Aswaja di Era Milenial: Antara Pelestarian Tradisi dan Adaptasi Modernitas

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

Oleh: Saini

Dosen Hukum Keluarga Islam di STIS Nurul Qarnain Jember

Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, perubahan sosial dan teknologi berkembang dengan pesat, membawa pengaruh besar terhadap pola pikir dan gaya hidup generasi milenial. Generasi ini dikenal sebagai kelompok yang lahir dalam era digital, di mana informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat. Di tengah perubahan tersebut, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana posisi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dalam kehidupan generasi milenial? Apakah nilai-nilainya masih relevan, ataukah harus mengalami transformasi agar tetap dapat diterima?

Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan paham keagamaan yang selama berabad-abad menjadi fondasi Islam di Indonesia, terutama melalui pesantren dan organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU). Nilai-nilai Aswaja yang menekankan keseimbangan (tawassuth), toleransi (tasamuh), dan moderasi (i’tidal) tetap menjadi pedoman dalam menghadapi berbagai tantangan zaman. Namun, di era modern ini, generasi milenial memiliki cara pandang yang berbeda dalam memahami agama, yang sering kali berbenturan dengan pola ajaran tradisional. Oleh karena itu, diperlukan kajian mendalam mengenai bagaimana Aswaja dapat tetap eksis di tengah arus modernitas tanpa kehilangan identitasnya.

Pemahaman Milenial terhadap Aswaja

Generasi milenial memiliki karakteristik unik dalam memahami agama. Mereka lebih kritis terhadap ajaran yang disampaikan, sering kali membandingkan berbagai pendapat melalui akses informasi yang luas. Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih menerima ajaran agama secara hierarkis dari ulama atau pesantren. Sikap kritis ini dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Aswaja.

Di satu sisi, keterbukaan terhadap berbagai sumber informasi memungkinkan generasi milenial untuk memahami Aswaja dengan perspektif yang lebih luas. Namun, di sisi lain, kemudahan akses informasi ini juga dapat menyebabkan munculnya pemahaman yang dangkal, karena tidak semua informasi yang beredar di media sosial memiliki dasar keilmuan yang kuat. Jika tidak didampingi oleh otoritas keagamaan yang kredibel, maka generasi milenial dapat terjebak dalam pemahaman yang menyimpang dari prinsip dasar Aswaja.

*Benturan Tradisi dan Modernitas*

Benturan antara nilai tradisional Aswaja dan cara pandang modern milenial tidak dapat dihindari. Tradisi pesantren, misalnya, mengajarkan kepatuhan terhadap guru (kiai) sebagai sumber utama ilmu agama, sedangkan generasi milenial cenderung mencari jawaban langsung dari internet. Dalam hal ini, terjadi pergeseran paradigma dalam cara belajar dan memahami agama.

Selain itu, beberapa praktik keagamaan yang diwariskan secara turun-temurun dalam Aswaja sering kali dianggap kurang relevan oleh sebagian milenial. Misalnya, tradisi tahlilan atau ziarah kubur sering diperdebatkan di media sosial oleh kelompok yang mempertanyakan keabsahannya. Padahal, tradisi tersebut memiliki akar sejarah panjang dalam Islam Nusantara dan mengandung nilai-nilai spiritual serta kebersamaan yang penting bagi masyarakat Muslim Indonesia.

Peran Teknologi dalam Dakwah Aswaja

Kemajuan teknologi memberikan peluang besar bagi Aswaja untuk tetap eksis di kalangan milenial. Media sosial, YouTube, dan podcast menjadi alat utama bagi generasi ini dalam memperoleh informasi keagamaan. Beberapa ulama dan pendakwah Aswaja telah memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan ajarannya dengan pendekatan yang lebih interaktif dan mudah dipahami.

Contohnya, beberapa kiai muda menggunakan media sosial untuk berdakwah dengan gaya yang lebih santai namun tetap berbobot. Pendekatan ini terbukti lebih efektif dalam menjangkau generasi milenial dibandingkan metode ceramah konvensional. Dengan konten yang menarik dan relevan, ajaran Aswaja dapat terus berkembang dan tetap menjadi rujukan utama dalam kehidupan beragama generasi muda.

Namun, digitalisasi dakwah juga memiliki tantangan tersendiri. Munculnya banyak pendakwah instan yang kurang memiliki latar belakang keilmuan yang kuat dapat menyebabkan distorsi pemahaman tentang Aswaja. Oleh karena itu, perlu ada regulasi dan bimbingan dari ulama yang kompeten agar informasi yang disebarkan tetap sesuai dengan prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah.

Strategi Mempertahankan Aswaja bagi Milenial

Agar Aswaja tetap relevan, diperlukan strategi yang mampu menjembatani tradisi dan modernitas. Salah satu caranya adalah dengan memperkuat pendidikan Aswaja di lembaga formal dan nonformal, termasuk pesantren dan perguruan tinggi Islam. Kurikulum keislaman harus dikembangkan agar lebih adaptif dengan perkembangan zaman, tanpa menghilangkan esensi ajaran Aswaja.

Selain itu, organisasi keislaman seperti Nahdlatul Ulama (NU) perlu lebih aktif dalam membangun komunitas digital yang bisa menjadi wadah diskusi keislaman berbasis Aswaja. Dengan cara ini, generasi milenial dapat mendapatkan rujukan yang benar dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang menyesatkan.

Pendekatan dakwah yang lebih fleksibel juga harus dikedepankan. Alih-alih menggunakan metode ceramah satu arah, pendekatan dialogis dan interaktif lebih efektif dalam menjangkau generasi milenial. Mereka cenderung lebih menerima ajaran agama jika disampaikan dengan argumentasi yang logis dan kontekstual.

Kesimpulan

Ahlussunnah wal Jama’ah tetap relevan bagi generasi milenial, tetapi pendekatan dalam mengajarkannya harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Generasi milenial memiliki keunikan dalam memahami agama, yang menuntut Aswaja untuk lebih adaptif dalam metode dakwah dan penyampaiannya.

Benturan antara tradisi dan modernitas tidak harus berujung pada penolakan terhadap Aswaja, melainkan dapat menjadi peluang untuk memperkuat pemahaman agama secara lebih mendalam. Peran media digital harus dioptimalkan agar nilai-nilai Aswaja dapat terus diterima oleh generasi muda tanpa kehilangan esensinya.

Diperlukan sinergi antara ulama, akademisi, dan generasi milenial itu sendiri dalam menjaga warisan Aswaja. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan kreatif, Aswaja tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang sebagai pedoman hidup yang tetap relevan sepanjang zaman.

diunggah oleh:

Picture of Muhammad Ihyaul Fikro

Muhammad Ihyaul Fikro

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »