ASWAJADEWATA.COM |
Setidaknya ada dua macam sikap atau sifat orang yang berbeda pilihan politik. Pertama, ada orang yang menentukan satu pilihan tanpa mengusik yang bukan pilihannya. Kedua, ada orang yang menentukan satu pilihan tetapi mengusik yang bukan pilihannya.
Orang pertama fokus mengampanyekan yang menjadi pilihan politiknya. Sibuk menyuarakan kebaikan dan prestasi orang yang dipilihnya. Ketika ada yang berusaha menjelekkan pilihannya, dia merespon dan menyikapi dengan menonjolkan kebaikan orang yang sudah menjadi pilihannya tanpa membalas dengan ejekan, hujatan dan cacian.
Berbeda dengan macam orang kedua, orang ini selain sibuk mengampanyekan pilihannya tetapi masih sempat mengusik yang bukan pilihannya. Tidak menunggu ada yang menjelekkan pilihannya, justru dia yang suka menyuarakan kejelekan atau aib yang bukan pilihannya.
Satu sisi dia memuji pilihannya, di sisi lain dia dengan lantang berteriak menghina dan menjatuhkan yang bukan pilihannya alias lawan politiknya. Mungkin tujuannya, menaikkan pilihannnya dengan menjatuhkan yang bukan pilihannya.
Orang pertama wajar dan seharusnya begitu sebagai pemilih yang berakal. Jika semua pendukung atau pemilih seperti orang pertama, kehidupan masyarakat tetap baik-baik saja. Nah, orang kedua ini yang sering membuat rusuh dan merusak. Bukannya fokus mengampanyekan pilihannya malah sibuk menjatuhkan lawannya. Akibatnya, saling hujat, caci maki, menghina dan menjatuhkan.
Akibat fatalnya, yang awalnya kawan jadi lawan, yang awalnya suka jadi benci, yang awalnya saudara baik jadi saudara musuh, yang awalnya silaturahmi jadi putus hubungan, bahkan yang awalnya hubungan murid dan guru menjadi tidak kenal guru.
Sebagaimana nasihat Kiai Azaim, “Berapa banyak, urusan pilkades, urusan pilkada, urusan pilgub. Pokoknya harus menang. Akhirnya hilang saudara, hilang kerabat, hilang sambungan murid dan guru, hilang silaturahmi, dan hilang kebersamaan. Apakah itu kemenangan? Yang di sana sorak soraya hanya untuk lima tahun, yang di sini hingga bertahun-tahun tidak akur. Gara-gara pilihan berbeda”
Demi kemenangan calon yang dipilihnya harus kehilangan semuanya. Tentu, hal ini karena terjebak pada fanatik buta, dan menggunakan cara-cara yang tidak baik dalam mendukung orang yang dipilihnya. Diantara caranya dengan saling hujat dan caci maki.
Padahal pilihan politik tersebut sifatnya lima tahunan. Tahun ini memang menjadi idola pilihannya tetapi akan segera berubah pada tahun-tahun berikutnya. Sebagaimana ungkapan masyhur tentang politik, “Dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Bisa saja tahun ini kawan politik, tetapi tahun-tahun berikutnya berubah menjadi lawan politik,
Oleh sebab itu, sesuatu yang sifatnya berjangka pendek dan pasti berubah, tidak perlu sampai menjadi prilaku yang merusak sifat baik kita. Bersaudara selamanya, berpolitik secukupnya. Apalagi sampai menjadi pelayan kebencian. Orang yang terlalu fokus sampai menjadi fanatik buta dalam politik, rawan terjebak pada melayani kebencian. Pekerjaan yang paling melelahkan adalah melayani kebencian.
Kita perlu mengingat dan berpedoman kepada nasihat Gus Mus ketika diminta fatwa menentukan pilihan.
Gus Mus dawuh, “Pemilu itu kan urusan lima tahunan. Sayang fatwa saya pakai untuk perkara yang datang dan pergi seperti itu. Kalau untuk sesuatu yang bertahan lama sampai kiamat, saya mau mengeluarkan fatwa.”
Penulis: M. Taufiq Maulana