Santri Cerdas vs Santri Pintar: Mencari Makna Kecerdasan Sejati di Pesantren

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Ahmad Marzuki Hasan

Di tengah arus perubahan zaman yang kian cepat, pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tak bisa lagi berjalan di tempat. Perubahan tak hanya mengetuk pintu, tapi sudah masuk hingga ke ruang-ruang kecil tempat santri menimba ilmu. Kini, santri tidak cukup hanya mahir dalam membaca kitab kuning atau menghafal matan. Mereka juga dituntut memahami dunia luar yang terus bergerak—media sosial, arus informasi, bahkan tantangan global. Dari sana muncul dua istilah yang kerap didiskusikan: santri pintar dan santri cerdas.

Sekilas, keduanya terdengar mirip. Tapi kalau diperhatikan dengan jeli, ada perbedaan yang cukup dalam. Santri pintar biasanya identik dengan kemampuan akademik. Ia cepat menangkap pelajaran, lancar dalam berargumentasi, dan sering jadi andalan ketika ada lomba pidato, debat, atau baca kitab. Tidak jarang juga mereka menguasai teknologi dengan mudah dan tampil menonjol dalam forum-forum resmi.

Namun, santri pintar belum tentu memiliki kecakapan dalam membaca situasi atau membangun relasi. Ada kalanya, mereka unggul di atas kertas tapi kesulitan ketika berhadapan dengan konflik nyata. Pintar dalam menjawab soal, tapi belum tentu piawai menyelesaikan perbedaan. Pintar dalam logika, tapi belum tentu tenang dalam luka.

Berbeda dengan santri cerdas. Ia mungkin tak bersinar dalam nilai atau ranking, tapi memiliki kepekaan sosial dan ketajaman batin yang jarang terlihat di permukaan. Ia tahu kapan harus berbicara, dan lebih tahu kapan harus diam. Ia bisa merasakan suasana, memediasi konflik, dan menjadi penenang di saat suasana mulai memanas. Ia tak mengejar sorotan, tapi keberadaannya memberi dampak.

Di banyak pesantren, kita bisa menyaksikan sendiri realita ini. Ada santri yang menjadi langganan juara lomba, tapi kerap kesulitan membangun kedekatan dengan sesama teman kamar. Sebaliknya, ada pula yang biasa saja di kelas, tapi menjadi jembatan yang menyambungkan hati-hati yang sempat berselisih. Di sinilah letak pentingnya kecerdasan hati—yang sering luput dari penilaian formal dan sistem pendidikan berbasis angka.

Cerdas lahir dari perenungan, dari banyak mendengar sebelum berbicara, dari pengalaman yang tak selalu tertulis di buku. Sementara pintar cenderung diukur dari seberapa cepat otak bekerja. Kecerdasan sejati membutuhkan kerendahan hati, bukan sekadar kecepatan berpikir. Dan pesantren, sejak dulu, adalah tempat subur untuk menanam benih-benih kecerdasan semacam ini—selama nilai-nilainya dijaga, tidak hanya dalam kurikulum, tapi juga dalam kultur.

Di tengah masyarakat yang makin kompleks, kita butuh lebih banyak santri yang cerdas. Yang mampu menyikapi perbedaan dengan tenang, tidak mudah reaktif, dan tahu bagaimana menghadirkan Islam sebagai rahmat, bukan sekadar argumentasi teologis. Santri cerdas akan tahu kapan harus merangkul, bukan memukul; tahu cara mendengar sebelum menghakimi; dan lebih memilih memberi solusi daripada memicu konflik.

Sayangnya, sistem pendidikan kita kadang terlalu fokus pada pencapaian kognitif. Nilai raport masih menjadi tolok ukur utama keberhasilan. Padahal dalam Islam, kecerdasan tidak hanya soal hafalan atau retorika, tapi tentang manfaat dan maslahat. Nabi Muhammad SAW adalah sosok teladan: cerdas dalam strategi, lembut dalam akhlak, dan luas dalam pemahaman.

Kini, kita perlu mengubah cara pandang. Santri pintar tetap penting, tapi santri cerdas jauh lebih dibutuhkan. Yang tak hanya bisa menata argumen, tapi juga menata hati. Yang fasih membaca teks, tapi juga lihai membaca konteks. Dan dari pesantren-pesantren seperti inilah, semoga akan lahir generasi yang tak hanya menguasai ilmu, tapi juga menghadirkan cahaya dalam gelapnya zaman.

(Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Thariqul Mahfudz Sumbersari, Melaya, Jembrana)

diunggah oleh:

Picture of Dadie W Prasetyoadi

Dadie W Prasetyoadi

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »