ASWAJADEWATA.COM |
Sejak saya masih kuliah di dan sering menjadi pemateri jurnalistik di pesantren-pesantren, abah adalah orang pertama yang memberikan dukungan penuh. Abah bahagia karena saya saya adalah santri putri yang tidak hanya mempelajari kitab, tapi mendalami Jurnalistik dan terus berbagi ke santri santri.
Bahkan abah mengantar saya sendiri, nyetir sendiri, sampai ke terminal Situbondo, karena waktu itu saya jadi pemateri penulisan sastra di Pesantren Salafiyah Safiiyah Sukorejo bersama temen temen Matapena. Acara berlanjut ke Lombok, dan abah terus mengawal via telpon dengan bahagia meskipun saya sudah semester tiga belas dan skripsi gak kelar kelar. Hehe.
Pokoknya selagi berhubungan dengan pesantren, dukungan Abah tak pernah surut. Meski waktu itu waktu saya habis untuk melatih menulis santri santri di banyak daerah dan kuliah saya keteteran. Nganti ibuk duko duko terus sebab mahasiswa yang dibimbingnya skripsi ya lancar jaya, tapi mbarepe dewe gak lulus lulus. Hehe
Sampai lahir novel pertama, lalu novel Wigati, lalu novel Suhita, Abah juga selalu mendukung. Abah memperhatikan dengan detil jadual saya, tanggal berapa, dimana, dan apa temanya.
Sebelum pandemi, waktu kami munyer seser acara Suhita, dari ujung kulon sampai ujung timur, sampai Lampung, abah terus mengawal. Bahkan misalnya kami berangkat jam satu malam, abah tetap menunggu. Mengantar sampai mobil. Dan belum beranjak sebelum mobil kami berbelok semakin jauh.
Abah selalu mengingatkan untuk terus baca sholawat selama di perjalanan. Harus sowan kiai Bu Nyai pesantren yang mengundang. Dan harus ziarah ke makam alim ulama meski kadang kami menempuh dua belas kota dalam satu kali perjalanan.
Abah selalu menunggu nunggu kiriman foto acara Suhita di grup keluarga dan mengomentarinya dengan antusias.
Setelah pindah ke era zoominar pun, abah terus memberi dukungan. Sebelum acara Suhita, malamnya pasti saya ditimbali, diajak diskusi, disuruh menjelaskan temanya apa. Sebab belakangan acara Suhita bukan hanya pesantren dan kampus, atau lakspesdam, LKNU, Muslimat, Fatayat, tapi juga perpustakaan, Bawaslu dan lain lain. Kadang bersama orang orang besar. Abah memastikan saya siap esok paginya.
Saat acara berlangsung, abah selalu menyimak. Lalu mengevaluasi. Abah juga memperhatikan yang kecil kecil misalnya tata letak ruangan dan lighting. Abah juga tertawa bangga mengomentari kudung wayang saya yang setiap acara selalu berganti. Hehe. Tak jarang, abah mengajak tamu tamunya menyimak siaran langsung saya dan bercerita betapa saya memulai segala sesuatunya dari nol dan sangat mencintai wayang dan budaya.
Sekarang Abah sudah pergi tapi semangat abah tidak pernah beranjak sejengkal pun dari sanubari saya. Abah tetep ada. Memberi saya semangat, dan doa seperti biasa.
Penulis: Khilma Anis (penulis buku Hati Suhita)