ASWAJADEWATA.COM |
Secara sederhana, kata harfiyah eisegesis berarti “menuntun masuk kedalam,” yang bermakna bahwa penafsir menyuntikan dan memasukan ide-idenya sendiri, asumsi asumsinya sendiri, ideologinya sendiri kedalam teks atau pernyataan yang hendak ia pahami dan kemudian mengeluarkan makna itu dari teks seakan akan itulah makna teks. Dengan eisegesis sang penafsir menjadikan teks tersebut bermakna sesuai dengan apapun yang dia inginkan dan diklaim serta di-aku-kan seakan akan itu makna teks , padahal ia adalah ideologi dan asumsinya sendiri yang ia masukkan kedalam teks.
Pendekatan eisegesis sangat sangat beresiko, karena menjadikan teks bisa memiliki makna sejumlah ide ide dan idiologi penafsir. Saya menyebutnya dengan tafsir “oleh karena itu”. Kita sering mendengar penghotbat, penceramah, penafsir setelah membaca ayat kemudian ia mengatakan “oleh karena itu”. Nah kata “oleh karena itu” inilah yang menjadi masalah, sebab ia sedang menyuntikkan ide ide nya kedalam ayat yg dibacanya. Ayatnya bisa dibaca 2 menit saja, tapi “oleh karena itu” nya bisa 2 jam lebih.
Tafsir eisegesis inilah yang sekarang dimainkan oleh penafsir penafsir dangkal atas pernyataan Mentri agama.
Mentri agama mengatakan;
“Soal aturan azan, kita sudah terbitkan surat edaran pengaturan. Kita tidak melarang masjid-musala menggunakan Toa, tidak. Silakan. Karena itu syiar agama Islam. Ini harus diatur bagaimana volume speaker tidak boleh kencang-kencang, 100 dB maksimal. Diatur kapan mereka bisa mulai gunakan speaker itu sebelum dan setelah azan. Tidak ada pelarangan. Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis. Meningkatkan manfaat dan mengurangi ketidakmanfaatan.
Misalnya ya di daerah yang mayoritas muslim. Hampir setiap 100-200 meter itu ada musala-masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka menyalakan Toa bersamaan di atas. Itu bukan lagi syiar, tapi gangguan buat sekitarnya.
Kita bayangkan lagi, saya muslim, saya hidup di lingkungan nonmuslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim menghidupkan Toa sehari lima kali dengan kenceng-kenceng, itu rasanya bagaimana.
Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu. Agar niat menggunakan speaker sebagai untuk sarana, melakukan syiar tetap bisa dilaksanakan dan tidak mengganggu”
Menag juga menyebut, bahwa truk truk yang membunyikan mesin dan klakson secara bersama sama, padahal saat lampu merah misalnya, juga berpotensi mengganggu.
Apa tafsir atas penyataan Menag yang panjang itu?
Di media media beredar penafsir penafsir yang menyatakan bahwa “Menag menyamakan suara adzan dengan anjing. Dan karenanya Menag telah menodai agama dan menyakiti hati umat Islam”.
Benarkah Menag menyamakan Suara adzan dengan Anjing? Ada apa dengan Anjing mengapa seakan ia begitu dibenci?
Saya tidak ingin menjawabnya, tetapi hanya ingin mengutip penafsir lain, yang menyatakan bahwa Menag tidak sedang menyamakan adzan dengan suara anjing, melainkan Menag menyebutkan suara suara (ada empat suara yang ia sebut) yang jika tidak diatur maka bisa mengganggu orang lain. Empat suara itu adalah (1) suara suara toa dari musalla mushal dan masjid masjid yang tidak diatur. (2) suara suara toa dari rumah rumah ibadah yang lain, yang juga tidak diatur, (3) suara gonggongan anjing dari rumah rumah tetangga yg juga tidak atur, (4 )suara suara bising mobil yang menggeber mesi atau kenalpot serta membunyikan klakson yang juga tidak mengenal situasi.
Jadi inti pernyataan Menag adalah pentingnya mengatur suara suara apapun yang berpotensi mengganggu pada orang lain, tetangga, dan masyarakat sekitar.
Kedua, ada apa dengan Anjing, yang seakan ketika disebut nama itu ada kebencian dihati. Ini juga contoh jelas sekali bagaimana ideologi seorang dimasukkan pada pemahaman teks yang menjadikan makna teks berbelok arah, dari upaya menciptakan kemaslahatan menjadi kebencian.
Padahal anjing menurut Gus Ulil Abshar Abdalla , dalam postingan fB nya, adalah hewan yang yang baik yang disebut sebagai pujian di dalam Al Qur’an. Saya juga membaca kitab Majmu’ Ar Rasail nya Al Ghazali, beliau mengatakan “bahwa anjing dan babi dicela bukan karena dzat nya, karena keduanya adalah mahluk Allah seperti mahluk Allah lainnya seperti kambing, sapi, dan lainnya. Imam Malik juga menyatakan bahwa anjing itu suci.
Jadi janganlah memasukkan kebencian kedalam teks, dan mengeluarkannya seakan kebencian itulah makna teks. Lebih bahaya lagi jika disertai semangat menyesatkan dan mengkafirkan.
Padahal dalam kitab manapun, jika ada dua kemungkinan makna antara apakah seorang telah sesat dan keluar dari Islam atau masih dalam Islam, maka kita harus lebih memilih seorang itu masih muslim, karena begitu besarnya semangat Islam untuk memasukkan seorang dalam Imam. Bukan sebaliknya, mengeluarkan dari imam dan Islam.
Wallahu A’lam
Kupang 260222
Oleh: Kiai Imam Nakha’i