ASWAJADEWATA.COM
Pada umumnya penyebaran agama Islam di pulau Bali pada zaman kerajaan dahulu, tidak terorganisir dengan baik layaknya di pulau Jawa. Inilah yang menyebabkan melambatnya laju perkembangan Islam di Bali waktu itu. Sejak awal keberadaan komunitas umat Islam di Bali mengalami distorsi dalam perkembangannya. Para tokoh-tokoh Muslim kala itu tidak pernah melakukan komunikasi dakwah secara intens antar daerah.
Di samping imfrastruktur transportasi penguhubung antar daerah yang hanya bisa ditempuh dengan jalur laut. Karena belum adanya jalur darat dan juga disebabkan oleh karena terbatasnya alat transportasi yang digunakan waktu itu. Hanya perahu-perahu para pedagang yang kadang kala bisa digunakan karena kebetulan singgah di beberapa daerah di Bali yang memang juga jarang melintas antar daerah di Bali. Perahu-perahu dagang itu yang kemudian dijadikan sebagai sarana transfortasi utama oleh para muballigh Islam sambil berdagang dari satu daerah ke daerah lainnya di seputar pulau Bali.
Misalkan saja tokoh-tokoh Muslim yang ada di wilayah Jembrana. Hampir tidak pernah melakukan komunikasi intensif dengan tokoh tokoh Muslim yang ada di Buleleng, Badung, Karangasem, dan di wilayah kantong-kantong Muslim lainnya di Bali. Mereka akhirnya berjalan sendiri-sendiri demikian pula perkampungan mereka satu sama lain terlihat terisolir baik dari segi pemukiman maupun selanjutnya komunikasi antar muslim seluruh Bali tidak berjalan baik terutama pada zaman awal itu.
Memang umumnya para Penguasa/Raja di Bali terlihat mengadakan politik lokalisasi pemukiman komunitas Pendatang/Muslim dari sejak awal kedatangan mereka di Bali. Contoh misalnya di Kampung Buitan Manggis Karangasem yang duhulu merupakan satu satunya pelabuhan samudera yang menghubungkan antara Bali dengan Lombok dan tempat berlabuhnya para pedagang dari timur. Namun para penduduk Muslim yang bermukim di situ oleh Penguasa setempat mengatur bahwa mereka tidak dibolehkan membuka pemukiman baru di luar kampung Buitan.
Demikian pula halnya di desa Toya Pakeh yang ada di pulau Nusa Penida Klungkung. Para pendatang muslim Suku Bugis-Makassar dan lainnya mengalami hal yang sama, bahwa para pendatang muslim hanya dibolehkan oleh Penguasa untuk bermukim di kampung Toya Pakeh saja. Tidak diperkenankan untuk bertempat tinggal di luar kampung tersebut. Itulah sebabnya maka sampai sekarang tak ada satupun kampung lain yang didiami oleh umat Muslim di Pulau Nusa Penida selain kampung Toya Pakeh.
Hal inilah yang mungkin bagi keberadaan Islam di Bali, yang telah ratusan tahun keberadaannya, tidak mengalami perkembangan yang signifikan utamanya di abad XVIII dan XIX. Salah satu sebabnya karena penyebaran Islam di Bali hanya menggunakan satu cara, yakni dengan penyebaran Islam secara kultural. Selain itu, para Penguasa/Raja di berbagai kerajaan di Bali saat itu terpaksa menerapkan politik lokalisasi bagi komunitas penduduk Islam. Salah satu alasan dari langkah raja-raja itu yang harus dilakukan oleh karena adanya proses penyebaran Islam kepada masyarakat Hindu. Contoh kongkrit bisa kita lihat dalam sejarah perkembangan Islam di Jembrana bahwa di sana ada kampung yang bernama Kombading yang aslinya bernama Kampung Mebading yang jika diartikan yaitu Kampungnya orang orang yang pindah agama dari Hindu ke Islam.
Konon kampung ini adalah tempat isolasi orang-orang Islam yang berasal dari Hindu (muallaf). Raja Jembrana ketika itu merasa “kecolongan” dengan banyaknya orang Hindu di wilayahnya yang beralih dari Hindu ke agama Islam. Maka dengan sengaja Raja Jembrana menempatkan mereka di situ yang letaknya jauh dari komunitas Hindu maupun Islam agar mereka tidak bisa lagi bergaul bebas dengan etnis Hindu untuk mempengaruhinya. Sampai sekarang kampung ini masih tetap eksis sebagaimana kampung Islam lainnya di Bali. Sekarang kampung ini menjadi Dusun Kombading Desa Pengambengan Kecamatan Negara Kab. Jembrana.
Menurut pendapat Prof. I Nengah Bawa Atmadja. Ada beberapa alasan kenapa Raja-Raja di Bali menerapkan politik lokalisasi ini, yakni bertujuan antara lain:
Pertama, mencegah timbulnya konflik antara orang Islam dan orang Bali (Hindu) yang disebabkan oleh latar belakang perbedaan agama dan kebudayaan/tradisi.
Kedua, meminimalisir kemungkinan adanya islamisasi yang dilakukan oleh orang Islam terhadap orang Bali.
Ketiga, memberikan rasa aman secara sosiologis, kultural, keagamaan, dan psikologis sebab dalam perkampungan yang berpola lokalisasi.
Politik lokalisasi ini diharapkan mereka dapat mengembangkan identitasnya secara bebas tanpa didominasi maupun dihegomoni oleh pihak lain/etnik Bali. Contoh di Kampung Pegayaman, Kampung Kepaon, Kampung Loloan, kampung Kusambe, Kampung Buitan dan lainnya. Sementara di pihak lain, etnik Bali Hindu yang ada di sekitarnya bisa mempertahankan dan mengembangkan identitasnya, tanpa ada perasaan dirongrong oleh orang Islam.
Maka secara tidak langsung, dengan penerapan politik lokalisasi ini, benturan konflik antar agama dapat dihindari, sehingga muncul istilah nyamaslam, sebutan orang Hindu Bali kepada penduduk Islam di pemukiman khusus Muslim, yang mereka menganggap bahwa orang Islam adalah saudara, bukan musuh ataupun bukan penghalang. Istilah tersebut (nyamaslam) terus bertahan ratusan tahun hingga kini.
Meskipun ada saja kita lihat pada sebagian dari warga Hindu akhir-akhir ini di beberapa tempat di Bali, dengan berbagai alasan, oknum orang Hindu Bali tiba-tiba mengubah istilah persaudaraan tersebut menjadi sebutan lain seperti sebutan nakslam atau nakjawa, yang cenderung mengonotasikan negatif terhadap keberadaan etnik Islam di Bali.
Ada catatan sejarah yang mengatakan bahwa ketika komunitas Islam pertama eksis di kerajaan Gelgel berdasar kebijakan Raja Dalam Ketut Nglesir, para pembesar kerajaan ketika itu mengadakan upaya sterilisasi (pembersihan) etnis Islam dari kerajaan Gelgel. Dengan alasan, ada trauma sejarah leluhur mereka di Majapahit terutama setelah kedatangan tokoh Hindu yang berpengaruh Dang Hyang Nirartha dengan isu bahwa Komunitas Muslim bisa jadi ancaman bagi mereka. Namun ternyata apriori mereka terhadap etnis Muslim ini ternyata meleset dari perkiraan itu. Justru Etnis Muslim sangat bersahabat dan lebih semangat membantu pembangunan dan pengembangan kerajaan dari segi peribadatan. Mereka saling bantu-membantu tanpa ada masalah di antara mereka. Tentu muslim yang datang ke Gelgel ketika itu adalah kelompok Muslim Moderat jika sekarang mungkin istilah kerennya bisa disebut ASWAJA zaman awal.
Bagaimanapun tidak bisa dipungkiri, bahwa sebenarnya Bali sejak dulu merupakan pulau yang dipenuhi keberagaman baik ras maupun agama. Sikap toleransipun sudah lama dijalankan demi Bali yang tetap aman damai. Jadi, jika ada sekolompok oknum yang mencoba untuk mendiskreditkan keberadaan kelompok (agama, etnis, dll) baik dari Hindu maupun Islam. Sedini mungkin harus segera dicegah, agar apa yang telah dibangun oleh para leluhur pendahulu mereka, tidak roboh oleh sebab kepicikan paradigma yang dibangun oleh sebagian orang saat ini, karena menganggap bahwa kelompok lain berbahaya dan selalu salah. Wallahua’lam bis Shawab
Oleh: Drs. H. Bagenda Ali, M.M/Penulis Buku AWAL MULA MUSLIM DI BALI