Oleh: Izzul Madid
Salah satu perdebatan di media sosial terkait gonjang ganjing yang terjadi di tubuh PBNU adalah apakah pemecatan Ketum sudah sesuai dengan AD/ART dan Peraturan Perkumpulan PBNU ataukah tidak? Kubu ketum menyatakan bahwa hal itu tidak sesuai AD/ART. Sedangkan kubu Rais Am menyatakan bahwa Syuriah sebagai pimpinan tertinggi di PBNU berhak melakukannya. Polemik ini, mari kita urai menggunakan pendekatan ushuliyah.
Ada beberapa pasal kunci yang tiap netizen harus tahu redaksi aslinya agar mampu memahami tulisan ini sebaik mungkin.
1. AD Pasal 14 Ayat (3): “Syuriah adalah PIMPINAN TERTINGGI Nahdlatul Ulama”
2. ART BAB XVIII Wewenang dan Tugas Pengurus, termasuk Rais Am dan Ketua Umum
3. ART Pasal 40 Ayat (1) huruf e: “Ketua Umum DIPILIH SECARA LANGSUNG OLEH MUKTAMIRIN mulalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar dengan terlebih dahulu menyampaikan kesediaannya secara lisan atau tertulis DAN MENDAPATKAN PERSETUJUAN DARI RAIS ‘AM TERPILIH”
4. ART Pasal 74 Ayat (1): “Muktamar Luar Biasa DAPAT diselenggarakan apabila Rais ’Aam dan/atau Ketua Umum Pengurus Besar melakukan pelanggaran berat…”
AD/ART merupakan rujukan berorganisasi yang dibuat saat Muktamar berlangsung. Karena ia dibuat oleh muktamirin yang notabene adalah para kiai pesantren, maka seharusnya ia juga bisa dianalisa menggunakan ilmu-ilmu pesantren, terutama ushul fikih. Dalam hal ini tentu saja kaidah kebahasaan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Zakariya al-Anshariy melalui Ghayatul Wushulnya, bahwa teori kebahasaan yang ada pada Kitabul Awwal tidak hanya bisa digunakan untuk al-Qur’an dan al-Hadits, tetapi juga untuk berbagai peraturan yang dibuat oleh manusia.
Pertama terkait kewenangan Syuriah memberhentikan Ketua Umum. Pihak Ketum mengatakan bahwa memberhentikan ketua umum bukan wewenang Syuriah sebagaimana pada ART BAB XVIII; tidak disebutkan dalam bab tersebut bahwa Syuriah ataupun Rais Am memiliki hak atau wewenang untuk memberhentikan ketua umum. Sementara pihak Rais Am mengatakan bahwa berdasarkan Anggaran Dasar Pasal 14 ayat (3), Syuriah punya hak karena merupakan pimpinan tertinggi. Pimpinan tertinggi ini dimaknai sebagai ulil amri, karena Syuriah adalah pihak yang perintahnya harus dilaksanakan oleh Tanfidziyah. Sedangkan tanfidziyah adalah pelaksana kehendak syuriah.
إن كان المراد بأولي الأمر هم الذين تجب طاعة امرهم فليس رؤساء التنفيذية من اولي الامر، لانه ليس لهم حق الامر او النهي، وإنما عليهم تنفيذ ما وظّفه عليهم رؤساء الشورية.
Polemik ini bila kita menggunakan kaidah ushuliyyah, bisa didekati dengan teori Am-Khas atau Muthlaq-Muqayyad. Bila kita menganggap bawa AD Pasal 14 (3) adalah kaidah umum lalu dijabarkan oleh ART BAB XVIII, maka posisi Bab XVIII sama dengan dzikru afrad al-‘Am. Penyebutan rincian isi keumuman suatu teks tidak bisa dikatakan sebagai takhsis terhadap keumuman ذكر أفراد العام لا يخصص. Hal ini sebagaimana pada firman Allah
مَن كَانَ عَدُوًّا لِّلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِّلْكَافِرِينَ (البقرة: 98)
Menyebutkan Malaikat Jibril dan Mikail tidak lantas menyebabkan bahwa yang dimaksud oleh kata “Malaikatihi” hanyalah mereka berdua. Dengan demikian, kewenangan yang dimiliki Syuriah tidak terbatas pada kewenangan yang termaktub dalam BAB XVIII.
Namun, bila kita menggukan teori Muthlaq-Muqayyad, maka AD Pasal 14 (3) yang seakan memberikan kuasa muthlak kepada Syuriah, dibatasi oleh rincian yang ada pada ART BAB XVIII sehingga di luar yang telah dijelaskan di bab ini bukan merupakan kewenangan Syuriah, termasuk memberhentikan ketua umum.
Polemik berikutnya: yang berhak memberhentikan Ketua Umum adalah muktamar karena ketua umum ditunjuk/dipilih oleh muktamar. Hal ini mengacu pada konsep من له حق التولية له حق العزل (siapa yang memililki kuasa untuk mengangkat/memberi restu, maka dia memiliki hak untuk memberhentikan). Hal ini didasarkan pada ART Pasal 40 (1) (e). Namun, di pasal dan ayat yang sama, dijelaskan bahwa ketua umum baru bisa dipilih setelah mendapatkan restu/izin dari Rais ‘Am. Secara isyaratun nash, mengindikasikan bahwa Rais ‘Am memiliki otoritas keberlangsungan jabatan tersebut. Isyaratun nash ini diperoleh karena tidak mungkin ketua umum dapat terpilih tanpa ada restu dari Rais ‘Am.
Dari aspek lain, dapat dikatakan bahwa Gus Yahya saat ini menjabat ketua umum karena illat murakkabah, yakni adanya restu rais ‘Am dan dipilih oleh muktamirin. Nah, terkait illat murakkabah yang tersusun dari dua bagian, bila salah satu bagiannya hilang (misalnya Rais ‘Am menarik kembali restunya) maka ia tidak lagi bisa menjadi illat yang memunculkan hukum.
Terkait prosedur pemberhentian yang hanya bisa dilakukan melalui MLB, terindikasi dari pasal 74 (1) yang menyatakan “MLB DAPAT DISELENGGARAKAN apabila Rais ’Aam dan/atau Ketua Umum melakukan…”. Frase “dapat diselenggarakan” memberi indikasi bahwa ia bukan jalan satu-satunya. Pasal ini tidak memberikan hasr (pembatasan) terhadap MLB. Ada jalan lain yang dapat digunakan. Akan tetapi, baik dalam AD/ART maupun Perkum, tidak dijelaskan jalan lain tersebut. Sehingga, seakan-akan pihak ketua umum mengatakan bahwa hal inilah satu-satunya jalan. Namun demikian, dalam Perkum tidak ada satupun teks yang menyebutkan bahwa Rapat Pleno dilarang memutuskan pemberhentian ketua umum, padahal rapat pleno posisinya berada di bawah Muktamar dalam hal mengambil kebijakan-kebijakan organisasi. Maka, pihak Rais ‘Am kemudian memberlakukan kaidah النزول من المثل الأعلى الى الواقع الأدنى dengan argumen sadd al-dzariah.
Simpulannya, tidak ada teks dalam AD/ART ataupun Peraturan Perkumpulan yang secara tegas mengatakan bahwa Syuriah berhak memberhentikan ketua umum. Pun tidak ada yang mengatakan bahwa Syuriah tidak berhak memberhentikan. Demikian pula dengan MLB yang menjadi satu-satunya jalan, tidak ada teks yang tegas mengatakannya dan tidak ada teks yang tegas menolaknya. Jadi semua ini tentang tafsir terkait hal-hal yang “MASKUT ‘ANHU”. Jadi tidak benar bila dikatakan bahwa Rais ‘Am melanggar AD/ART, tetapi yang pas adalah “TIDAK SESUAI DENGAN TAFSIR TERHADAP AD/ART SALAH SATU PIHAK”. Lalu, tafsir siapa yang akan dipilih? Maka dalam hal ini, Kiai Afifuddin – melalui draft sambutan pada sidan pleno – sudah mengajurkan untuk memilih yang lebih sesuai dengan kemashlahatan dan lebih mampu mencegah kemudharatan yang lebih besar. Tampaknya, mudharat berupa terjadinya polarisasi dan runtuhnya marwah NU, masih bisa ditanggung (متحمل) dari pada mudharat yang akan ditimbulkan bila Gus Yahya tidak dimakzulkan. Apakah itu? Wallahu A’lam








