ASWAJADEWATA.COM
Gempita kemerdekaan telah mulai marak di sela-sela hiruk pikuknya kota sampai merambah ke desa-desa. Kibaran bendera merah putih melambai-lambai di setiap ruas jalan. Lampu kerlap-kerlip pun ikut menghiasi dan menghidupkan suasana keceriaan. Selaksa ikut menyambut kemerdekaan Republik Indonesia. Sesekali, terdengar pekikan “merdeka” oleh anak-anak kecil seakan-akan mengajak kita kembali pada masa-masa perjuangan kala itu. Dengan penuh riang gembira, bangsa Indonesia mulai dari anak-anak sampai orang dewasa menyambut kemerdekaannnya.
Sudah menjadi tradisi kenegaraan bahwa di setiap hari-H kemerdekaan diselenggarakan upacara kemerdekaan. Mulai dari sekolah-sekolah sampai instansi-instansi pemerintah. Namun tidak berhenti sampai di sini. Beraneka macam cara ditempuh untuk memperingati kemerdekaan. Sebagian kalangan mengadakan berbagai macam perlombaan dan karnaval. Intinya, mereka ingin mengekspresikan keceriaannya dengan berbagai macam gaya.
Meskipun sudah 75 tahun bangsa Indonesia telah menikmati kemerdekannya. Bukan berarti bangsa Indonesia bisa ongkang-ongkang dengan enaknya. Seakan-akan telah usai dari garapan besarnya. Kita harus sadar bahwa cita-cita luhur para pejuang kemerdekaan belum tercapai secara sempurna. Secara fisik kita memang merdeka, tapi secara politik, ekonomi, ideologi, dan kebebasan berpikir kita masih berada di bawah cengkeraman pihak tertentu.
Agenda besar yang ada dihadapan bangsa Indonesia saat ini adalah mengentaskan dirinya dari belenggu imperialisme baru. Bukannya melakukan hura-hura yang justru tidak menghargai tetesan keringat dan darah para pejuang. Perjuangan bangsa Indonesia telah dibayar dengan cucuran darah dan air mata. Karenanya, kita tidak boleh mengacuhkan begitu saja. Kita harus melanjutkan perjuangan mereka menuju kemerdekaan yang hakiki. Bagaimana makna kemerdekaan yang seutuhnya menurut Islam? Kemerdekaan apa saja yang dicanangkan dalam Islam? Selanjutnya bagaimana seharusnya memperingati nikmat kemerdekaan?
Pada dasarnya, manusia terlahir di muka bumi ini dengan sejuta kebebasan. Terlepas dari sekapan-sekapan kekuasaan di luarnya. Punya keleluasaan hak yang tidak boleh dilanggar oleh pihak lain. Sebagaimana pernah diujarkan oleh sahabat Umar RA. “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan mereka dilahirkan dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka?”.
Islam adalah agama pembebas. Misi utamanya adalah mengembalikan kemerdekaan dan hak-hak manusia yang telah dirampas oleh pihak-pihak yang bertindak sewenang-wenang. Melalui semboyannya La Ilaha Illallah, ada isyarat yang nyata akan adanya kemerdekaan secara paripurna dalam Islam.
Dengan pernyataan “La Ilaha” berarti manusia telah melepaskan dirinya dari penghambaan dan ketundukan dari kekuatan mana saja yang menghegemoni dirinya. Tapi perlu diingat, bahwa kebebasan yang kelewat batas akan menimbulkan anarkisme. Makanya perlu dihadirkan kata “Illallah”. Artinya meskipun manusia punya kebebasan secara penuh, tapi masih dalam rel agama Allah. Sahabat Ali ra. pernah mengungkapakan sebuah wasiat: “Jangan sampai kalian menjadi budak orang lain, padahal kalian diciptakan Allah dalam keadaan merdeka”. [Yas Alûnaka, III:361-362; Fatâwâ Mu’âshirah, II:329]
Islam secara tegas memerangi segala macam bentuk penjajahan. Tidak hanya penjajahan secara fisik saja. Tetapi di mana saja manusia merasa dirampas dan diinjak-injak hak-haknya, baik secara politik, ekonomi, ideologi, dan sosial. Dengan lantang Islam menyuarakan kemerdekaan dan melawan segala bentuk penjajahan tersebut. Dari sekian bentuk penjajahan, yang paling berbahaya adalah keterkungkungan dalam sisi ideologi (kepercayaan). Karena di sinilah akar dari segala bentuk penjajahan yang lainnya. Karena manusia yang mau diperbudak secara ideologi, akan menjadikannya tunduk dan bertekuk lutut. Bahkan demi mempertahankan ideologi manusia rela mengorbankan nyawanya. Makanya, sejak awal Islam memberikan kemerdekaan dalam ideologi. Pada masa Nabi di Makkah turun ayat :
أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
“Maka apakah you hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. [QS. Yunus (10): 99]
Pada era Madinah turun ayat :
لاَ إِكْرَاهَ فِيْ الدِّيْنِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”. [QS. al-Baqarah (2):256]
Kedua ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa urusan kepercayaan, Islam memberikan kebebasan seluas-luasnya. Islam hanya menunjukkan mana jalan yang benar dan jalan yang salah. Selanjutnya terserah manusia sendiri, apakah ia memilih jalan yang lurus yang menuju ke surga atau memilih jalan yang salah yang jurusannya ke neraka.
Selain kemerdekaan dalam ideologi, Islam juga sangat menghargai kemerdekaan manusia di lini yang lain. Baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Nabi pernah bersabda:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلىَ الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Sesama umat Islam haram (tidak boleh melanggar) darah, harta, dan kehormatannya”. (Sunanu Ibni Mâjah, II:473]
Pesan yang hendak disampaikan Nabi dari sabdanya ini adalah Islam sangat menghargai HAM (Hak asasi manusia). Jiwa, harta, dan kehormatan tidak boleh diinjak-injak oleh orang lain. Hal ini bukan antara sesama muslim saja melainkan kepada manusia secara keseluruhan. Buktinya, ketika Fathu Makkah (Pembebasan kota Makkah) Nabi tidak menuntut balas dan mengancam kafir Makkah, melainkan Nabi memberi kebebasan kepada mereka. Lalu beliau bersabda : “Tidak ada pembalasan atas kalian, semoga Allah mengampuni kalian. Allah maha luasa kasih sayang-Nya. Pergilah ! Kalian sekarang bebas. (Yas Alûnaka, VI:456]
Menengok Indonesia yang telah merayakan kemerdekaanya 75 kali. Memang secara fisik Indonesia telah merdeka, namun itu belum menjadi tujuan akhir. Cita-cita luhur pejuang bangsa adalah membangun bangsa Indonesia yang mandiri tanpa tercabik-cabik oleh kekuatan lain. entah sisi politiknya, ekonominya, ideologinya, dsb. Sebagaimana kemerdekaan yang diidealkan Islam.
Melihat realitas ini, bangsa Indonesia baru sampai pada setengah perjalannya. Indonesia belum sampai kepada kemerdekaan sejati. Apakah sudah layak kita hura-hura dengan kemerdekaan yang kita dapat. Bagaimana semestinya kita memperingati dan mensyukuri nikmat kemerdekaan ini?
Kemerdekaan yang diraih melalui pengorbanan para pejuang adalah suatu kenikmaatn agung. So pasti kita wajib mensyukurinya. Caranya dengan mendayagunakan nikmat yang diperoleh ke arah ridha Allah. Ada beragam media untuk menampakkan rasa syukur kita. Pertama Syukr bi al-Qalbi, dengan cara merenungi kebesaran Tuhan, berkomitmen yang baik, Kedua, Syukr bi al-Lisan, dengan cara menyanjung dan mengagungkan Allah, berdzikir, bertahlil dsb. Ketiga, Syukr bi al-Badan, dengan cara melaksanakan amal kebajikan sesuai tujuan kenikmatan itu diberikan. Keempat, Syukur bi al-Mâl, dengan cara mendermakan harta yang dimiliki ke jalan Allah. Kelima, Syukr bi an–Nafs, dengan cara meninggalkan buaian syahwat. [Ihyâ’ `Ulûmu al-Dîn, IV:95; Qutbi al-Qulûb, II:225-226]
Sudah menjadi tradisi yang tidak terlepas di setiap bulan kemerdekaan, bangsa Indonesia memarakkan dengan berbagai macam aktifitas. Sacara umum ada tiga bentuk perayaan yang dilakukan masyarakat umum. Pertama, peringatan yang bersifat seremonial, semacam upacara. Bentuk pertama ini sangat penting dilestarikan, karena peringatan kemerdekaan dapat menjadikan renungan bagi kita, menjadikan pelajaran kita untuk menapaki langkah ke depan, dan mengenang jasa-jasa para pejuang kemerdekaan. [Yas Alûnaka, VII: 243]
Kedua, Peringatan yang yang memberikan manfaat, baik secara vertikal maupun horizontal semacam mengadakan pengajian, tahlil, berziarah ke makam pahlawan, menyantuni fakir miskin dan anak yatim dsb. Bentuk kedua ini yang harus selalu dikembangkan sebagai rasa syukur kita atas nikmat kemerdekaan. Semakin kita bersyukur niscaya Allah akan semakin melimpahkan kenikmatann-Nya.
Ketiga, peringatan yang berbentuk hura-hura. Semacam karnaval, aneka macam lomba, pagelaran musik, pesta pora dan bentuk kegiatan lain yang mengekspresikan kegembiraan. Kegembiraan semacam ini adalah hal mubah senyampang tidak melanggar aturan syara’. Semisal mabuk-mabukan, ikhtilat (berbaur) antar lawan jenis, menghambur-hamburkan uang sementara di seliling kita masih banyak masyarakat yang butuh uluran tangan.
‘Ala kulli hal, peringatan kemerdekan merupakan hal yang harus dilestarikan sebagai wujud syukur kita kepada Allah. Di samping itu kita harus sadar akan tujuan para founding father kita membangun negeri ini. Dengan rela para pejuang mengorbankan jiwa dan raganya demi membela harga diri bangsa. Alangkah naifnya, jika kita berhura-hura dengan bertopeng peringatan kemerdekaan sementara kita lupa akan spirit perjuangan kemerdekaan. Seakan-akan kita tidak menghargai jasa dan pengorbanan para pejuang. Semestinya dengan momen kemerdekaan, kita berupaya keras untuk melepaskan bangsa Indonesia dari segala bentuk imperialisme yang bercokol di negeri ini dan mengentaskan bangsa ini dari krisis multi dimensional yang sudah menjangkit selama beberapa tahun terakhir ini. Sehingga Indonesia benar-benar mencapai kemerdekaan yang sejati. Dan akhirnya negeri tercinta ini menyandang predikat Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur. Amiiin.
Sumber tulisan ini dari Buku Fikih Progresif, Karya Ma’had Aly Situbondo, jilid 2, hal. 1329