ASWAJADEWATA.COM |
Semboyan “Dalam barisan satu komando” yang populer di kalangan santri Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo menjelang pemilihan daerah memiliki makna yang dalam. Ungkapan ini menegaskan pentingnya kesatuan, ketaatan, dan kepatuhan terhadap arahan pemimpin (dalam hal ini kiai) dalam menentukan arah politik.
Pesan semboyan tersebut, cukup ampuh dan mampu mengantarkan “jagoannya” sebagai pemenang. Walaupun selisihnya tidak terlalu besar (mungkin pihak yang lain, juga mengikuti “komando” kiai yang lain).
Dari sudut pandang psikologi, semboyan ini mencerminkan konsep kepatuhan kepada otoritas (obedience to authority). Santri menganggap kiai sebagai pemimpin yang memiliki legitimasi moral dan spiritual. Arahan dari kiai dianggap sebagai keputusan yang benar, sehingga santri cenderung tunduk dan bersatu dalam mengikuti arahan tersebut tanpa mempertanyakan keabsahannya. Sami’na waatho’na; kami dengar dan kami patuh!
Semboyan ini juga menggambarkan penguatan identitas kolektif. Santri merasa menjadi bagian dari kelompok yang memiliki tujuan dan nilai bersama, yaitu mendukung keputusan politik yang telah ditentukan oleh kiai. Identitas ini memberikan rasa kebanggaan, solidaritas, dan makna, sehingga mereka lebih termotivasi untuk bertindak bersama.
Berada dalam “satu komando” memberikan rasa aman secara emosional karena santri merasa tidak sendiri dalam mengambil keputusan. Ketika seluruh kelompok bergerak dalam satu arahan, tekanan untuk memilih atau bertindak secara independen berkurang, sehingga mereka lebih percaya diri dan puas dengan keputusan yang diambil.
Dari perspektif psikologi, mengikuti arahan kiai dianggap sebagai tindakan berbasis nilai (value-based action), bukan semata-mata pertimbangan pragmatis. Hal ini menciptakan justifikasi moral bahwa apapun hasilnya, tindakan mereka sudah selaras dengan keyakinan spiritual.
Semboyan “Dalam barisan satu komando” tidak hanya menegaskan kesatuan sikap politik di kalangan santri, tetapi juga mencerminkan integrasi antara nilai-nilai keagamaan, kultural, dan sosial dalam pengambilan keputusan politik. Dari perspektif psikologi, semboyan ini menunjukkan pengaruh besar figur otoritas dalam membentuk kepatuhan, solidaritas, dan identitas kolektif.
Sementara itu, dari perspektif sosiologi, semboyan ini menggambarkan bagaimana struktur sosial dan budaya pesantren menciptakan harmoni dan kesatuan tindakan di tengah dinamika politik.
Semboyan ini menjadi simbol kekuatan komunitas pesantren dalam menghadapi perubahan sosial-politik tanpa kehilangan akar tradisi dan nilai-nilai moralnya.
Sukorejo, 28 Nopember 2024
Syamsul A Hasan