ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Ahmad Husain Fahasbu
Saya pernah bertemu seorang kawan yang lulusan luar negeri. Dia seorang intelektual sekaligus juga mengerti betul peta pemikiran gerakan Islam Internasional dan Nasional. Kelebihannya, ia juga memiliki kedekatan dengan beberapa tokoh dalam berbagai gerakan yang berkembang.
Dia bercerita bahwa salah satu sebab makin ke sini dakwah wahabi/salafi makin diterima salah satunya karena mereka mengubah strategi dakwahnya. para dai-dai wahabi sekarang makin jarang membahas khilafiyah, memberi labeling, melakukan vonis pada orang lain dan hal-hal yang membuat ribut.
Mereka justru fokus kajian-kajian yang tampak “rasional” dan “ngintelek”. Misal kajian sirah nabi, kajian sunnah, kajian tazkiyatun nafs, kajian husnul khatimah, persatuan umat, kebangkitan Islam dan tema-tema yang memang dicari-cari umat hari-hari ini.
Apakah tidak ada yang konfrontasi untuk aliran lain? tentu masih ada tapi itu cuma satu atau dua orang. selain itu semuanya fokus tema kajian yang absen persoalan khilafiyah. Simak saja, kajian Ust UKB atau USRB, hampir mustahil keduanya membahas isu-isu kontroversial.
Ditambah mereka tak pernah membahas hal-hal yang sesuatu abstrak. misal soal karomah, kesaktian dan beberapa hal lain. mereka tampak mengajarkan rasionalitas. belajar agama yang berbobot dan menjauhi ngaji yang banyak leluconnya.
Mereka juga tak pernah melibatkan secara langsung pada kekuatan politik tertentu. kita tahu seorang dai yang menceburkan dirinya pada dunia politik maka ia harus bersiap-siap direndahkan dan dilucuti wibawanya. Ditambah kadang materi ceramah dibumbui dengan materi-materi politik praktis. Duh berat.
Hasilnya apa? Dakwah Salafi makin populer. dakwah mereka diterima orang-orang kota yang beragama dengan rasionalitas dan menjauhi pertengkaran khilafiyah. Bahkan makin ke sini, ustadz-ustadz mereka tak segan turun gunung. menyisir kantong-kantong aswaja di pelosok Madura dan Tapal Kuda.
Saya merasa orang-orang kota memang mencari format agama yang menawarkan spritualitas dan keheningan. bukan pemahaman agama yang “ramai”, tiap hari bertengkar dengan persoalan yang memang tak perlu dipertengkarkan.
Tapi, ada pertanyaan, bukannya banyak video-video ustadz-ustadz mereka yang viral dan dibahas oleh pendekar aswaja? Ya betul tapi itu kebanyakan video lama, yang kemudian diposting lagi, kemudian sebagian kita kaget, dan merasa harus segera “membombardir” pemahaman mereka dengan referensi-referensi yang banyak.
Hasilnya apa? Kita puas bisa meng_counter dengan perspektif kita tetapi mereka tampak bermain menjadi korban (playing victim), di_bully, direndahkan, pengajiannya dibubarkan dan hal-hal lain yang mereka pakai sebagai pihak yang terzalimi (al-Madzlum). Jadilah simpati terus mengalir pada mereka begitu deras.
Soal strategi ini memang tak mudah sekaligus ia tak sederhana. efeknya luar biasa. sekali salah langkah maka efek yang diterima akan berbeda.
Masih ingat kemarin ada sebuah lembaga yg konon meminta negara melarang wahabi? alih-alih lembaga tersebut mendapat dukungan, yang ada orang-orang malah simpati pada pihak yang diminta dibubarkan. Dan gilanya, simpati itu banyak lahir dari orang yang sering dihajar sama pihak yang diminta dibubarkan itu.
itulah efek logika korban. ia akan selalu mendapat simpati dari khlayak.