Tuesday 23rd April 2024,

Mengapa Pada Jaman Kerajaan Di Bali Tidak ada Pondok Pesantren ?

Mengapa Pada Jaman Kerajaan Di Bali Tidak ada Pondok Pesantren ?
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: H. Bagenda Ali

Pada zaman kerajaan dahulu sekitar abad ke XVII sampai abad XIX di Bali itu memang tidak ada satu pun berdiri Pondok Pesantren seperti halnya yang ada di pulau Jawa dan di pulau Madura. Hampir semua daerah kewedanan di Jawa dan Madura di jaman itu menurut sejarah telah berdiri pondok-pondok pesantren yang semuanya didirikan oleh para ulamanya.

Dari segi jumlah komunitas penduduk memang di pulau Bali sejak awal ummat Islam adalah ummat yang minoritas itupun keseluruhannya adalah ummat Muslim pendatang baik dari Jawa maupun Dari Sulawesi dan memang pendatang dari Sulawesi ( Suku Bugis Makassar ) yang menjadi pendatang mayoritas dan dominan. Perkampungan mereka pun umumnya mengintari Pulau Bali dari segala sisi baik di titik bagian timur, selatan, barat dan utara tentunya mereka bertempat di daerah-daerah pesisir karena mereka umumnya adalah pedagang /pelaut.

Ada beberapa sebab kenapa tidak ada satupun berdiri pondok pesantren di Bali pada zaman dahulu kala itu. Perlu diketahui bawah sanya pada zaman kerajaan dahulu memang sudah ada komunitas muslim di Bali dan juga di tengah-tengah masyarakat muslim tersebut sudah ada ulamanya yang kapasitas keilmuannya juga sudah mumpuni layaknya ulama-ulama yang ada di pulau Jawa dan pulau Madura. Ulama ulama ini juga pada dasarnya justeru merupakan alumni / murid atau bahasa kerennya “SANTRI” dari ulama ulama tersohor di tanah Jawa maupun Madura.

Mereka para ulama suku Bugis-Makassar yang ada di Bali ini bukannya tidak melaksanakan dakwah dan pembelajaran agama “Transfer Knowledge” untuk mengamalkan ilmu-ilmu agama yang telah mereka dapatkan itu kepada umumnya masyarakat Muslim di Bali khususnya kepada para generasi mudanya sehingga tentu akan terjadi distorsi keilmuan mereka dari generasi ke generasi jika tidak dilaksanakan, tetapi karena adanya faktor tradisi keilmuan yang melatar belakanginya yang sedikit beda dengan tradisi keilmuan di tanah Jawa dan Madura.

Memang pada dasarnya Ulama-Ulama keturunan Bugis-Makassar maupun Melayu yang menjadi mayoritas masyarakat muslim di Bali ketika itu tidak membudaya dalam tradisi keilmuan mereka menggunakan metode pendidikan keagamaan dengan sistem “Pesantren” oleh karena sistem Pesantren itu adalah budaya Ulama pada Masyarakat Jawa dan Madura dari hasil akulturasi budaya mereka dengan budaya Hindu Bali (Pasraman) suatu tradisi Hindu dari Jaman Majapahit sebagaimana yang telah dirintis / diadopsi sebelumnya oleh para Wali Songo pada abad ke XVI di tanah Jawa.

Dari aspek etimologi bahasa kata “Pesantren” itu sendiri terdiri dari kata “santri” dengan imbuhan “pe-an” yang mengandung pengertian tempat tinggal para santri demikian menurut Sulaiman (2016). Adapun menurut sebagian ahli, sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofir dalam bukunya Tradisi Pesantren (1985), bahwasanya kata santri itu diambil dari bahasa Tamil yang berarti “guru ngaji”, dan berasal dari istilah “shastri” yang dalam bahasa India dipahami sebagai “Orang yang banyak tahu buku-buku suci agama Hindu” atau “seorang sarjana ahli kitab agama Hindu”.

Demikian pula Istilah “Santri”, menurut pendapat itu, diambil dari salah satu kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu Sastri yang memiliki arti “Melek huruf” atau “bisa membaca”. Versi ini sesuai dengan pendapat C.C. Berg ( Sejarawan keturunan Belanda) yang menyebut istilah “santri” berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti “orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama Hindu”.

Budaya pendidikan agama yang digunakan / diwariskan oleh Ulama-Ulama suku Bugis-Makassar maupun Melayu adalah sistem “Pengajian duduk” di tempat kediaman Ulama maupun di Mushollanya (Istilah Bungisnya Mangngaji Kampong). Yaitu sistem dengan cara warga kampung ( murid ) mendatangi rumah Ulama dalam waktu-waktu tertentu untuk menerima pelajaran dari ulama setempat dan tidak “menampung inap” para muridnya /santrinya beda dengan yang dikenal di Jawa dan Madura dengan pondok pesantren termasuk dalam istilah “Santri” pun dalam bahasa Bugis maupun Makassar-nya adalah “Anak Guru” sedangkan Kiyai dalam tradisi Bugis Makassar disebut ” Gurutta” atau Tuanta’ ( Guru kita ) atau ada yang menyebut “Annanggurutta” itulah sebabnya “Pondok Pesantren” pada awalnya tidak dikenal dalam tradisi pendidikan agama pada Suku Bugis-Makassar juga Melayu dan hanya Mengenal istilah “Mangngaji Tudang” ( Mengaji duduk di depan seorang guru) mirip dengan istilah “Sorogan” dalam tradisi pengajian Pesantren sekarang. Mereka para Guru / Ulama’ tidak menampung inap murinya di suatu pondokan /asrama milik dan oleh gurunya. Itulah sebabnya maka di Bali ketika jaman dahulu kala itu tidak ada satupun Pondok Pesantren berdiri oleh karena ulamanya memang tidak mewariskan tradisi Pesantren dan hanya mewariskan tradisi nenek moyangnya “Mengaji Duduk” dan tidak mengenal istilah ‘Pondok Pesantren”.

Hal ini bisa kita buktikan dalam perjalanan sejarah Muslim di Bali khususnya Jembrana bahwa semenjak abad ke XVIII di kampung muslim Loloan sudah menjadi gudangnya ulama-ulama ternama di jamannya tapi kita tidak pernah membaca adanya berdiri satu pun pesantren di situ kecuali rumah sang guru tempat mereka mengaji duduk untuk belajar tentang berbagai ilmu dan kitab “gundul” yang mereka pelajari. ( Meskipun ada pesantren yang berdiri di situ akan tetapi sudah berada di abad ke XX di mana di jaman itu sudah ada di mana mana berdiri Pesantren dan sudah melembaga di masyarakat Indonesia).

Kelemahan dari sistem “Ngaji Duduk” ini adalah ketika Ulama yang bersangkutan
meninggal dunia / wafat maka tentu santri-santrinya tidak akan bertahan lagi menetap di tempat itu apalagi tidak ada generasi penerus guru / ulama yang bersangkutan. Hal ini kita bisa saksikan para ulama kenamaan suku Bugis / Makassar di Sulawesi-Selatan dan Barat sekarang pada jaman kerajaan dulu yang kebanyakan tidak meninggalkan jejak keilmuan secara turun temurun kecuali sedikit dari karya kitab kitabnya yang telah beliau tulis saja sesuai dengan keilmuan dan kebesarannya sebagai Guru dan sebagai Waliyullah. misalnya Syekh Yusuf Al Makassari dari Gowa, KH. Muhammad Thohir Imam Lapeo dari Pambusuang Polman, Syekh Muhammad Shiddiq Japin-japin, Pangkep, guru dari Raja Bone Andi Mappanyukki dan lainnya.

Sebaliknya kelebihan dari sistem ke-Pesantren-an pada Masyarakat Jawa dan Madura yang diterapkan oleh mereka yang kemudian menjadi faktor utama survivalnya dan tidak rapuhnya serta tak lekang oleh perputaran zaman dan tak surut oleh pergeseran waktu oleh karena sistem Kepemimpinan Pesantren yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Kepemimpinan yang diwariskan mereka yang secara turun temurun sehingga mereka bisa berkesinambungan dalam perjalanan sebuah Pesantren dan santrinya serta dapat menjelajah ke beberapa abad sampai sekarang. Seperti halnya pesantren tertua di Indonesia yang berdiri di abad ke XVIII misalnya Ponpes Sidogiri Pasuruan Jatim berdiri di tahun 1745, dan Ponpes Jamsaren Surakarta Jateng berdiri di tahun 1750 dan Ponpes Miftahul Huda Gading Malang Jatim berdiri di tahun 1768. Semuanya masih eksis sampai hari ini berarti usianya sudah mencapai sekitar 275 tahun hampir tiga abad.

Itulah sebabnya maka sebagai produk budaya lokal nasional masyarakat Jawa, Prof. Dr. Hamka tidak setuju jika pengertian “Pesantren” diidentikkan dengan pengertian “Ma’had” yang dikenal di Timur Tengah atau “Boarding School” ( sekolah 24 jam ) di dalam sistem pendidikan Barat oleh karena dua istilah ini tidak bisa merefresentasikan sepenuhnya pengertian nilai yang terdapat dalam pengertian “Pesantren” sebagai Produk Budaya Jawa ( rintisan Walisongo). Dan itu pula bagian dari keunggulan Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama berciri khas Indonesia dibanding dari dua pengertian Lembaga Pendidikan Asing di atas.

Bahkan KH. Abdurrahman Wahid /Gusdur pun pernah mengatakan bahwa “Pesantren” itu adalah sebuah “Lembaga Subkultur” dalam sebuah Kultur dan bisa diibaratkan sebuah “kerajaan” kecil dalam suatu kerajaan besar oleh karena Pesantren memiliki otoritas sistem yang mutlak seperti halnya sebuah kerajaan. Ada Kepemimpinan berikut perangkat perangkatnya , sistem sosial hubungan antar mereka ( Kiyai dan santrinya), tradisi nilai ketatakramahan dan tutur bahasa yang digunakan dan seterusnya persis seperti halnya sistem kekuasaan dan nilai yang berlaku di sebuah tradisi kerajaan di tanah Jawa dan Madura.

Kelebihan Sistem Pendidikan Pesantren ini juga bisa berinovasi dan berinteraksi dengan pendidikan klasikal (peninggalan Belanda) dan dalam status ke-Santri-an yang meskipun mereka menerima pendidikan umum layaknya pendidikan klasikal formal ( Pendidikan Formal umum di Pesantren ) akan tetapi mereka juga sekaligus berstatus sebagai “Santri” sehingga bisa bertahan sampai sekarang.
Wallahu’a’lam Bis Shawab

Selamat Memperingati Hari Santri ke 5 tahun 2020 Semoga “PESANTREN DAN SANTRI” tetap Jaya dan tetap di depan dalam mengawal perjalanan NKRI dan PANCASILA Amin …

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »