ASWAJADEWATA.COM
Zizi sudah 3 tahun hidup berkeluarga. Selama 3 tahun itu pula dia hanya merasakan kehampaan serta sedikit teriring penyesalan. Hidup bersama suaminya tidak pernah mendapatkan apa yang setiap hari dan malam dia harapkan dan butuhkan. Suatu ketika dia mengungkapkan pada suaminya tentang apa yang dia rasakan selama 3 tahun itu. Mungkin sudah merasa tidak kuat menahan beban perasaan. Tapi, suaminya malah menjawab dengan bertanya:
“Apakah aku kurang memenuhi hakmu? Aku sudah memberimu tempat tinggal, membelikan baju-baju yang kau butuhkan, menyediakan uang setiap hari untuk kebutuhan keluarga kita, mengajakmu keluar untuk jalan-jalan, dan setiap malam aku tidur bersamamu. Dan, aku pun tak pernah memarahimu apa lagi memukulmu. Lalu apa yang kurang?”
Mendengar jawaban suaminya itu, Zizi hanya terdiam. Dalam hatinya, Zizi berbisik panjang, “Ya, Mas. Mas benar. Mas memang memenuhi hakku, bahkan Mas tidak pernah menyakitiku dengan memarahiku dan memukulku. Tapi Mas, ada sesuatu yang Mas tak ketahui dan itu yang selalu aku butuhkan setiap hari dan malam. Aku butuh dirindui, Mas. Mas ketika ada di luar tak pernah nelfon untuk hanya sekedar bertanya keadaanku. Ketika Mas datang, aku bukakan pintu, Mas hanya menjulurkan tangan Mas untuk aku salami. Mas tidak pernah mencium keningku, memeluk, atau merangkulku, seolah Mas sama sekali tidak ada rasa keburu bertemu denganku. Bukankah rindu itu membuat kita keburu bertemu ketika berjauhan dan ketika bertemu tak ada yang ingin dilakukan kecuali berpelukan mesra?
Ketika kita sama-sama berada di rumah, Mas tidak pernah mengajakku ngobrol kecuali Mas ada perlunya saja, tidak pernah bersenda gurau, dan bahkan tidak pernah duduk santai bersama. Ketika kita berada dalam kamar, memang Mas menjamahku, tapi Mas tidak pernah memulainya dengan belaian lembut, ciuman mesra, perkataan romantis, bahkan Mas tidak pernah bertanya, aku bersedia atau tidak. Sepertinya, Mas tidak memiliki rasa sayang untukku. Aku hanya dijadikan “pelampiasan” hasratmu, Mas.
Ketika aku mengatakan, aku sayang Mas dan aku rindu Mas, Mas hanya mengangguk lalu diam saja. Padahal aku butuh balasan dengan kata yang sama. Aku ingin kata sayang dan rindu selalu aku dengar setiap hari dan malam dari bibirmu, Mas. Aku ingin kata-kata romantis lainnya juga aku dengar. Sebab kata-kata itu akan menjadi ruh bagi hati dan perasaanku”.
Nafkah Material dan Nafkah Perasaan
Tentang nafkah perasaan, kiranya sangat penting memahami sikap Nabi dalam memperlakukan atau bergaul dengan istrinya. Perlakuan Nabi kepada istrinya dalam hadits tersebut adalah mencium istrinya dengan penuh kecintaan, berlaku lembut dengan penuh perhatian, bersenda gurau dengan penuh keceriaan, bermesraan dengan penuh kasih sayang, berpelukan dengan penuh kehangatan, dan memanggil istrinya dengan kata-kata penuh keromantisan.
Perempuan (istri) manapun pasti ingin selalu mendapatkan perlakuan dari suami seperti yang dijelaskan dalam banyak hadits romantisme Nabi. Idealnya, memang seharusnya begitu. Tapi pada faktanya tidak jarang para istri mengeluh karena perlakuan suaminya. Mungkin seperti yang dialami Zizi dalam cerita singkat di atas.
Pernikahan sebagai ikatan antara dua anak manusia, menjadi pintu masuk untuk mengarungi bahtera rumah tangga, yang tujuannya telah Allah nyatakan, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat di atas menjadikan sasaran atau tujuan hidup berkeluarga adalah ketentraman hati dan jalinan cinta, kasih dan sayang diantara suami-istri, yang semua ini merupakan aspek-aspek perasaan, bukan material. Tidak ada artinya kehidupan keluarga yang sunyi dari aspek-aspek ini, sehingga badan memang berdekatan tetapi hati berjauhan.
Dalam hal ini banyak suami yang keliru –padahal diri mereka sebenarnya baik- ketika mereka mengira bahwa kewajiban mereka terhadap istri adalah memberi nafkah berupa pakaian, tempat tinggal, belanja sehari-hari, tidak ada yang lain. Dia melupakan bahwa seorang perempuan (isteri) bukan hanya membutuhkan tempat tinggal, makan dan minum, pakaian dan lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhakan sesuatu yang lebih dari itu, yaitu berupa perkataan romantis, belaian lembut, pelukan dan ciuman mesra, senda gurau, dan lain-lain dari kebutuhan yang membuat hati istri tenang, ceria, tentram, senang, dan bahagia. Semua ini adalah kebutuhan yang melebihi dari kebutuhan material.
Tentang nafkah, dewasa ini dikenal ada dua nafkah. Ada nafkah zhahir dan nafkah batin. Nafkah zhahir diartikan dengan nafkah yang berkaitan dengan material, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Nafkah pertama ini kadang yang membuat para lelaki minder untuk menikah, apalagi calonnya mensyaratkan harus memiliki kerjaan terlebih dahulu sebelum menikah. Sementara nafkah batin diartikan dengan kebutuhan seksual.
Mengenai nafkah batin, sebenarnya tidak hanya kebutuhan seksual saja. Ada yang lebih penting dari itu, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan perasaan. Berbicara tentang perasaan dalam kehidupan keluarga, tidak akan lepas dari kerinduan, kesetiaan, kasih-sayang, dan keharmonisan. Semua ini merupakan nafkah yang harus selalu bersemi dalam hubungan suami-isteri. Meskipun kebutuhan nafkah material terpenuhi namun kebutuhan perasaan terabaikan, jangan berharap kehidupan rumah tangga akan merasakan kebahagiaan.
Nafkah material memang menjadi kebutuhan dalam melangsung hidup berkeluarga, tetapi nafkah perasaan selalu dibutuhkan untuk menghidupkan keluarga dengan penuh keharmonisan. Tidak makan satu hari atau dua hari mungkin masih kuat, tetapi tidak mendapatkan kasih sayang, jangan kan satu hari, satu detik saja hidup terasa mati. Cieee… Lebay BGT. (Buku Peka Rasa Volume 1)