ASWAJADEWATA.COM |
“Saya tahu sebagian saja (amalan tarekat),” kata Martin van Bruinessen merendah. Tetapi, penjelajahannya berpuluh-puluh tahun di pusat-pusat tarekat di Turki, Irak, Syria, Iran, dan Indonesia, menunjukkan ketekunannya meneliti gerakan tarekat. Langkah kakinya ke pusat-pusat tarekat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, juga tak lagi terhitung. Dia bergaul dengan para pemimpin tarekat (syekh atau khalifah) dan guru-guru pembimbing (mursyid). Tak mengherankan jika van Bruinessen fasih bicara menyangkut tarekat Naqsabandiyah, Khalwatiyah, Syattariyah, Syadziliyah, Qadiriyah, Maulawiyah, Bektasyiyah, Idrisiyah, Tijaniyah, Ahmadiyah, Rifa’iyah, dan lain-lain. Ia pasti tak asing dengan tarian sufi para darwis yang berputar-putar (sama’) warisan Jalaluddin Rumi.
Lahir di Schoonhoven Belanda pada 1946. Prof. Martin Van Bruinessen Belajar Fisika teoritis dan Matematika di Universitas Utrecht. Pada 1978 ia berhasil mempertahankan disertasi doktornya, Ahha, Shaikh and State, hasil penelitian tentang gerakan sosial keagamaan minoritas Kurdi di Turki, Iran dan Irak. Dari pergumulannya dengan masyarakat Kurdi inilah yang mengantarkan Martin mengenal Islam terutama pada sisi spritualnya. Dan akhirnya membawa Martin untuk mengakui kebenaran Islam.
Semenjak masuk Islam, Martin yang pernah menjadi dosen tamu di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta (1991-1993) ini terus menggerus keislamannya melalui penelaahan terhadap khazanah keislaman. Ibarat seorang Socrates yang selalu “gerah” dengan kebenaran, dalam pengembaraannya, Martin dapat memasuki wilayah kedalaman kebenaran, karena ia telah melampaui sekat-sekat logika yang parsial, menukik misteri kalbu, menyibak semesta keilahian. Akhirnya Martin memilih sufistik sebagai jalannya.
Ketika dicekal di Turki, Iran dan Irak, Martin mulai memasuki Indonesia sejak 1980 dan langsung jatuh cinta dengan negeri ini. Martin yang kritis dan suka meneliti seolah menemukan lahannya di negeri yang pernah dijajah negeri kelahirannya, Belanda. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang rupanya telah menyimpan berbagai masalah dan tantangan. Mulailah ia meneliti kemiskinan kota dan gerakan Islam. Penelitian ini mengantarkan Martin pada 1986 – 1990 menjadi konsultan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk sebuah penelitian besar tentang pandangan hidup ulama Indonesia. Aktif di LIPI membuat Martin Van Bruinessen lebih jauh mengenal Islam tradisional (NU), setelah sebelumnya berkenalan dengan kalangan Islam modernist.
Islam di Indonesia mengguratkan dinamika yang menarik terutama menyeruaknya hubungan tarik ulur antara Islam tradisional dan Islam modernis. Selain itu, yang menarik perhatiannya juga tentang sufistik, khususnya yang sudah berkecambah sejak munculnya kerajaan Islam, zaman penjajahan Belanda hingga sekarang. Bahkan telah merambah dalam masyarakat Indonesia modern.
“Perkenalan saya dengan Islam tradisional berawal ketika saya bekerja di LIPI sebagai konsultan metodologi penelitian dan ikut terlibat dalam sebuah proyek penelitian tentang pandangan hidup ulama. Selama berlangsungnya proyek ini saya mengunjungi banyak pesantren dan madrasah serta bertemu dengan banyak ulama, baik tradisionalis maupun modernis.” Demikian dituturkan Martin dalam bukunya yang bertajuk “NU Tradisi: Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru” yang diterbitkan LKiS.
Penulis: Dadie W. Prasetyoadi
(Artikel ini diambil dari berbagai sumber)