Meskipun tidak menjadi suatu tujuan secara eksplisit dari berdirinya NU pada 31 Januari 1926 dari sejak awal, tapi fakta mengatakan bahwa NU sendiri tidak pernah bisa lepas bebas dari hingar bingar perpolitikan tanah air khususnya di setiap masa suksesi kepemimpinan penguasa di RI dan lagi pula NU itu sendiri memang lahir di tengah geo politik yang masih hangat dalam upaya proteksi terhadap paham keagamaan Nusantara dan pengaruh imperialisme barat yang masih kuat pra perang dunia ke 2 ketika itu yang mengharuskan NU bertindak mau tidak mau harus tetap bergumul dengan dunia politik.
Kenyataan itu menunjukan bahwa NU dengan para politikusnya sejak awal dari pra kemerdekaan sudah pernah mencoba bermain di arena perpolitikan tanah air meskipun awalnya belum masuk ke ranah politik praktis. Gagasan para pemimpin NU tentang berdirinya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) sebagai wadah perkumpulan seluruh organisasi umat Islam, keterlibatan pemimpin NU dalam kepengurusan organisasi SHUMUBU yaitu kantor yang mengurusi Agama bentukan pemerintah Jepang (cikal bakal berdirinya Departemen Agama), keterlibatan santri dan pemuda NU dalam pertahanan negara yang bergabung dengan barisan Hizbullah dan Sabilillah, keterlibatan para pemimpin NU dalam perumusan dasar Negara dan ideologi Pancasila sampai keluarnya Resolusi Jihad, ini semua adalah bukti historis bahwa sejak awal NU tidak bisa terlepas dari politik praktis di tanah air.
NU secara organisatoris memang kemudian mengawali perjalanan politik praktisnya dimulai sejak tahun 1945, pasca kemerdekaan RI ketika bersama-sama organisasi Islam lainnya membentuk partai politik aliansi yang berbasis Islam yang disebut Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) yang diumumkan berdiri pada tanggal 7 November 1945. Ketika itu justeru awalnya NU menjadi anggota istimewa dalam partai tersebut dengan mendapat beberapa jatah kursi di Majlis Syuro sebagai dewan tertinggi partai.
Namun dalam perjalannanya kemudian tepat pada Muktamar NU ke 19 di Palembang tahun 1952 diputuskan bahwa NU keluar dari partai Masyumi dan menjadi partai tersendiri. Hal ini disebabkan oleh sikap pihak eksekutif partai yang mayoritas bukan berasal dari kalangan petinggi NU yang tidak lagi menganggap terhadap Majlis Syuro sebagai dewan tertinggi partai. Pada hal di Majelis Suro partai Masyumi sendiri waktu itu di mana berada beberapa petinggi NU yang memiliki kharisma dan sangat berwibawa untuk diikuti setiap fatwanya oleh ummat Islam ternyata sudah tidak didengarkan lagi antara lain seperti KH. Hasyim Asyari dan lainnya. Pembagian jatah kursi di Parlemen yang tidak proporsional yang merugikan NU juga salah satu yang memicu hengkangnya NU dari Partai Masyumi.
Ketika keluar dari MASYUMI kemudian NU sempat membentuk himpunan ormas Islam khususnya yang berhaluan ASWAJA dengan nama Liga Muslim Indonesia yang terdiri dari NU, PSII, Perti dan DDI (Darud Dakwah wal Irsyad) Makassar namun tidak sampai membentuk suatu partai politik aliansi ASWAJA.
Saat pemerintah orde lama, negara Indonesia di bawah pimpinan oleh Presiden Ir. Sukarno mengadakan pemilihan umum (pemilu) untuk pertama kalinya pada tahun 1955. Pemilu tersebut menggunakan sistem multipartai, yaitu diikuti oleh sebanyak 172 partai politik peserta. Partai Nahdlatul Ulama ketika itu sebagai salah satu partai politik peserta pemilu dari ratusan partai politik peserta pemilu. Hasilnya ternyata sangat memuaskan saat itu karena kenyataannya NU berhasil menduduki posisi ke tiga dalam pemilu tersebut dengan perolehan suara sebanyak 6.955.141 di bawah PNI dan Partai MASYUMI itu sendiri.
Peran NU dalam politik tanah air tentu tidak boleh disepelekan dalam rangka menyelamatkan negara dari musuh dan dalam rangka mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Mengapa kemudian NU menerima gagasan politik Ir. Sukarno tentang NASAKOM ? Pada hal di dalamnya ada paham komunisnya yang anti agama, Sebab secara politik, jika NU memilih menarik diri, seperti yang dilakukan kekuatan politik lainnya, maka Soekarno akan ditinggal sendiri dan negara pasti akan jatuh ke tangan kelompok kiri (PKI). Dan jika itu terjadi, kemungkinan juga NU bisa saja bernasib sama dengan Masyumi harus diberangus tanpa bekas oleh Sukarno.
NU sejak awal memiliki tujuan utama yaitu IZZUL ISLAM WAL MUSLIMIN LI’ILAAI KALIMATILLAH sementara memang ada jaminan garansi dari para Muassis NU bahwa barang siapa yang ingin menghancurkan NU maka dia sendiri yang akan hancur sebagaimana isyarat KH. Kholil Bangkalan yang disampaikan kepada KH. Hasyim Asy’ari di saat KHR. As’ad Syamsul Arifin mengantarkan tasbih titipan Gurunya KH. Kholil kepada KH. Hasyim Asy’ari dengan bacaan Al Qur’an bagian dari Asmaul Husna berikut : يا جبار يا قهار yang berarti Wahai Yang Maha Memaksa, Wahai Yang Maha Menundukkan. Peringatan isyarat agung ini bukan hanya ditujukan bagi pihak yang di luar NU saja yang berniat menghancurkan NU, tapi juga orang NU yang ingin memanfaatkan NU untuk kepentingan pribadinya juga termasuk di dalamnya mereka pun akan hancur sendiri.
Fakta sejarah telah mencatat betapa PKI yang anti agama itu ingin menghancurkan NU karena dianggap bahwa NU dan massanya sebagai penghalang utama tumbuhnya ideologi komunis di Indonesia dengan berbagai macam cara tapi nyatanya justeru PKI lah sendiri yang hancur oleh peran para pejuang Ansor NU beserta TNI.
Ketika pecah peristiwa G30S/ PKI tahun 1965. NU yang anti komunis bisa tampil di garis depan sebagai lawan PKI yang mematikan dan anehnya NU selama itu tidak pernah dituding oleh para petinggi PKI sebagai organisasi kontra revolusi.
Warga NU memang yang paling banyak menjadi korban kekejaman PKI. Tidak sedikit para Kiyai dan santri NU yang dibantai oleh PKI namun para santri NU juga dan unit paramiliternya seperti GP. ANSOR kemudian membantu pemerintah Orde Baru menjadi kekuatan pemukul paling efektif dalam menumpas dan menghancurkan pengikut paham komunis sampai ke akar akarnya di berbagai daerah, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta pulau Bali.
Demikian sejarah partai NU berjalan sebagai mana partai politik lainnnya sampai akhirnya masuk ke masa pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pada tahun 1971 pemerintah orde baru sempat menyelenggarakan pemilu kedua pada 5 Juli 1971 pemilu ini diikuti oleh 10 partai politik dan partai NU ketika itu lagi lagi berhasil dapat menduduki posisi kedua perolehan suara di bawah posisi GOLKAR milik penguasa orde baru dengan mengantongi 10,213,650 suara sehingga mendapat jatah sebanyak 58 kursi di DPR.
Selanjutnya pada tahun 1973 perpolitikan di tanah air mengalami suatu perubahan yang signifikan di mana Presiden Soeharto dengan mengambil suatu kebijakan politik yakni mengadakan penyederhanaan atau penggabungan (fusi) partai politik yang tadinya terdiri dari 10 partai politik menjadi hanya 3 partai politik saja yaitu PPP , PDI dan Golkar yang menyebabkan Partai NU secara otomatis melebur ke dalam partai PPP.
Di pihak partai NU sendiri di masa itu dengan meleburnya ke dalam partai PPP menjadikan kurangnya peran dalam memainkan pengaruh politiknya dalam pembangunan politik nasional pada hal diketahui bahwa suara NU lah yang menjadi andalan utama PPP untuk meraup suara konstuen di setiap perhelatan kontestasi pesta demokrasi di Indonesia sejak tahun 1977 hingga setiap pelaksanaan pemilu, PPP dapat meraup suara banyak justeru dari NU yang kemudian dikonversi menjadi sekian banyak jatah kursi di DPR namun yang mendudukinya selama itu justeru mayoritas bukan dari kalangan NU itu sendiri dalam hal ini tentu NU selaku pemilik suara yang banyak dirugikan. Sehingga NU mengalami dilema politik yang besar.
Titik baliknya dari akumulasi kekecewaan politik NU adalah pada saat perhelatan Muktamar NU ke-27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo di mana KHR. As’ad Syamsul Arifin sebagai pionir utama untuk mengambil kebijakan yang sangat penting bagi ormas NU saat itu yaitu NU harus kembali ke Khittah tahun 1926 sebagai organisasi keagamaan murni menjauh dari kegiatan politik praktis. Sehingga sejak kembali ke khittah tahun 1984 itu hingga kini, NU tetap menjadi ormas keagamaan dan tidak boleh lagi berpolitik praktis yakni tidak boleh lagi menjadikan ormas NU sebagai partai politik dan atau NU menaungi suatu partai politik tertentu dan santri P2S2 Sukorejo ( Penulis selaku anggota panitia konsumsi) pada pelaksanaan Muktamar NU tersebut termasuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah tersuksesnya pelaksanaan Muktamar NU sepanjang sejarah NU itu sendiri.
Bayangkan saja dari sisi lain di luar dari muatan politiknya ketika itu betapa besar pengorbanan material maupun spritual bagi diri Kiyai As’ad Syamsul Arifin sebagai tuan rumah dengan menanggung konsumsi dan akomodasi para tamu ribuan peserta muktamar NU yang berlangsung beberapa hari lamanya yang sebagian besar biaya itu berasal dari kantong pribadi beliau sendiri yang jika kita kurskan dengan nilai mata uang rupiah sekarang bisa jadi mencapai milyaran rupiah demi untuk menggolkan perjuangan NU yaitu kembali ke Khittah tahun 1926, menerima Pancasila sebagai Azas tunggal dan suksesi kepemimpinan NU yaitu dengan mengusung Gus Dur ( keinginan Kiyai As’ad ) untuk memenangkan dari pesaingnya yang lain sebagai ketua PBNU meskipun pemilihan pimpinan PBNU ketika itu mutlak berada di tangan beliau sebagai Ahlul Halli Wal ‘Aqdi tunggal.
Namun kenyataanya di kemudian hari dalam perjalanan kepemimpinan Gus Dur sempat dianggap banyak yang “NYELENEH” yang mengakibatkan timbulnya kekecewaan beliau dan kemudian dukungan itu ditarik kembali oleh Kiyai As’ad secara halus dengan cara mengambil sikap MUFAROKAH ( menarik diri) dari kepemimpinan Gus Dur di PBNU.
Adapun “isyarat langit” yang menjadi dalil utama kembalinya NU ke Khittah tahun 1926 oleh mayoritas Ulama waktu itu adalah seperti isyarat yang pernah juga disampaikan oleh Hadratus Syekh KH. Kholil Bangkalan kepada Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari di awal berdirinya NU melalui santrinya KH.R. Syamsul Arifin ketika mengantarkan tongkat dari KH. Kholil Bangkalan kepada KH. Hasyim Asy’ari Jombang yang disertai dengan salah satu bacaan ayat Al Qur’an yang berbunyi :
قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ ۗ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا الْاُوْلٰى
Artinya : “Dia (Allah) berfirman, Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula,” ( QS. Thaha : 21)
Jika NU dalam isyarat itu digambarkan sebagai tongkat Nabi Musa AS maka ketika selesai tugasnya untuk melahap ular tukang sihir Fir’aun maka Allah mengembalikan lagi hewan ular besar itu seperti bentuknya semula yaitu tongkat karena tidak mungkin harus menjadi ular terus menerus.
Demikian pula NU ketika itu karena dianggap sudah tidak efektif lagi menjadi partai politik maka sekarang sudah saatnya kembali menjadi ormas Islam yang murni untuk mempertahankan berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jamaah serta mengikut pada salah satu dari empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Warga Nahdhiyyin yang menjadi aktifis ormas NU jika terpaksa harus terjun ke dunia politik praktis melalui suatu partai politik seharusnya melepaskan seragam kepengurusan NU nya dan fokus untuk aktif di partainya serta tidak boleh lagi menggunakan atribut dan fasilitas NU untuk kepentingan kegiatan politik praktis.
Demikian pula warga Nahdhiyyin yang ingin menyalurkan hak aspirasi politiknya dalam setiap kontestasi pemilihan wakil rakyat baik legislatif maupun eksekutif yakni calon pimpinan daerah, presiden dan wakil presiden bisa lewat partai politik manapun menurut hati nuraninya tanpa terikat dengan suatu partai politik tertentu dan yang penting bahwa aspirasinya bisa tersalurkan sampai ke parlemen untuk memperjuangkan kepentingan NU dan paham ASWAJA nya jangan sampai wakil yang terpilih dari warga Nahdhiyin kemudian mengabaikan terhadap kepentingan NU dan ASWAJA yang dipikulnya.
Kembali kepada sejarah perjalanan NU ketika rumor akan kembalinya NU ke Khittah 1926 berhembus di arena muktamar NU Situbondo tahun 1984 bahwa warga Nahdhiyyin tidak lagi terikat untuk memilih wakilnya dari partai Islam yakni PPP dan boleh memilih GOLKAR misalnya lalu banyak warga Nahdhiyyin justeru merasa bingung dengan keputusan NU ini, maka para ulama kemudian menyetir dalil dari Al Qur’an, di mana Allah Swt berfirman sebagai berikut :
وَقَالَ يٰبَنِيَّ لَا تَدْخُلُوْا مِنْۢ بَابٍ وَّاحِدٍ وَّادْخُلُوْا مِنْ اَبْوَابٍ مُّتَفَرِّقَةٍۗ وَمَآ اُغْنِيْ عَنْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ مِنْ شَيْءٍۗ اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُوْنَ
Artinya : “Dan dia (Yakub) berkata, “Wahai anak-anakku! Janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berbeda; namun demikian aku tidak dapat mempertahankan kamu sedikit pun dari (takdir) Allah. Keputusan itu hanyalah bagi Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya pula bertawakallah orang-orang yang bertawakal.” ( QS. Yusuf : 67).
Ayat ini menjelaskan tentang sikap politik Nabi Yaqub AS untuk membriefing putra putranya dalam rangka menyusun taktik strategi memasuki istana yang mana di dalamnya ada saudara mereka yang bernama Yusuf AS tanpa bisa dicurigai oleh pihak keamanan istana sebab jangan sampai missi mereka kemudian gagal terwujud yaitu untuk bertemu dengan yang mereka cari yakni Yusuf AS hanya karena salah strategi.
Taktik strategi keluarga Nabi Yaqub As yang dimaksud yaitu dengan cara memasuki pintu gerbang istana dengan memakai cara berpisah pisah satu sama lain tidak melewati akses satu pintu tapi masuk di beberapa pintu agar tidak dicurigai pihak keamanan istana nanti setelah mereka berada di dalam barulah mereka menyatu untuk menggolkan missi mereka yaitu bertemu dengan Yusuf agar bisa dibujuk dan dibawa pulang bertemu dengan Sang Ayah yang telah bertahun tahun merindukannya.
Memang sekarang ini warga Nahdhiyyin yang masuk parlemen di setiap tingkat wilayah terutama yang duduk di gedung utama wakil rakyat di Senayan ternyata berasal dari berbagai jalur partai politik akibat kebijakan NU kembali ke ktitthah 1926 sejak tahun 1984 yang tidak membolehkan lagi NU sebagai ormas Islam berpolitik praktis dan memang ada kaitannya dengan strategi Nabi Yakub AS pada kisah di atas bahwa apapun partainya mau itu partai berbasis Islam maupun nasionalis tentu kepentingan NU dan ASWAJA sebagai missi utama mereka tetap harus diperjuangkan selama mengemban amanat ummat warga Nahdhiyyin secara menyeluruh semoga …….
Penulis: Baginda Ali