tidak menghendaki ishlah. Tapi ini justru menimbulkan pertanyaan lanjutan yang lebih seru: mengapa? Bisa jadi karena beliau sangat yakin keputusannya sudah final, mengikat, dan tidak menerima retur. Bisa juga karena beliau menilai pertemuan Lirboyo sudah lebih dulu โdikuasai lawanโ, lengkap dengan paket karpet, kursi, dan narasi.
Kecurigaan ini tidak sepenuhnya halu. NU Online sudah sejak akhir November mengabarkan bahwa Gus Yahya berencana menggelar pertemuan besar dengan para kiai sepuh, dengan Lirboyo sebagai tuan rumah. Bahkan dalam konferensi pers PBNU sesaat setelah pemakzulannya, Gus Yahya menyebut rencana datang ke sana dengan tenang dan penuh keyakinan. Artinya, sebelum Musyawarah Kubro resmi bernama, embrionya sudah lebih dulu beredar di udara. Maka kalau ada yang merasa forum itu โkurang sterilโ, perasaan itu setidaknya punya alas kaki.
Namun tentu berlebihan jika Musyawarah Kubro dianggap sekadar setting-an Ketua Umum. Itu sama saja menuduh para kiai sepuh sebagai figuran, sesuatu yang bukan hanya tidak sopan, tapi juga tidak cerdas. Sebaliknya, menyebut pertemuan itu murni organik, steril, dan turun dari langit juga terlalu lugu untuk dunia NU yang sudah kenyang asam-garam manuver.
Terlepas dari semua itu, secara taktik dan etika, kehadiran Rais โAmm justru akan menguntungkan beliau sendiri. Secara taktis, kehadiran itu akan memotong narasi liar bahwa Rais โAmm โogah damaiโ. Secara substantif, inilah panggung paling sah untuk membeberkan bayyinah qathi’ahโbukti kelas berat yang konon menjadi dasar pemakzulan Ketua Umum. Kalau buktinya benar-benar tak terbantahkan, rasanya mustahil para kiai sepuh akan pura-pura rabun.
Tapi Rais โAmm tidak hadir. Titik.
Lalu beredar kabar: Rais โAmm bersedia hadir asal pertemuan benar-benar tertutup, tanpa media, tanpa live report, tanpa headline clickbait. Panitia kabarnya tidak menyanggupi. Kabar ini masih khabar wahid, perlu konfirmasi. Tapi andaikata benar, apa yang aneh? Kalau tujuannya ishlah, bukankah menyingkirkan kamera justru langkah paling masuk akal?
Bayangkan Musyawarah Kubro itu seperti majelis hakam untuk pasangan suami-istri yang sedang cekcok. Salah satu pihak minta, โTolong jangan disiarkan.โ Sebagai anak, saya tidak perlu tahu detailnya. Yang penting orang tua saya duduk bersama dan berbicara, bukan berdebat sambil disorot kamera.
Lagipula, publik sampai sekarang juga belum tahu duduk perkara sebenarnya. Risalah rapat menyebut pelanggaran, tapi tanpa detail. Lalu publik mengisi kekosongan itu dengan dugaan-dugaan kreatif. Dari yang berbau prosedural sampai yang beraroma tambang dan batu baraโyang terakhir ini, harus diakui, paling laris.
Tapi jangan terlalu berharap: sekalipun Rais โAmm hadir, ishlah belum tentu lahir. Ishlah itu tidak otomatis muncul hanya karena ruangan penuh kiai sepuh. Ia butuh tiga syarat: dua pihak sadar sedang konflik, dua-duanya mau berdamai, dan dua-duanya sepakat siapa yang jadi hakam. Dalam kasus ini, sepertinya syarat-syarat itu masih antre di loket.
Saya tidak tahu berapa mustasyar yang hadir, dan saya tidak ingin meremehkan niat baik para kiai sepuh. Tapi satu hal yang saya harapkan dengan sungguh-sungguh: jangan sampai ada Musyawarah Kubro tandingan di pesantren lain. NU ini bukan liga sepak bola yang butuh homeโaway.
Alih-alih musyawarah tandingan, sungguh indah seandainya Rais ‘Amm dan Ketum mau duduk bersama seluruh Mustasyar tanpa moncong mikropon dan sorot kamera media, kalau mungkin tanpa panitia dan perantara. Agaknya ini harapan yang masih jauh terwujud.
Para kiai sepuh mirip bangsa Ent dalam The Lord of the Rings. Sangat bijaksana, sangat tua, dan sangat lambat mengambil keputusan. Bukan karena mereka tidak paham, tapi karena mereka paham terlalu dalam. Entmoot bahkan sempat memutuskan, โIni bukan perang kami.โ Baru setelah mereka tahu hutan mereka digunduli, mereka turun tangan. Pada titik itu, diam berubah menjadi dosa.
Maka pertanyaan terakhir yang menggantung di udara NU hari ini bukan lagi: siapa benar, siapa salah. Tapi: siapa Saruman dan siapa Sauron dalam kisah ini?
Dan jawaban paling tidak romantis tapi paling mungkin, adalah: tambang, batu bara, dan segala sesuatu yang membuat hutan nilai NU perlahan gundul, sementara para penjaganya masih bermusyawarah dengan sangat, sangat sabar.
ูุงููู ุณุจุญุงูู ูุชุนุงูู ุฃุนูู ุจุงูุตูุงุจ








