ASWAJADEWATA.COM |
إنسانية الإنسان قبل حقوق الإنسان
Menarik membaca artikel yg ditulis oleh tokoh maqhashid asy- syari’ah kontemporer, Dr Ahmad Ar Raisuni Yang berjudul “insaniyatul insan qabla huquqil insan” yang jika dialihbahasakan kedalam bahasa Indonesia semakna dengan “kemanusiaan manusia sebelum lahirnya hak asasi manusia”.
Jauh sebelum lahirnya Hak Asasi Manusia, sesungguhnya kemanusiaan manusia telah diberikan dan dilindungi oleh agama agama, Islam salah satunya. Rasullullah 1400 tahun yang lalu telah memproklamirkan bahwa manusia adalah setara, memiliki kemuliaan dan kehormatan kemanusiaan yang sama, memiliki hak hidup yang sama, tidak ada perbudakan dari manusia atas manusia yang lain, perbudakan harus dihapuskan dan hak hak lainnya yang diberikan oleh sang pencipta manusia.
Penegasan frasa hak asasi manusia atau dalam bahasa Arab “huquqil insan” menjadi penting untuk membedakan dengan hak selain manusia. Artinya hanya “manusia” yang memiliki hak asasi manusia. Siapakah manusia? Sulit menjawab pertanyaan ini. Banyak orang mengklaim bahwa ia memiliki hak asasi manusia, namun lupa apakah ia manusia yg sesungguhnya atau bukan manusia, hanya fisiknya saja yang manusia.
Dua dimensi “manusia”.
Manusia setidaknya memiliki dua dimensi, yaitu dimensi fisik yang berupa kulit, daging, tulang, sumsum dan anggota fisik lainnya, yang berasal dari inti sari tanah, menjadi sperma, menjadi embrio, dan seterusnya. Dilihat dari aspek dimensi ini, manusia tidak ada bedanya dengan makhluk hidup lainnya. Kedua dimensi ruhi-spiritual. Manusia memiliki dimensi ini sebab dalam bentuk fisiknya ditiupkan di dalamnya “Ruh Allah”.
فَإِذَا سَوَّيْتُهُۥ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِى فَقَعُواْ لَهُۥ سَٰجِدِينَ
(الحجر – 29)
dan ketika telah aku sempurnakan fisiknya di dalam rahim ibu, dan aku tiupkan ruh-ku maka mereka tunduk bersujud kepadanya
Jadi manusia memiliki dua dimensi sekaligus dimensi insaniyah-jasadiyah dan dimensi ilahiyah-ruhiyah. Itulah manusia. Jika dimensi ilahiyah ruhiyah menghilang maka ia mirip binatang, dan apabila dimensi ilahiyah-ruhiyah lebih melekat maka ia naik ke alam malakut. Jika ia lebih mirip hewan maka tidak layak menyebut dirinya memiliki hak asasi manusia. Dan jika ia telah naik ke alam malakut maka ia tidak peduli lagi dengan hak asasi manusianya.
Manusia memiliki hak asasi manusia yang harus dihormati, dipenuhi dan dilindungi serta dipromosikan hanya jika manusia mampu menjaga keseimbangan dimensi insaniyah dan dan dimensi ilahiyah nya.
Untuk menjaga keseimbangan itu, Allah memberikan setidaknya tiga perangkat dalam tubuh manusia, yaitu (1) hati/qalbu/fu’ad untuk memahami, (2) mata/bashar untuk melihat dan (3) telinga/sam’u untuk mendengar.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179)
Jika hati masih digunakan untuk memahami ayat ayat Allah baik yang tertulis di dalam kitabNya maupun yang dicipta dalam kitab jagad raya, jika mata dan telinga masih digunakan untuk melihat dan mendengar kedua ayat ayat itu, dan kemudian hasilnya digelar untuk rahmatan Lil alamin, maka sebutan “manusia” yang memiliki hak asasi manusia layak diberikan. Dan jika sebaliknya, maka sebaliknya.
Jadi, kalau mengikuti logika Ar Raisuni, maka pertama; manusia telah memiliki hak asasi manusia sebelum lahirnya hak asasi manusia. Kedua; manusia disebut manusia hanya jika ia mampu menjaga keseimbangan dimensi insaniyah-jasadiyah dan dimensi ilahiyah-ruhiyahnya. Ketiga; penting untuk terus membangun kesadaran sebagai manusia sebelum menyuarakan hak asasi manusia.
Logika ini sebagai panduan untuk terus mengasah kemanusiaan manusia dan membangun kesadaran manusia bahwa ia adalah manusia.
Logika ini bukan dasar bagi negara untuk melanggar hak asasi manusia hanya karena menduga bahwa seorang bukan manusia. Selama ia warga negara Indonesia, maka mereka memiliki hak hak asasi manusia yang wajib dijamin dan dilindungi Negara, apapun latar belakang agama, keyakinan, ras, etnis, jenis kelamin dan identitas lainnya.
Wallahu A’lam
Situbondo 160221.
Oleh: Kiai Imam Nakhai