Saturday 27th April 2024,

Asal Usul Tradisi Kitab Kuning Pesantren Di Nusantara

Asal Usul Tradisi Kitab Kuning Pesantren Di Nusantara
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Pesantren dalam wujudnya memiliki rentetan sejarah yang sangat panjang dan melewati berbagai dinamika, hingga pada akhirnya pesantren sekarang memiliki sistem pengajaran yang dikenal dengan nama pengajian kitab kuning. Selain itu, juga mampu menyerap sejumlah inovasi secara berangsur-angsur selama beberapa abad lampau. Atas dasar kemampuan yang amat dinamis untuk tetap hidup maka dengan demikian pesantren memiliki keunggulannya sendiri yang berbeda dari tempat lainnya. Bagian ini penulis akan memeriksa asal-usul tradisi kitab kuning pesantren di nusantara dan sekaligus melihat keberadaan yang sesungguhnya dari fungsi inti tradisi tersebut dalam kehidupan pesantren.

Kitab kuning adalah kitab literatur yang berisi referensi Islam yang tertuang dalam bahasa Arab klasik meliputi berbagai bidang studi Islam seperti Al-Quran, Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadits, Ilmu Hadits, Fiqih, Ushul Fiqih, Aqidah Fiqih, Tauhid, Ilmu Kalam, Nahwu dan Sharaf atau ilmu lughah termasuk Ma’ani Bayan Badi’ dan Ilmu Mantik, Tarikh atau sejarah Islam Tasawuf, Tarekat, dan Akhlak, dan ilmu-ilmu apapun yang ditulis dalam Bahasa Arab tanpa harokat, mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas “kekuning-kuningan”, yang biasanya dipelajari terutama di pesantren. Kitab Kuning dalam pesantren berjalan dalam siklus yang tetap dengan mengembang-menyempit, berputar dan berulang. Beberapa kitab kuning yang sering dijumpai diberbagai pesantren di Indonesia misalnya, dalam fiqh: at-Taqrîb, Fath alQarîb, karya Al-Bâjûri, Qurrah al-‘Ayn, Fath al-Mu’in, I’ânah ath-Thâlibîn atau Nihayah az-Zayn. Contoh dalam bidang nahwu adalah; al-Ajurumiah, al- ‘asymawi, ad-dahlan, al-karawi, al-mutammimah,al-’imrithî hingga alfiyyah Ibn Malik dan Ibn aqil.

Kitab kuning sebagai literatur keislaman dalam konteks pesantren menjadi salah satu sistem nilai dalam kehidupan pesantren. Karena itu, pembelajaran dan pengkajian kitab kuning menjadi nomor satu dan merupakan ciri khas dari pondok pesantren. Kitab kuning menjadi sesuatu yang substansial sebagai rujukan. Metode yang digunakan dalam pengajaran kitab kuning yaitu dengan sorogan dan bandongan. Kritik terhadap kitab kuning perlu dilakukan agar pemahaman terhadap konteks kekinian atau kesesuaian masalah terhadap zamannya bisa diterapkan.

Menurut Matushu (1994:6). Sistem individual dalam sistem pendidikan Islam tradisonal disebut dengan sistem sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qur’an. Santri membacakan kitab kuning dihadapan kyai-ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahwu dan Shorf). Sorogan artinya belajar secara individu dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya, sedangkan Winarmo mengatakan (1979:85) bahwa metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren yaitu sistem bandongan atau seringkali disebut sistem weton. Secara etimologi dalam kamus besar bahasa Indoensia, bandongan diartikan dengan pengajaran dalam bentuk kelas. Dalam sistem ini sekelompok santri (yang terdiri 5 sampai 100) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali dengan mengulas buku-buku Islam dala m bahasa Arab.

Pesantren dan kitab kuning adalah dua sisi yang tak terpisahkan dalam keping pendidikan Islam di Indonesia. Sejak sejarah awal berdirinya, pesantren tidak dapat dipisahkan dari literatur kitab karya pemikiran para ulama salaf. Boleh dibilang, tanpa keberadaan dan pengajaran kitab kuning, suatu lembaga pendidikan tak absah disebut pesantren. Begitulah fakta yang mengemuka di lapangan. Abdurrahman Wahid dalam konteks ini meneguhkan dengan menyatakan, kitab kuning telah menjadi salah satu sistem nilai dalam kehidupan pesantren. (Abdurrahman Wahid, 1985).

Mengutip pernyataan Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. bahwa Kitab kuning adalah istilah yang sangat khas pesantren di Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren telah didefinisikan bahwa kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di pesantren. Sebagai sistem pengetahuan di pesantren, eksistensi kitab kuning sudah ada sejak abad 1-2 Hijriyah yang kemudian berkembang hingga sekarang. Tradisi literasi keislaman ini mampu tetap bertahan sebab ia memiliki khazanah keilmuan yang sangat luas. Selama ini kitab kuning berkaitan erat dengan pendidikan pesantren karena pesantren merupakan pendidikan keislaman yang di situ harus ada sumber dan rujukan yang otoritatif, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Sumber otoritatif ini kemudian dielaborasi lagi secara lebih dalam, luas, dan spesifik, sehingga menghasilkan karya yang disebut kitab kuning. Dengan kata lain, kitab kuning juga bisa disebut hasil karya dari ijtihad para ulama dalam berbagai macam bidang keilmuan.

Peranan kitab kuning sangatlah penting bagi pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran-ajaran Islam, al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Kitab kuning mencerminkan pemikiran keagamaan yang lahir dan berkembang sepanjang sejarah peradaban Islam. Untuk menjadikan pesantren tetap sebagai pusat kajian keislaman, pemeliharaan dan bahkan pengayaan kitab kuning harus tetap menjadi ciri utamanya. Maka peran pesantren patut dihargai. Pesantren dengan berbagai variannya mampu menjadi pusat dipraktikkannya ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus sebagai pusat pembakuan dan penyebarannya. Persoalan apakah ”pesantren” merupakan karya budaya asli Indonesia atau yang ditengarai Martin Van Bruinessen itu tidak menjadi soal. Yang jelas, kontribusi pesantren dalam membentuk dan memelihara khazanah keilmuan Islam klasik sangatlah besar. Dalam hal ini negara harus terus memperhatikan dan merawat pesantren dengan bukti nyata sebagai lembaga pendidikan yang terus melahirkan para ulama, dan umaro di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di sebagian kalangan pesantren Nahdlatul Ulama, atau pondok pesantren salaf pembelajaran menggunakan kitab kuning menjadi ciri khas tersendiri. Dimana hasil intelektual dari para kyai-kyai yang melahirkan mahakarya autentik yang kemudian akan terus dikaji oleh para santri dari masa kemasa dan sekaligus pilar penting dalam pola pembelajaran di pesantren dengan kata lain mengkaji kitab kuning bisa kita sebut juga sebagai manifestasi dari prinsip al muhafazatu ‘ala al-qadim al-salih wal akhdzu bil jadidil aslah. ‘wallahua’lam.

Sumber referensi:

Abdurrahman Wahid, “Asal-Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren”. Dalam Jurnal Pesantren, No Perdana (1984)

Mastuhu, ‘’Dinamika sistem pendidikan pesantren’’: suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren. INIS (1994)

Winarno, Surahkmad, Metodologi pengajaran nasional, Jakarta: jemmars, 1979.

Penulis: A’isy Hanif Firdaus, S.Ag. (Pengiat Literasi, Pengurus LTN PCNU kabupaten Brebes Jateng)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »