ASWAJADEWATA.COM |
Idul Fitri tiba lagi, dan seperti biasa, umat Muslim berbondong-bondong menjalankan ritual suci: makan ketupat, bersilaturahmi, dan tentu saja… minta maaf. Ya, minta maaf, sebuah kebiasaan yang sudah berulang setiap tahun, tetapi entah kenapa, kita masih perlu diajarkan caranya.
Seolah-olah sejak kecil kita tidak diajarkan bahwa “maaf” itu bukan sekadar ucapan, melainkan kesadaran atas kesalahan yang diperbaiki dengan tindakan. Tapi tidak, setiap tahun muncul artikel yang mengajarkan cara mengucapkan tiga kata ajaib: “Maaf lahir batin.” Seakan-akan selama ini kita keliru, atau lebih tepatnya, kita hanya menjadikan maaf sebagai formalitas tahunan yang wajib diulang tanpa makna.
Imam Ghazali dan Kesadaran Hakiki
Kalau saja Imam Al-Ghazali masih hidup, mungkin beliau akan tertawa getir melihat kita sibuk mencari tips meminta maaf seperti mencari resep opor ayam. Dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, beliau menjelaskan bahwa taubat—yang sebenarnya adalah bentuk tertinggi dari meminta maaf—harus memenuhi tiga syarat: mengakui kesalahan, menyesali perbuatan, dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Nah, mari kita cek, berapa banyak dari kita yang benar-benar memenuhi syarat tersebut?
Kebanyakan orang hanya menghafal skrip permintaan maaf, bukan memahami esensinya. Kita bilang “mohon maaf lahir batin” sambil senyum palsu, tapi besoknya tetap bergunjing di grup WhatsApp keluarga. Kita meminta maaf kepada orang tua, tapi sehari setelah Lebaran, balik lagi dengan sikap acuh. Kita mencium tangan saudara, tapi setelah itu lupa bahwa mereka ada kecuali saat butuh bantuan. Kalau sudah begini, apakah kita benar-benar meminta maaf, atau hanya menjalankan tradisi tahunan yang hambar?
Meminta Maaf: Formalitas atau Kesadaran?
Artikel-artikel yang mengajarkan cara meminta maaf seharusnya sudah tidak relevan lagi bagi kita. Seharusnya, tanpa ada yang mengajarkan, kita sudah paham bahwa meminta maaf bukan soal mengatur nada bicara yang lembut atau mengenakan pakaian rapi. Tapi ya, apa boleh buat, kita masih perlu diingatkan, karena sebagian besar dari kita hanya melihat maaf sebagai bagian dari paket Lebaran, bukan sebagai kesadaran diri yang mendalam.
Mungkin inilah sebabnya mengapa setiap tahun kita kembali ke titik nol dalam memahami arti maaf. Mungkin karena kita tidak benar-benar ingin berubah, hanya ingin memastikan bahwa kita tetap mengikuti tata krama sosial yang berlaku. Atau mungkin kita sekadar takut dibilang tidak tahu adat kalau tidak mengucapkan “mohon maaf lahir batin.”
Jadi, tahun ini, mari kita berhenti mencari “cara” meminta maaf. Lebih baik kita mulai bertanya pada diri sendiri: Apakah kita benar-benar menyesali kesalahan kita? Apakah kita sungguh-sungguh ingin memperbaiki diri? Jika jawabannya “ya,” maka maaf itu akan mengalir dengan sendirinya, tanpa perlu tutorial.
Penulis: M. Fawaid