ASWAJADEWATA.COM | UBUD, GIANYAR
Menyama Braya adalah konsep persaudaraan masyarakat Bali, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Bagi orang Bali semua orang adalah ‘nyama’ (saudara dekat). Sejauh-jauhnya mereka menganggap orang lain itu sebagai ‘braya’ (saudara jauh). Sehingga secara keseluruhan, bingkainya selalu persaudaraan.
Hal ini pula yang menjadi dasar hubungan antar masyarakat yang berjalan secara umum di Bali selama ini. Khususnya seperti yang terlihat saat prosesi Ngaben Masal di Banjar Sapat, Tegalalang, Ubud hari Kamis siang (26/9).
Proses ngaben masal yang menarik perhatian para wisatawan asing di Ubud ini sekilas terlihat tidak ada yang berbeda dari ngaben biasanya di tempat lain. Namun setelah diperhatikan, selain polisi dan pecalang, terlihat beberapa petugas berpakaian loreng ikut sibuk membantu mengatur lalu lintas yang mengalami kemacetan saat 26 iring-iringan Bade (keranda jenazah khas Bali) diarak oleh masyarakat menuju Setra (tanah pekuburan adat) banjar Sapat. Seorang warga setempat yang mengikuti proses ngaben masal mengatakan bahwa kegiatan ngaben masal di desa ini dilaksanakan rutin setiap 3 tahun sekali.
Petugas berseragam itu adalah Satuan Barisan Ansor Serba Guna (BANSER) yang tergabung dalam Pimpinan Anak Cabang (PAC) GP Ansor Tegalalang, Gianyar.
Wiryanto Ketua PAC GP Ansor Tegalalang yang ikut bertugas di lokasi saat ditemui aswajadewata.com mengatakan bahwa kegiatan ini atas inisiatif mereka untuk saling membantu sebagai sesama warga Tegalalang.
Dalam kegiatan siang itu sebanyak 13 anggota Banser diturunkan. Mereka semua adalah warga muslim penduduk Tegalalang dari profesi beragam. Salah satunya adalah Sri Mulyadi, seorang pengusaha rumah makan padang yang sudah tinggal di sana selama 9 tahun.
“Hubungan yang terjalin harmonis sejak lama antara warga umat muslim dan umat Hindu di Tegalalang memang selalu kami rawat atas kesadaran bersama, dengan cara saling membantu dalam setiap kegiatan agama atau adat di desa ini”, ungkap Wiryanto yang juga sekaligus sebagai Kasat Provost Banser Tegalalang.
Begitu pula sebaliknya yang selama ini terjadi, seperti keberadaan sebuah mushola yang bernama ‘Nur Hidayah’ yang sejak dua tahun ini menjadi tempat ibadah dan kegiatan keagamaan warga muslim di lingkungan ini. Dalam setiap kegiatannya selalu melibatkan peran serta pecalang sebagai perangkat desa adat untuk dimintai bantuan secara bersama-sama menjaga ketertiban dan keamanan.
Haji Rasyid, sesepuh warga muslim di Tegalalang yang turut menemui aswajadewata.com mengatakan. “Kami menjalin komunikasi yang sangat baik dengan seluruh perangkat desa mulai kelian banjar, kelian adat hingga kepala desa setempat terkait dengan kegiatan-kegiatan disini. Seperti ibadah sholat Jum’at, kegiatan pengajian rutin, atau peringatan hari-hari besar Islam lainnya.”
Menurutnya hal tersebut dilakukan sebagai bentuk persaudaraan sesama warga untuk saling membantu, menghormati dan menjaga kerukunan.
Reporter: Dadie W. Prasetyoadi
Foto: Amin Akbarinsyah