ASWAJADEWATA.COM | BULELENG
Keberadaan umat Islam di Desa Pacung Kecamatan Tejakula Buleleng ini sempat pasang surut. Pada tahun 1980an akhir, hanya tersisa 3 KK. Puluhan KK meninggalkan Pacung karena alasan faktor ekonomi dengan kondisi geografis yang tandus dan kering kerontang.
Pak Syamsudin (55), tokoh masyarakat yang kita temui di pelataran Masjid Arrahmah menceritakan awal mula masuknya Islam di Pacung. Menurutnya, Muslim Desa Pacung berasal dari Karangasem.
Dulunya, puluhan KK yang pindah ke Pacung ini adalah abdi Puri Karangsem. Mereka memilih pindah setelah sistem kerajaan di Karangasem bubar, atau saat puri tidak berkuasa penuh setelah dikuasai penjajah Belanda.
Kendati menjadi abdi Puri di Kerajaan yang bercorak Hindu, mereka sebenarnya berasal dari Lombok yang sejak awal sudah beragama Islam. Kerajaan Karangasem pada pertengahan abad ke 19, atau mulai tahun 1839, berhasil menguasai Lombok.
Dari sini banyak penduduk Lombok, atas perintah Raja dibawa ke karangasem dengan berbagai tugas kerajaan, abdi dalem dan salah satu tugas intinya menjadi pasukan perang. Maka tak heran hingga kini kita bisa melihat banyak kampung kampung Islam di Karangasem, penduduknya masih menggunakan bahasa keseharian menggunakan bahasa sasak Lombok.
Karena tidak lagi menjadi abdi puri, nasib mereka tidak menentu. Mereka sulit beraktifitas karena kehilangan perlindungan dari Puri. Menurut Pak Syamsudin, ada sekolompok perusuh yang sering mengganggu, seperti mencuri barang dan hewan ternak yang dimiliki.
Dalam kondisi yang tidak kondusif inilah, mereka memutuskan untuk cari tempat tinggal baru di luar Karangasem. Dalam pencarian tempat ke arah barat, mereka lebih memilih menyepi dari pusat keramaian dan mencari lahan kosong. Akhirnya pada tahun 1924, mereka memutuskan untuk tinggal di perbukitan, kurang lebih 83 Kilometer dari pusat Karangasem, yang kini secara administrasi masuk Desa Pacung.
Ditahun-tahun awal mereka membuka lahan, mereka bertani dengan menanam berbagai macam tanaman. Hanya saja, semakin lama tanah yang ditempati mengalami kekeringan sehingga menyulitkan untuk mendapat penghasilan. Bertani hanya mengandalkan musim hujan dengan menanam jagung dan ubi.
Belum lagi, satu satunya air bersih yang tersisa ada di bibir pantai, yang jaraknya sekitar 3 kilometer. Dengan kesulitan itu, mereka semua memutuskan untuk pindah ke tempat yang lebih rendah, yang lahan itu ditempati sampai sekarang. Jarak ke pantai tidak sampai 1 kilometer, tapi tetap di perbukitan.
Pak Syamsudin mengingat masa masa itu sangat sulit, meski dia masih remaja tapi ia bisa merasakan kesulitan berkembang, utamanya penghidupan ekonomi. Kemudian pada pertengahan tahuan 1980an, pemerintah menawarkan program transmigrasi ke luar pulau, dengan iming iming diberikan jatah garapan 2 hektar, pekarangan 25 are, dan dijamin kebutuhannya selama 2 tahun.
Kala itu, tentu tawaran ini menjadi solusi ditengah kesusahan penghidupan, dan dengan terpaksa mereka meninggalkan Desa Pacung. Pemberangkatan transmigrasi ini ada beberapa tahapan. Tahapan pertama 25 KK menuju Kalimantan Selatan, tahapan kedua 20 KK ke Kalimantan Tengah, tahap 3 sebanyak 20 KK ke Sulawesi, hingga tersisa 3 KK.
Pak Syamsudin mengaku, kala itu dia cukup dilema, karena tawaran pemberangkatan tahap selanjutnya untuk tujuan Sumatera sempat memutuskan untuk ikut. Ia sudah mengemas barang siap berangkat, bus sudah menunggu di jalan raya. Dengan banyak pertimbangan, utamanya keberadaan Masjid Ar Rahmah yang tentu akan ditinggalkan kosong, akhirnya 3 KK termasuk Pak Syamsudin, memutuskan untuk tidak berangkat.
Dari 3 KK Muslim yang tersisa ini semakin hari, semakin bertambah. Selain karena perkawinan, juga karena peluang ekonomi yang semakin terbuka dengan cara berdagang, karena desa Pacung semakin ramai dikunjungi dengan wisata pantai di pinggir jalan raya. Sebagian ada yang menjadi nelayan, sebagian lagi menjadi kuli bangunan. Muslim yang datang ke Pacung pasca ditinggal warganya transmigrasi ini, rata rata masih kerabat yang sebelumnya mereka masih tinggal di Karangasem.
Akhirnya sekarang sudah ada 41 KK, yang kebanyakan mereka tinggal di sekitar Masjid. Sudah ada sumur bor, yang ini mempermudah kebutuhan keseharian masyarakat. Semuanya sudah dapat dijalani dengan mudah, hanya saja untuk anak anak sekolah masih cukup jauh. Satu satunya Madrasah Ibtidaiyah di Kecamatan Tejakula ada di Desa Tembok, yang jaraknya 20 Kilometer. Tapi belakangan sudah ada mobil sekolah, yang setiap pagi menjemput anak anak di Desa Pacung.
Jika tertarik ingin mengunjungi komunitas Muslim di Desa Pacung ini, sebagai patokannya Pura Ponjok Batu, yang jaraknya sekitar 25 Kilometer ke arah timur Kota Singaraja. Tepat diseberang Pura, masuk ke selatan sekitar 200 meter menanjak perbukitan sedang, kemudian belok kiri dengan petunjuk plang masjid sederhana, masuk jalanan gang kurang lebih 100 meter. Dari sini dengan jelas tampak bangunan masjid dan rumah rumah yang mengelilinginya, dan jika melihat ke arah utara, terlihat jelas pemandangan laut dan hamparan ladang dibawah pemukiman.
Penulis: Abdul Karim Abraham