ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Naufal Aulia Hanif
Keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia, baik yang melingkupi aspek alamnya ataupun sosial-budaya masyarakatnya, secara implisit menunjukan betapa kayanya bangsa ini. Bahkan, dari ujung Sabang sampai Merauke tidak ada satupun masyarakatnya yang hidup tanpa dikelilingi oleh kekayaan yang luhur dan panorama alam yang indah. Namun, keberagaman yang kian melekat menjadi ciri khas bangsa Indonesia itu nampaknya harus diposisikan secara sentral sebagai suatu hal yang patut dirawat bersama-sama.
Pasalnya, di tengah gemerlapan kemajuan zaman (baca: modernitas), menjamurnya paham keagamaan yang extrem dan eksklusif turut memberikan ruang bagi terciptanya berbagai tindakan kekerasan dalam beragama dan juga mengamini rapuhnya rasa persatuan dan kesatuan. Karenanya sebagai langkah responsif, pemerintah mengeluarkan narasi besar moderasi beragama sebagai bentuk usaha untuk menjaga keberagaman itu di tengah menjamurnya paham keagamaan yang merusak.
Adapun konsep moderasi beragama yang terformulasikan sejauh ini dapat dipahami sebagai way of life yang menjunjung tinggi nilai keadilan (i’tidal) dan keseimbangan (tawaazun) serta bersikap sewajarnya dalam beragama. Tentu, bersikap sewajarnya di sini harus diinterpretasikan sebagai sebuah sikap yang tidak saling mengganggu satu sama lain demi menciptakan iklim kehidupan beragama yang nyaman dan harmonis. Di sisi lain, konsep itu memiliki kesamaan nilai dengan apa yang selama ini dikenal sebagai Islam wasathiyah.
Yaitu, cara berislam yang digambarkan dengan wajah yang ramah dan tidak extrim serta tidak mengamini segala bentuk tindakan kekerasan dalam beragama. Tentu, tindakan kekerasan dalam beragama juga harus dipahami sebagai kekerasan yang tidak hanya menyangkut hubungan antar penganut agamanya saja, melainkan juga hubungan terhadap segala hal di luarnya (eksternal). Selain itu, saya menilai bahwa narasi moderasi beragama memiliki karakteristik yang sama dengan masyarakat di sekelilingnya.
Karakteristik itu adalah adanya potensi untuk selalu berubah dan berkembang dalam merespon problematika aktual yang terjadi di tengah masyarakat. Sehingga, segala bentuk usaha penyegaran batasan penting untuk dilakukan. Adapun satu hal yang perlu dipertimbangkan secara mendalam adalah bagaimana aspek ekologi sebagai interaksi manusia dan lingkungan menjadi aspek yang sensitif dalam kehidupan beragama. Sebab jika aspek ekologi ini terganggu, maka kehidupan beragama yang harmonis pun berpotensi akan terganggu juga.
Islam dan Ekologi: Relasi Keseimbangan yang Membangun
Al-Qur’an sebagai salah satu nash sakral yang memiliki kedudukan tertinggi secara struktural dalam agama Islam tidak sedikit menyinggung soal ekologi dalam ayat-ayatnya. Seperti mengenai perintah untuk merawat alam sebagai interaksi harmonis yang harus dibangun antara manusia dengan manusia ataupun manusia dengan alamnya. Salah satu ayat yang memberikan penekanan secara kuat dalam ruang lingkup tersebut adalah QS. Ibrahim: 32. Dimana ayat ini berisi amanah konservasi kepada manusia sebagai khalifah untuk menjaga kelestarian alam dan larangan untuk berlebihan dalam memanfaatkannya.
Kaitannya dengan penerapan moderasi beragama, ayat tersebut berisi dua nilai yang harus ada dalam moderasi beragama. Yaitu, nilai keadilan (I’tidal) dan keseimbangan (tawazun). Manifestasi dari nilai keadilan itu dapat dilihat dengan bagaimana manusia dapat mengoptimalkan perannya sebagai khalifah di muka bumi dalam memaksimalkan usaha konservasi alam, bukan sebaliknya-deforestasi linkungan. Di sisi lain, hal itu menunjukan bahwa idealnya manusia tidak dzalim dengan amanah yang diembannya. Sedangkan manifestasi dari nilai keseimbangan (tawazun) dapat dilihat dari manusia tidak semena-mena dalam memanfaatkan atau mengeksploitasi sumber daya alamnya.
Sebagaimana yang telah saya singgung di awal bahwa aspek ekologi ini memiliki peran penting tersendiri dalam ruang moderasi beragama. Sehingga bukan menjadi hal yang berlebihan apabila ekologi dengan narasi moderasi beragama memiliki keterkaitan yang erat. Seperti halnya bahan bakar, apabila usaha konservasi atau perlindungan ekologi ini terganggu maka tujuan dari aktualisasi moderasi beragama di dalam tubuh masyarakat yaitu kehidupan yang harmonis juga akan terhambat. Hal inilah yang akan terjadi apabila relasi Islam dan ekologi ini tidak diberi perhatian yang serius untuk dilihat dari kacamata yang membangun, yaitu relasi keseimbangan bukan superioritas agar dapat memberikan warna baru yang progresif.
Karena sejauh ini tidak sedikit terjadi kasus bagaimana kehidupan beragama terganggu karena alam di sekitarnya diganggu juga. Seperti halnya deforestasi lingkungan, pengundulan hutan, penambangan sumber daya alam, dan pembukaan lahan yang ternyata memberikan dampak negatif jangka panjang di masyarakat yang begitu besar dibandingkan dengan dampak positifnya. Melalui pertimbangan itu, sekali lagi batasan toleransi dalam moderasi beragama sudah selayaknya harus ada penyegaran. Yaitu penyegaran terhadap batasan yang tidak menciptakan relasi superioritas-inferioritas antara agama dan ekologi. Melainkan relasi keseimbagan yang membangun.
Toleransi Baru dalam Moderasi Beragama
Toleransi merupakan ruh yang hidup dalam moderasi beragama sekaligus sebagai wasilah untuk mencapai keharmonisan yang hakiki dalam kehidupan beragama sosial masyarakat. Walaupun begitu, sejauh ini aktualisasi dari moderasi beragama hanya melingkupi bentuk-bentuk toleransi dalan perbedaan keagamaan dan pemahamannya saja. Sebenarnya, hal ini sangat cocok jika dilihat dari sudut pandang makro bangsa Indonesia yang kaya akan perbedaan. Namun bagaimana jika perbedaan daam masyarakat sudah tidak lagi menjadi tantangan dalam untuk mencapai kehidupan beragama yang harmonis, melainkan saat ini alamlah yang memiliki peran pentjng dalam menentukannya.
Sebagaimana yang telah saya singgung di awal bahwa beberapa aktivitas manusia dalam memanfaatkan atau mengeksploitasi alam sudah sampai pada tahap yang merusak. Jika itu dibiarkan tanpa ada usaha yang berarti, tentu dampak buruk akan menimpa masyarakat di sekelilingnya, seperti bencana alam banjir, tanah lonsor, kekeringan, dan tanah yang rusak atau sudah tidak subur lagi untuk dimanfaatkan. Terlebih, (karena) tidak sedikit masyarakat yang menjadikan hasil alamnya sebagai ruh kehidupan beragama mereka, sekaligus perekat kerukunan di antara mereka. Sehingga kerusakan lingkungan dalam aspek ekologi dapat ditempatkan secara sejajar dengan paham keagamaan yang eksklusif dan extrim.
Karena mereka sama-sama menjadi tantangan dan penghambat bagi terciptanya kehidupan beragama yang harmonis. Jika dalam merespon paham keagamaan yang eksklusif dan extrim itu harus menekankan toleransi yang tinggi terhadap fakta bahwa di luar kita juga ada perbedaan agama dan pemahaman sebagai ketetapan Tuhan yang ada untuk diterima kehadirannya di luar eksistensi diri kita di masyarakat. Maka, dalam merespon berbagai aktivitas yang merusak lingkungan kita harus sadar bahwa banyak masyarakat yang mempertaruhkan kehidupannya dalam lingkungan. Sehingga wujud toleransinya adalah adanya sikap keseimbangan dan adil dalam memanfaatk.an alam.
Sehingga, moderasi beragama sudah tidak lagi menjadi narasi yang membosankan jika dibicarakan dan tidak kehilangan perannya di kemudian hari. Melainkan ada satu aspek yang ternyata penting saat ini untuk terus dirawat dan dikembangkan ke arah yang progresif, yaitu aspek ekologi. Di mana relasi Tuhan dalam nash agama, manusia, dan alam dapat direaktualisasikan kembali secara nyata demi kehidupan beragama di masyarakat lebih harmonis. Wallahu A’lam.
(Penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta)