ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Muhammad Rodlin Billah
Biasanya, terhadap cerita-cerita semacam ini saya sendiri jarang mudah percaya. Apalagi terhadap cerita-cerita yang hanya bersumber dari satu orang. Karenanya saya dapat mengerti bila orang lain mengambil sikap tersebut atas cerita berikut.
Gus Sholah terlampau baik hati. Melalui ibu saya, sekitar tahun 2017, beliau mengabarkan kesediaannya menemui empat orang panitia sebuah pelatihan manajemen mahasiswa tingkat fakultas di ITS Surabaya. Dua orang mahasiswi beserta dua orang mahasiswa, salah satunya saya.
Kami sudah “gila” sebab memberanikan diri mengundang beliau untuk hadir berbicara hal kebangsaan “hanya” untuk sekitar 20-an peserta pelatihan. Kami yang dari antah berantah, beliau yang tokoh nasional.
Ah, yang penting kita dapat sowan beliau meski beliau (seandainya) menolak, batin saya. Lebih “gila” lagi, sebab undangan disampaikan hanya sekitar dua minggu menjelang hari H.
Siang itu saya meminjam mobil kijang milik bapak untuk ke Jombang bersama ketiga kawan saya, Rudi, Dining, dan Retno. Sebelum kami bertolak, mobil sudah sempat saya panaskan di depan rumah bapak yang bersebrangan dengan kebun milik tetangga.
Saat kami memasuki mobil, harum bunga sedap malam segera menyeruak seakan-akan ada yang menyajikan setumpuk petikan bunganya di depan hidung saya. Nyatanya ini juga terjadi pada yang lain meski di tengah siang yang terik.
Rudi segera komplain kepada saya tentang bau wangi menyengat ini. Saya pastikan kepadanya bahwa komplainnya sia-sia, sebab ini bukan hari Jumat yang biasanya saya kenakan parfum atau sejenisnya.
Entah Retno atau Dining menimpali bila kebun tetangga bisa saja memiliki bunga sedap malam. Inipun hanya tebakan sia-sia; tak ada pohon apalagi bunga sedap malam di kebun itu setelah kami amati dari dalam mobil yang masih tak beranjak.
Satu kemungkinan terakhir: mungkin bapak baru mencuci mobil dan membeli parfum baru. Juga sia-sia. Tak ada wujud parfum apapun, apalagi yang berbau sedap malam.
Pedal gas mobil saya injak perlahan memulai perjalanan menuju Tebuireng. Siapa tahu bau itu akan lalu. Kenyatannya, ia terus menetapi ruang di dalam mobil hingga kami sampai di Jombang, meski jendela kami buka sebab cuaca cukup panas dan kijang bapak tak ber-AC.
Salah satu dari kami bercanda dengan mengatakan bahwa ada sesuatu yang mengikuti mobil ini. Saya tak menghiraukannya meski bau sedap malam ini, setelah saya pikir-pikir lagi, jauh lebih segar ketimbang parfum manapun yang pernah saya gunakan. Justru bau itu kemudian berangsur-angsur menghilang saat kami sampai di gerbang pondok.
Kami segera menyampaikan kepada mas-mas santri yang sedang berjaga di samping ndalem beliau, persis di seberang masjid pondok sebelum kemudian kami diminta menunggu beliau di ruang tamu ndalem beliau. Bau sedap malam itu habis tak tersisa sejak sekitar setengah jam tadi, hanya untuk menyisakan kami semua kaget setengah mati di beberapa menit setelahnya:
Ruang tamu ndalem beliau berbau harum persis dengan bau yang telah menemani kami selama perjalanan ke Jombang ini. Dari tempat duduk masing-masing, kami semua mulai mencari-cari sumber bau itu sebelum kemudian Gus Sholah muncul dari balik gorden.
Kami segera berdiri. Saya mengecup punggung tangan beliau. Saya lanjutkan membalik tangan beliau untuk kemudian mengecup telapak tangan beliau. Bau sedap malam yang sama, malah lebih kuat, saya dapati pada tangan Gus Sholah!
Rudi yang berdiri di belakang saya kemudian turut menyalami beliau. Setelahnya, matanya melotot melihat saya yang berdiri menepi dengan keheranan.
Retno dan Dining melanjutkan, meski Gus Sholah mendekapkan kedua tangan di depan dada beliau, ketiganya berdiri dalam jarak cukup dekat untuk sama-sama mengendus hal yang telah membuat saya dan Rudi terheran-heran lebih dulu.
Untuk sekian detik kami saling menatap satu sama lain dengan pandangan keheranan, sebelum kami disadarkan dengan pertanyaan Gus Sholah mengenai tujuan sowan kami.
Dengan penuh kesadaran bila yang kami sowani saat itu adalah bukan sebatas tokoh nasional saja, namun juga pengasuh pondok Tebuireng, adik dari KH. Abdurrahman Wahid, putra dari KH. Abdul Wahid Hasyim, cucu dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, kami pun memberanikan diri menyampaikan surat undangan dari panitia.
Sowan hari itu kami tutup dengan ziarah ke makam sesepuh Tebuireng, tak jauh dari ndalem beliau.
Sepanjang perjalanan, saya berpikir bahwa sowan ke beliau hari itu sendiri sudah merupakan sebuah pengalaman fantastis. Kami pun maklum bila seandainya beliau berhalangan hadir sebab satu lain hal.
—–
Sebuah Toyota Land Cruiser putih memasuki lokasi parkir di sebelah gedung dimana pelatihan mahasiswa itu sedang berlangsung. Menepis semua dugaan kami, Gus Sholahlah yang kemudian turun dari mobil tersebut untuk memenuhi undangan kami.
—–
Bila ada yang kesulitan mempercayai kisah ini, sebagaimana saya sampaikan di awal, saya sungguh memahaminya. Betapa saya sendiri masih kesulitan untuk mencerna peristiwa ini, bahkan hingga wafatnya beliau hari ini.
Apalagi mengingat sekian tahun saya “dibesarkan“ dalam lingkungan satu cabang ilmu fisika yang mesti mengakrabi bahasa matematika, yang tak mengizinkan pemaknaan ganda bahwa satu ditambah satu, tidak bisa tidak, selalu sama dengan dua.
Maka, tidak bisa tidak, saya mesti percaya dan turut bersaksi bila Gus Sholah adalah seorang yang istimewa lagi sangat baik hatinya.
Sugeng tindak, Pak Puh…
Karlsruhe, 02.02.2020, 23:59
Yang tak berkesempatan untuk turut mengantar jenazah beliau
(Penulis adalah Ketua PCINU Jerman dan sedang mengambil program Doktor di Karlsruhe Institute of Technology)