Bau Bayi

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Kang Marbawi

Aromanya begitu khas, tak ada duanya. Khas bayi umur tiga-empat bulan. Aroma yang begitu unik, menggemaskan. Membuat bibir siapapun selalu ingin nempel di kulit pipinya. Bahkan aroma ecesnya pun begitu distingtif. Itulah aroma bayi ketika bangun tidur. Tak bau seperti semprotan eces orang dewasa, mungkin akibat residu kata-kata tak adabnya.

Wajah polos tak berdosanya, menjadi penawar penat para orang tua sepulang berburu darma. Senyum dan tawa tulusnya menjadi buluh perindu para orang tua untuk selalu ingat pulang. Pendorong semangat untuk menunaikan darma sebaik-baiknya dan sehalal-halalnya. Tak ingin melekatkan ke dalam darah dan dagingnya sesuatu yang tak halal dan kotor, hasil keringat bercela dari laku darma.
Ocehannya menjadi suara termerdu dan terindah di telinga. Walau sekedar “aaaa….. eeeeee, oooooo…”.

Suara khas, yang meluncurkan kebahagiaan, kasih sayang dan ikatan batin. Tak dimengerti, namun menjalin komunikasi batin yang membekas pada jiwa dan pikiran anak. Menyuburkan pertumbuhan otak dan jiwanya. Membuncahkan kegemasan dan dekapan cinta.
Atas nama anak dan kelangsungan keturunan, orang tua banting tulang. Mencari nafkah mengais rizki melalui darma masing-masing. Kebahagiaan lahir dan batin keluarga adalah tujuan. Tak pelak, apapun dilakukan. Melebihi kebutuhan dan definisi kebahagiaan lahir batin keluarga yang terikat pada materialisme. Materialisme yang menjadi tujuan dan menganggit godaan, harta, tahta dan pria/wanita.

Padahal bisa jadi, kebahagiaan lahir batin adalah ketenangan dan tercukupinya kebutuhan. Kecukupan yang tak lebih. Kelebihan yang tak berlebih dari hasil darma. Namun memberkahi sanak dan sesama. Tetap saja, godaan materialisme membuncah dalam setiap darma. Mengaburkan tujuan awal dan ingatan indah anak, istri dan keluarga.

Biasanya, sepulang menunaikan darma, sambutan senyum tulus, riang dan rentangan tangan anak adalah penawar penat yang paling indah dan mujarab. Rontok seluruh lelah beban kerja darma dalam siraman senyum-tawa anak-anak. Menguatkan kembali jiwa dan mencuci nurani. Keriangan di rumah adalah anugerah sebenarnya dari darma yang dilaku. Celoteh anak-anak tentang apapun menjadi kicauan penenang atas polusi di tempat laku darma. Polusi yang menghitami nurani dan mengikis karang kesabaran dan integritas.

Tapi celoteh itu, kini tergantikan kebisuan dalam kebisingan dunia maya. Kebisingan dunia maya dalam gadget yang membisukan dunia nyata. Anak-anak tercabut dari dunia rumah yang nyata. Mereka terbang dan memiliki ruang maya yang menjadi dunia yang tak tersentuh oleh orang tua. Dan kadang orang tua pun ketika pulang ke rumah, memasuki kamar mayanya sendiri. Sama tak bertaut dengan penghuni rumah. Ada, seolah tak ada. Komunikasi menjadi seolah tak bermakna dibalut menanyakan kebutuhan masing-masing. Untuk tak basa-basi seperti di tempat lain, pun tempat darma. Tak ada komunikasi dari hati ke hati dan cengkrama bersama.

Sejatinya rumah dan penghuninya adalah tempat istirahat dan kontemplasi nurani. Merujukkan hasil darma, kebutuhan dan memadunya dalam kesederhana hidup dan laku. Membangun kesadaran dalam bingkai kepekaan terhadap sang Khalik, sesama, lingkungan dan bangsa. Mewujud dalam laku kesalehan sosial yang memberkahi sesama. Menguatkan mantra, yang menempel dalam wujud lahir adalah titipan. Yang bisa jadi akan diambil entah kapan pun, dimana pun dan oleh sebab apa pun dan siapa pun. Diambil entah karena laku diri yang menyalahi darma atau memunggungi nurani atau serakah meraih kebahagiaan materialisme. Menyisakan malu, nista, kesengsaraan dan stemple yang tak lekang waktu. Nak! Darma ini untuk masa depanmu. Masa depan yang juga ditentukan oleh laku darma orang tuamu. Pun doa.

 

diunggah oleh:

Picture of Aswaja Dewata

Aswaja Dewata

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »