Friday 19th April 2024,

Dzuriyah Rasulullah, Sang Penjaga Bendera Pusaka

Dzuriyah Rasulullah, Sang Penjaga Bendera Pusaka
Share it

ASWAJADEWATA.COM | Bulan Agustus menjadi bulan istimewa untuk seluruh anak Bangsa Indonesia, pasalnya tepat pada 17 agustus 1945 Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya. Maka setiap tahunnya bulan Agustus selalu diisi dengan kegiatan peringatan Hari Kemerdekaan sebagai bentuk syukur atas nikmat kemerdekaan yang telah diberikan-Nya pada Bangsa Indonesia.

Agustus menjadi bulannya Merah Putih berkibar disetiap rumah-rumah, disepanjang jalan, disekolah-sekolah, dan lainnya. Namun dibalik megahnya kibaran Bendera Merah Putih, ia memiliki sebuah kisah heroik.

Sesaat setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi di depan rakyat Indonesia di jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Bendera Sang Saka Merah Putih dikibarkan, proses pengibaran bendera dipimpin oleh kapten Latief Hendraningrat. Bendera Merah Putih yang dikibarkan saat itu adalah bendera yang dibuat dan dijahit sendiri oleh istri Bung Karno yaitu Ibu Fatmawati, bendera inilah yang sampai saat ini disebut sebagai Bendera Pusaka.

baca juga : Kenal Lebih Dekat dengan Pencipta Lagu “Hari Merdeka”

19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan beberapa pejabat tinggi Indonesia ditawan Belanda. Namun, pada saat yang sangat genting di mana Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Bung Karno sempat memanggil ajudannya yang bernama Husein Mutahar. Kepada Husein Mutahar Bung Karno memberikan tugas untuk menjaga dan menyelamatkan Bendera Pusaka Merah Putih.

Kepada Habib Husein Mutahar, Presiden Soekarno berkata sebagai berikut :

“Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya”

Mendengar perkataan dan juga tugas yang berat dari Bung Karno, Habis Mutahar terdiam sejenak dan memejamkan matanya, seraya berfikir kemudian berdoa memohon kekuatan dan petunjuak kepada Allah Ta’ala.

Setelah menerima bendera pusaka, Habib Husein kemudian berfikir mencari jalan terbaik untuk menyembunyikan bendera pusaka tersebut. Akhirnya beliau memutuskan untuk membagi bendera pusaka menjadi dua bagian dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan bagian merah dan putih. Dengan bantuan dari Ibu Perna Dinata, akhirnya kedua carik kain merah dan putih itu berhasil dipisahkan dengan baik tanpa meninggalkan kerusakan.

Setelah Bendera Pusaka terpisah menjadi dua bagian, Habib Husein Mutahar memasukkannya ke dalam dua tas yang dimilikinya. Masing-masing ditempatkan di dasar tas tersebut dan ditumpuk dengan berbagai baju miliknya. Habib Mutahar mengambil langkah tersebut karena beliau berfikir bahwa jika dipisahkan, bendera tersebut tidak lagi bisa disebut sebagai Bendera Pusaka dan akan dianggap sebagai secarik kain biasa.

Agresi militer Belanda kedua berbuntut pada penangkapan dan diasingkannya Bung Karno dan Bung Hatta. Presiden Soekarno diasingkan ke Parapat, sebuah kota kecil di pinggiran Danau Toba Sumatera sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka. Sedangkan Wakil Presiden Moh.Hatta langsung dibawa ke Bangka.

Habib Husein dan beberapa staf kepresidenan yang lain juga bernasib sama. Beliau ikut di tangkap dan di angkut dengan pesawat Dakota. Beliau dibawa dan ditahan di Semarang. Saat menjadi tahanan kota, Habib Mutahar berhasil melarikan diri dan menggunakan kapal laut bertolak ke Jakarta.

Sesampainya di Jakarta Habib Husein menginap di rumah perdana menteri Sutan Syahrir. Kemudian beliau mengontrak rumah di Jl. Pegangsaan Timur 43, tepatnya di rumah Bapak raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang merupakan Kapolri Pertama.

Selama di Jakarta Habib Mutahar berusaha mencari cara bagaimana caranya agar Bendera Pusaka dapat segera dikembalikan kepada Bung Karno di Muntok, Bangka. Pertengahan tahun 1948, Habib Husein menerima kabar dari Soedjono mengenai surat pribadi dari Bung Karno. Isi surat tersebut adalah perintah dari Presiden Soekarno untuk segera menyerahkan kembali Bendera Pusaka yang dibawanya kepada Soedjono.

Bung Karno beralasan bahwa karena pada saat itu hanya delegasi dari Republik Indonesia yang boleh mengunjungi Presiden di tempat pengasingan sesuai dalam perundingan dengan Belanda di Bawah pengawasan UNCI (United Committee for Indonesia). Dan Sudjono adalah salah satu anggota delegasi itu yang punya hak untuk mengunjungi dan bertemu dengan Presiden Soekarno, sekaligus menjaga kerahasiaan perjalanan Bendera Pusakan dari Jakarta menuju Bangka.

Sebelum menyerahkan kepada Soedjono, Habib Husein menyatukan kembali kedua kain merah dan putih menjadi bendera Sang Saka Merah Putih seperti semula. Beliau berhasil menyatukan Bendera Pusaka yang terpisah persis mengikuti jahitan tangan Ibu Fatmawati, namun ada sekitar dua centimeter kesalahan jahitan dari ujungnya. Bendera tersebut kemudian dibungkus koran agar tidak mencurigakan dan selanjutnya diserahkan kepada Soedjono yang selajutkan diserahkan kepada Bung Karno.

Begitulah akhir dari tugas dari Habib Muhammad Husein Mutahar, Sang Penyelamat Bendera Pusaka. Tahun 1961 Bung Karno menganugrahkan Bintang Maha Putera kepada sang Habib karena jasanya menyelamatkan Bendera Pusaka. (Asy)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »