ASWAJADEWATA.COM |
Sejauh yang bisa ditelusuri, belum ada pihak yang menuliskan secara utuh sejarah NU di Buleleng dan juga Bali secara keseluruhan. Tentu ini sedikit menyulitkan untuk menelusurii secara pasti terkait berdirinya dan perkembangan NU di Bali.
Namun, beberapa waktu lalu ditemukan sebuah skripsi dari mahasiswa sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Udayana dengan judul Perkembangan Nahdlatul Ulama di Bali (1952-1973). Skripsi ini ditulis pada 1987 dengan mengambil objek penelitian di tiga kabupaten, yakni Buleleng, Jembrana dan Badung.
Meski melakukan penggalian data di tiga kabupaten, I Wayan Suardika yang merupakan penulis Skripsi ini lebih banyak melakukan penelitiaannya di Kabupaten Buleleng. Ini bisa dilihat dari banyaknya narasumber dan lampiran beberapa dokumen dan foto yang hampir semua didapat di Buleleng.
Dari sini kemudian disebutkan berdirinya NU di Buleleng setelah kedatangan KH Abdul Wahab Hasbullah yang datang langsung ke Singaraja (ibu kota Kabupaten Buleleng), yang saat itu menjadi ibu kota Provinsi Sunda Kecil. Tidak disebutkan secara pasti tahunnya, berdasarkan wawancaranya, Suardika hanya menulis kedatangan salah satu pendiri NU itu ke Singaraja pada 1950-an.
Dituliskan, kedatangan Kyai Wahab ke Singaraja untuk menemui salah satu tokoh sentral umat Islam Buleleng saat itu, yakni KH. Murtadlo. Kedatangan ini tentu upaya Kyai Wahab memperkenalkan NU secara organisasi, karena secara amaliah keagamaan masyarakat Islam di Buleleng sangat dekat dengan tradisi keagamaan ala Ulama Pesantren.

Masih minim informasi KH Murtadlo ini menimba ilmu agama dimana, namun yang pasti saat itu banyak yang belajar agama ke beliau. Salah seorang putri KH Murtadlo, Izzah yang kini telah berusia 75 tahun menceritakan sosok bapaknya kerap dikunjungi banyak orang untuk bertanya soal berbagai hukum agama. Ia yang lahir tahun 1948 itu masih ingat rumah yang ditempatinya sekarang merupakan langgar tempat mengaji dan menginap santri yang datang dari berbagai tempat, seperti dari Jembrana dan Lombok.
Mak Izzah, begitu saya memanggilnya saat ditemui dirumahnya pada Rabu (11/1/2023) tidak tau persis KH. Murtadlo mondok dimana. Hanya saja ia pernah dapat cerita langsung dari bapaknya jika pernah belajar di Madinah. Ia pun menceritakan kedekatan KH. Murtadlo dengan Habib Ali Bafaqih Jembrana yang merupakan santri Syechona Kholil Bangkalan.
Lalu siapa yang menyaksikan kedatangan Kyai Wahab datang ke Buleleng? Dalam skripsi itu ditulis berdasarkan kesaksian Guru Affandi, salah seorang tokoh agama asal Desa Pegayaman Kecamatan Sukasada Buleleng.
Guru Affandi diwawancara oleh Suardika pada 10 Juni 1987 dalam usia 66 tahun saat itu. Tidak dituliskan kemana dan apa saja yang dibicarakan Kyai Wahab, hanya saja ia menyaksikan kedatangan Kyai Wahab ke Singaraja disambut langsung oleh KH. Murtadlho.
Sosok Guru Affandi sendiri dalam catatan skripsi itu dituliskan pada tahun 1935 pernah mondok di Jombang Jawa Timur. Untuk memastikan informasi tersebut, saya menemui Siti Warokatun (50) salah satu putri Guru Affandi pada 3 Desember 2022 di Pegayaman.
Dari pertemuan itu diketahui bahwa Guru Affandi memang benar mondok di Jombang, tepatnya di Pesantren Tebuireng dibawah asuhan langsung Hadratussyeih KH. M Hasyim Asy’ari. Bahkan secara khusus, putri Guru Affandi itu menceritakan Kyai Hasyim pernah mengirim surat ke bapaknya. Surat itu dilihat langsung oleh Siti Warakatun, namun pasca wafatnya Guru Affandi pada tahun 1991, surat itu tidak ditemukan. Dari sini juga bisa jadi Guru Affandi sebelumnya sudah mengenal sosok Kyai Wahab saat mondok di Jombang.
Sementara kapan NU di Buleleng berdiri? Sayangnya Suardika salah menyimpulkan tentang berdirinya NU di Bali Utara ini. Ia menulis NU di Kabupaten Buleleng berdiri pada tahun 1952 dengan ketua pertamanya KH. Ali Mansur. Kesalahan ini bisa dimaklumi karena hampir semua sumber yang digunakan Suardika berdasarkan wawancara, dan minim dokumen. Setiap narasumber yang dimintai keterangan mengatakan banyak dokumen yang hilang karena berpindah pindanya sekretraiat NU.
KH. Ali Mansur sebenarnya bukan menjadi Ketua PCNU Buleleng, tapi pada saat itu beliau menjadi Ketua Konsul NU Wilayah Nusa Tenggara yang berkedudukan di Singaraja. KH Ali Mansur yang juga pencipta Sholawat Badar ini sukses mengenalkan dan membawa NU pada kontestasi Pemilu 1955 di wilayah kepemimpinannya. Iapun terpilih menjadi Anggota Konstituante dari daerah Pemilihan Bali-Nusra. Sebelum ditugaskan di Singaraja pada 1954 oleh Kementerian Agama, KH Ali Mansur ditugaskan di Sumbawa.
Teka-teki berdirinya NU di Bali Utara ini mendapat titik terang, ketika saya menemukan surat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) bernomor 5989/Tnf/V/’54 tertanggal 15 Mei 1954, tentang pengesahan berdirinya “Tjabang Nahdlatul Ulama Singaradja”.
Dalam surat PBNU tersebut juga disahkan kepengurusan pertama, dimana KH. Murtadlo ditunjuk sebagai Rois Syuriah dan R.H Moh. Kamil sebagai Ketua Tanfidziah.
Bersedianya KH Murtadlo masuk dalam kepengurusan NU membuktikan kualitas kepiawaian Kyai Wahab untuk meyakinkan orang lain. Karena pada saat itu tidak mudah meyakinkan untuk bergabung ke NU yang baru saja keluar dari Partai Masyumi, sementara NU mengambil jalannya sendiri menjadi Partai yang siap berkontestasi pada Pemilu 1955, Pemilihan Umum pertama di Republik ini.
Penulis: Abdul Karim Abraham
Artikel ini telah dimuat di NUOnline