Puasa Ramadan: Ujian Kesabaran atau Ajang Drama Emosional?

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM

Ramadan, bulan yang katanya penuh berkah. Bulan di mana manusia berlomba-lomba dalam kebaikan, meningkatkan ibadah, dan tentu saja… berusaha terlihat lebih suci dibanding hari-hari biasa. Semua tiba-tiba berubah menjadi pribadi yang luar biasa sabar, setidaknya sampai waktu berbuka tiba.

Tapi tunggu sebentar, apakah benar puasa ini melatih kecerdasan emosional? Atau justru sekadar ritual tahunan yang hanya bertahan sebatas lapar dan haus?

Puasa: Latihan Menahan Diri atau Sekadar Formalitas?

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Takwa, katanya. Sebuah kualitas yang seharusnya terlihat dari bagaimana seseorang mengelola emosi dan memperlakukan sesama. Tapi, apakah semua yang berpuasa benar-benar menjadi pribadi yang lebih baik?

Lucunya, di bulan Ramadan justru sering terlihat ‘drama emosional’ yang lebih heboh dibanding sinetron televisi. Lihat saja di jalanan, emosi mudah tersulut hanya karena kendaraan lain terlambat satu detik saat lampu hijau. Atau antrean takjil yang berubah menjadi arena kompetisi siapa yang bisa lebih dulu mendapatkan gorengan terakhir. Jangan lupakan juga betapa media sosial dipenuhi dengan perang komentar, saling serang demi membela kebenaran yang menurut mereka mutlak.

Puasa bukan sekadar tidak makan dan minum, tetapi juga menahan amarah, mengendalikan lisan, dan bersikap lebih sabar. Namun, bagi sebagian orang, Ramadan hanyalah ajang menguji kesabaran orang lain, bukan dirinya sendiri.

Menahan Amarah? Kadang Lupa, yang Penting Lapar

Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Puasa adalah perisai. Maka janganlah seseorang berkata kotor dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencaci atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia sampaikan, ‘Sungguh, aku sedang berpuasa’.” (HR. Bukhari)

Perisai? Tentu, selama perut masih kosong. Tapi begitu adzan Maghrib berkumandang, perisai itu menghilang begitu saja. Mulut yang sepanjang hari dikunci rapat dari makanan tiba-tiba menjadi mesin penghakiman yang luar biasa produktif. Berbicara tanpa filter, mencaci maki, atau bahkan menggunjing orang lain sambil menyeruput es buah.

Kalau memang puasa adalah latihan kesabaran, mengapa ada yang justru semakin sensitif? Mengapa masih ada yang mudah tersinggung hanya karena hal sepele? Atau jangan-jangan puasa hanya menjadi tameng untuk membenarkan perilaku buruk?

Yang lebih ironis, ada yang menganggap puasa sebagai alasan untuk bersikap malas. “Saya sedang puasa, jadi jangan ganggu,” katanya, sambil berbaring seharian. Seakan-akan Allah mewajibkan puasa agar manusia bisa bermalas-malasan dengan dalih ibadah.

Empati: Sekadar Kata-kata Manis di Media Sosial?

Salah satu hikmah puasa adalah menumbuhkan empati terhadap mereka yang kurang beruntung. Tapi anehnya, Ramadan justru menjadi momen di mana orang-orang berlomba-lomba dalam pamer kebaikan.

Membantu orang miskin? Tentu, tapi jangan lupa selfie dulu. Memberi sedekah? Harus ada dokumentasinya. Bukankah lebih baik memberi tanpa harus diumumkan kepada dunia? Atau mungkin empati kini hanya sebatas tren media sosial, bukan sesuatu yang benar-benar lahir dari hati?

Allah SWT berfirman:

“Orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 134)

Menahan amarah dan memaafkan? Sayangnya, banyak yang lebih memilih untuk mendendam dan membalas, karena ego jauh lebih penting daripada ajaran agama.

Ramadan: Waktu Berubah atau Sekadar Pencitraan?

Setiap tahun, Ramadan datang dengan janji perubahan. Katanya, ini adalah waktu terbaik untuk memperbaiki diri. Tapi, apakah benar-benar ada yang berubah? Atau hanya sementara, lalu kembali ke kebiasaan lama begitu takbir Idul Fitri berkumandang?

Jika Ramadan benar-benar mengajarkan kecerdasan emosional, seharusnya kita bisa melihat perubahan nyata dalam cara seseorang bersikap bukan hanya saat puasa, tetapi juga setelahnya. Karena jika puasa hanya sekadar menahan lapar tanpa benar-benar mengubah sikap, maka mungkin yang didapat hanyalah kelelahan, bukan keberkahan.

Jadi, Ramadan ini, apakah kita benar-benar berlatih mengendalikan diri? Atau hanya sibuk berakting seolah-olah telah menjadi pribadi yang lebih baik?

Wallahu a’lam.

Penulis: M. Fawaid

diunggah oleh:

Picture of Dadie W Prasetyoadi

Dadie W Prasetyoadi

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »