Korelasi Aswaja Sebagai Manhaj Al-Fikr dengan Filsafat Stoikisme

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Mohammad Fariz Wahyu Abadi

Sudah saatnya kamu menyadari bahwa kamu memiliki sesuatu di dalam dirimu yang lebih kuat dan ajaib daripada hal-hal yang memengaruhimu layaknya sebuah boneka” – Marcus Aurelius (Meditations)

Belakangan ini Filsafat Stoikisme banyak diperbincangkan di sosial media karena dirasa filsafat ini sangat relate dengan kehidupan masa kini dimana filsafat ini berhubungan dengan pengendalian diri. Terlebih lagi semenjak munculnya buku “Filosofi Teras” Filsafat Stoikisme makin banyak diperbincangkan dan dipraktekan oleh para pembacanya.

Melihat filsafat ini ramai diperbincangkan, penulis mencoba untuk mempelajarinya karena beberapa alasan salah satunya; karena penulis hampir mengalami depresi karena terlalu cemas berlebihan dan selalu mengutuk diri terhadap apa yang sudah terjadi pada kehidupan penulis. Oke, karena penulis tidak ingin curhat panjang lebar, langsung saja kita masuk pada pembahasan.

Disclaimer tulisan ini adalah opini pribadi penulis yang diharapkan bisa bermanfaat terhadap pembaca terkhusus generasi muda Nahdlatul Ulama.

Melihat dari sejarah filsafat ini adalah aliran Filsafat Yunani-Romawi kuno yang sudah berusia lebih dari 2.000 tahun. Untuk mengetahui sejarah lebih lanjut saat ini sudah banyak kita temukan di Internet.

Pada dasarnya aliran filsafat ini bukanlah sebuah agama atau kepercayaan, akan tetapi filsafat ini melengkapi cara kita dalam menjalani kehidupan beragama dan bersosial. Semakin kita pelajari filsafat ini, akan banyak kita temukan ajaran dan nilai-nilai universal yang acap kali kita dengar dalam ajaran agama. Tujuan utama dari filsafat ini adalah hidup dengan emosi negatif yang terkendali, senantiasa hidup dengan kebajikan, dan bagaimana kita hidup sebaik-baiknya seharusnya kita menjadi manusia.

Masuk pada topik tentang korelasi Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr dengan Filsafat Stoikisme, setelah penulis membaca buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring yang menjelaskan tentang bagaimana praktek filsafat stokisme dalam kehidupan. Saya menemukan sebuah penjelasan dari tujuan utama filsafat ini, yang ingin dicapai oleh Stoikisme adalah yang pertama kita dapat hidup bebas dari emosi negatif (sedih, marah,cemburu,curiga,baper, dan lain-lain) untuk mendapatkan hidup yang tenteram dengan memfokuskan diri pada hal yang dapat kita kendalikan, kedua stoikisme mengajarkan hidup untuk mengasah kebajikan.

Menurut Stoikisme ada empat kebajikan utama. Pertama, Kebijaksanaan (wisdom). Kedua, Keadilan (justice). Ketiga, Keberanian (courage). Keempat, Menahan diri (temperance)_dapat kita temukan pada halaman ke-23 pada buku Filosofi Teras).

Dari empat kebajikan utama diatas penulis teringat Manhaj Al-Fikr Ahlussunnah Waljamaah sebagai transformasi sosial yang berpegang pada prinsip-prinsip aswaja yaitu, Tawasuth (Moderat), Tawazun (Keseimbangan), Ta’adul (Netral), dan Tasamuh (Toleran).

Coba kita uraikan dari kedua prinsip diatas, berdasarkan empat kebajikan utama dalam Stoikisme.

Kebijaksanaan disini adalah kemampuan mengambil keputusan terbaik dalam situasi apapun selaras dengan prinsip Aswaja yaitu Tawazun yang berarti keseimbangan, kedua prinsip ini mengajarkan kita untuk bersikap bijaksana dalam menimbang pengambilan sebuah keputusan.

Keadilan disini berarti memperlakukan orang lain dengan adil dan jujur tentu selaras dengan prinsip Aswaja Ta’adul yang berarti netral atau dalam Bahasa Arab Ta’adul berarti bersikap adil, kedua prinsip ini mengajarkan kita untuk selalu bersikap adil dalam berkehidupan sosial.

Keberanian disini adalah keberanian untuk berbuat yang benar sesuai dengan prinsip, coba kita sandingkan dengan sikap Tawasuth atau moderat. Tawasuth atau moderat sendiri memiliki arti berada di tengah-tengah terhadap suatu perbedaan pendapat akan tetapi moderat disini tetap memiliki batasan selama perbedaan tidak sampai pada jalur penyimpangan, jika terdapat sebuah pendapat yang menyimpang maka harus ada keberanian untuk berbuat benar yang tentunya dalam pengambilan keputusan harus bijaksana sebagaimana prinsip yang sudah dijelaskan diatas.

Menahan diri disini berarti sikap pengendalian diri dari nafsu dan emosi, selaras dengan sikap Tasamuh atau toleran dimana kita diajarkan untuk bersikap toleran dan selalu menahan diri dari emosi negatif terhadap sesuatu yang terjadi dalam kehidupan.

Dari uraian diatas penulis berpikir manhaj al-fikr Aswaja adalah sebuah metode pakem dalam kehidupan yang berkebajikan dan tentunya sebagai generasi muda Nahdlatul Ulama kita harus mempraktekan, melestarikan hingga menularkan metode ini terhadap generasi milenial lainnya.

Prinsip-prinsip diatas jika kita pelajari lebih dalam mengajarkan kita tentang bagaimana mengendalikan diri dari emosi negatif dan bertindak semaunya agar menjadi sebaik-baiknya manusia.

Akhir kata penulis ada satu perkataan dari Marcus Aurelius seorang kaisar juga sebagai seorang filsuf stoa yang menjadi motivasi saya untuk memahami esensi dari hidup di dunia hanyalah untuk melakukan kebaikan dan mengumpulkan bekal untuk hidup yang kekal di akhirat kelak.

“Pada saatnya kamu akan melupakan segalanya. Dan akan ada saatnya semua orang melupakanmu. Selalu renungkan bahwa akhirnya kamu tidak akan menjadi siapa-siapa, dan lenyap dari Bumi” – Marcus Aurelius (Meditations).

 

diunggah oleh:

Picture of Dadie W Prasetyoadi

Dadie W Prasetyoadi

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »