ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: H. Bagenda Ali
Tentu saja menjadi pertanyaan besar bagi muslimin di tanah air sekarang, kenapa perkembangan Islam di Bali tidak sesubur dengan yang terjadi di Tanah Jawa khususnya di abad awal masuknya Islam ke tanah air Nusantara yakni pada era abad XV – XVI apakah Wali Songo sebagai simbol pelaku utama melebarnya pengaruh Islam ke seluruh Tanah Jawa tidak berpengaruh sama sekali ke tanah Bali padahal tanah Jawa dan Bali sesungguhnya bertetangga dekat dan hanya dipisahkan oleh selat yang berjarak kurang lebih 5 kilometer saja ? Apakah sebenarnya yang terjadi ?. Kenapa misi Islam ketika itu kemudian tidak menyentuh pelataran pulau Seribu Pura ini?
Dari aspek demografi tentu kita dapat membuktikan bahwa Pulau Bali adalah satu-satunya pulau di Indonesia yang berpenduduk mayoritas beragama Hindu dengan perbandingan yang sangat mencolok dibandingkan dengan penganut agama lain jika kita merujuk kepada hasil sensus penduduk tahun 2010 bahwa jumlah penduduk yang beragama Hindu di Indonesia berjumlah kurang lebih 4.012.116 jiwa dan yang menetap di Bali tercatat sejumlah 3.247.283 jiwa berarti penduduk yang beragama Hindu Dharma yang tinggal di Bali ada sekitar 80 % dari total jumlah penduduk beragama Hindu di Indonesia dan hanya sekitar 20 % penduduk yang beragama Hindu yang menetap di luar Bali atau kurang lebih 764.833 jiwa.
Adapun ummat Islam yang menetap sebagai warga pulau Dewata Bali berjumlah sekitar 520. 244 jiwa dari sekitar 3.890.757 jiwa Penduduk pulau Bali. Dan selainnya sekitar 123.230 jiwa ( Non Hindu dan Non Muslim ) hal ini menunjukan bahwa penduduk yang beragama Hindu Dharma di Bali sangatlah dominan dibandingkan dengan Islam dan lainnya, sedangkan penduduk yang beragama Islam yang ada di Pulau Bali saat ini hanya sekitar 13,3 % dari total penduduk Bali.
Jika kita telisik lebih jauh tentang apakah metode yang diterapkan oleh para “Wali Sembilan” ini dalam menyebarkan Agama Islam di Tanah Jawa sehingga sangat ampuh untuk mengetoktularkan ajaran Islam dan kemudian dengan mudah diterima serta penuh persahabatan dengan warga tanah Jawa yang saat itu justru telah mendarah daging menganut kepercayaan nenek moyang mereka yaitu agama Hindu dan Siwa Buddha.
Setidaknya dapat disimpulkan secara global bahwa ada dua metode yang diterapkan oleh Walisongo dalam mendakwahkan Islam di awal kehadirannya di Nusantara, khususnya di Tanah Jawa yakni: 1. Metode dengan pendekatan Kultural dan 2. Metode dengan Pendekatan Struktural.
Dua pendekatan ini kemudian saling mendukung satu sama lain kehadiran salah satu dari keduanya. Tanpa lainnya dipastikan tidak akan berhasil sempurna seperti apa yang kita saksikan saat ini.
Pendekatan Kultural misalnya bagaimana Walisongo menginstal syariat Islam ke dalam software kepercayaan mereka ( Hindu ) sehingga mereka tidak merasa kepercayaannya di-delete begitu saja dengan kedatangan Islam seperti penggunaan media Wayang sehingga muncul istilah Layang Kalimosodo, Sekaten dan penamaan tokoh tokoh pewayangan yang sengaja disamarkan dalam istilah Islam oleh mereka ( seperti yang dilakukan Sunan Kalijogo) dan juga penggunaan Gamelang seperti halnya yang digunakan oleh para seniman Hindu ketika itu. Kemudian bagaimana juga menggunakan Tembang sebagai sarana komunikasi dakwah contoh ada tembang Tombo Ati, Lir Ilir, dan lain sebagainya. Akulturasi budaya ini menjadikan mereka warga tanah Jawa tentu sangat menikmati pertunjukan mereka ( para wali) itu dan pada akhirnya mayoritas wargapun menyukainya. Pendekatan inilah yang menyebabkan kehadiran Islam tidak tertolak di komunitas Hindu tanah Jawa saat itu.
Kemudian pendekatan Struktural yakni pendekatan politik kekuasaan di mana kemudian para wali mendekati para raja / penguasa saat itu dengan seperangkat ilmu ilmu makrifat mereka sehingga raja raja itu pun yang tadinya masih kuat beragama kepercayaan nenek moyangnya dengan mudahnya dapat menerima mereka ( para wali ) ada juga yang sampai mengawini putri putri raja dan bahkan mereka para raja itu pada akhirnya menjadi mu’allaf karena bersedia memeluk Islam dan kemudian diikuti oleh segenap rakyatnya secara otomatis dan serentak.
Pendekatan inilah yang ternyata tidak pernah terwujud adanya di tanah Bali sampai pada era penjajahan awal abad XVII berbeda dengan pulau-pulau lainnya di Nusantara. Sehingga penganut Islam di pulau-pulau itu kemudian dapat menjadi bagian mayoritas. Namun di tanah Bali, keadaan sebaliknya yang menyebabkan penyebaran Islam tersumbat di selat Pulau Bali dan selat Lombok dan hanya sampai di tanah Blambangan ( sekarang Banyuwangi) bagian barat dan tanah Lombok bagian timur.
Memang pendekatan secara Struktural oleh para pendakwah Islam ini terjadi tidak hanya di wilayah Tanah Jawa saja akan tetapi hampir di semua pulau di Nusantara oleh karena cara itulah yang jauh lebih cepat mengakar dan tentu terlegitimasi oleh para penguasa daripada jalan pendekatan kultural saja. Misalnya langkah yang dilakukan oleh Sultan Malikus Saleh setelah menerima Islam dari kerajaan Samudara Pasai di Pulau Sumatera, dan juga Sultan Alauddin setelah memeluk Islam dari kerajaan Gowa di Pulau Sulawesi, Sultan Suriansyah juga setelah memeluk Islam dari kerajaan Banjar di Pulau Kalimantan serta Sultan Zainal Abidin di saat pertama kali memeluk Islam dari Kerajaan Ternate di Pulau Maluku dan lain sebagainya.
Demikian pula ternyata di abad itu pengaruh Walisongo pun ( Pendekatan Struktural maksudnya ) sesungguhnya memang sudah pernah dicoba masuk di tanah Bali yaitu ketika sempat berlabuhnya armada perang delegasi dari Giri Kedaton ( Sunan Giri IV ) yang bernama Sunan Prapen yang datang ke Buleleng sekitar tahun 1605 untuk menyebarkan dakwah Islam tapi tidak terlalu lama ( tidak sempat meluas pengaruhnya ), kemudian beliau justeru melanjutkan misinya ke pulau Lombok, pulau Sumbawa / Bima dan berhasil menaklukannya.
Jadi pengaruh Walisongo di Bali hanya sebatas jalur pendekatan Kultural oleh beberapa pengikut Sunan Prapen yang pernah menetap di Buleleng ketika itu. Bahkan mereka lah yang pertama kali membangun tempat ibadah yang menjadi cikal bakal bangunan masjid jami’ Singaraja saat ini.
Memang di Bali pengaruh Sunan Prapen ( utusan Sunan Giri ) ini tidak berkembang sesuai yang diharapkan, karena armada beliau yang semula rencananya ingin menaklukkan Bali namun tidak sempat melancarkan serangan ke jantung pertahanan Bali ( Gelgel ) dikarenakan Gelgel saat itu terlalu kuat untuk dihadapi oleh pasukan sekelas armada perang Sunan Prapen. Sehingga niat itu pun kemudian diurungkan dan tak pernah lagi berulang sampai era Gelgel runtuh dan itu juga yang menunjukan bahwa di Bali tidak pernah sekali pun adanya masuk pengaruh Islam ( Walisongo) lewat jalur penaklukan seperti halnya di Pulau Lombok dan di pulau Sumbawa/ Bima.
Memang Bali (Gelgel ) merupakan sebuah miniatur dominasi Empire baru penerus Majapahit Hindu di Tanah Air setelah robohnya kejayaan Majapahit. Gelgel yang pernah menaklukan Lombok dan Blambangan ( Jawa bagian Timur ) yang keduanya merupakan tetangga bagian timur dan barat tanah Bali. Mereka memiliki armada perang yang kuat oleh karena orang orang sakti dan terlatih di Majapahit dulu yang tak mau menerima Islam mayoritas mereka hijrah ke Bali dan berkumpul di Gelgel membuat pertahanan Gelgel semakin kuat dan daya tempurnya semakin tajam.
Secara psikologi memang pembesar Gelgel pun tentu saat itu sangat serius untuk mempertahankan Gelgel dari serangan yang dilancarkan dari luar karena trauma sejarah di Majapahit dulu bagaimana kemudian Demak memporak-porandakan Kraton Majapahit di Trowulan ( daerah Mojokerto sekarang ), hingga akhirnya luluh lantak rata dengan tanah karena kekuatan tempur pasukan Demak yang begitu besar dan para pembesar Majapahit pun saat itu terpaksa melarikan diri dan mengungsi ke mana mana bahkan sampai menyeberang ke Tanah Bali.
Demikian sekelumit ulasan tentang apakah pengaruh Walisongo ( Wali sembilan) tidak pernah masuk ke Bali dan apa penyebabnya.
Wallahualam bi shawab