ASWAJADEWATA.COM
Jika kita merujuk kepada sejarah awal Muslim di Bali, bahwa sejak era Dalem Ketut Ngelesir sampai ke eranya Dalem Waturenggong di kerajaan Gelgel, di abad ke XVI sikap toleransi umat Hindu terhadap keberadaan umat Islam sebagai penduduk pendatang di lingkungan Puri sudah terjalin mesra. Hubungan baik antara Pendatang Muslim dengan penganut Hindu sebagai penduduk pribumi menjadi hal yang biasa tanpa adanya problematika.
Memang di era Dalem Waturenggong ada upaya politik “resistensi” dari sebagian pembesar Puri untuk mensterilisasi pengaruh Islam di kerajaan Gelgel terutama saat kedatangan Dhan Hyang Nirarta. Namun tak berlangsung lama karena pihak Islam sendiri tidak menampakkan antipatinya kepada praktik-praktik ritual orang-orang Hindu di sekeliling mereka. Malah mereka saling membantu terutama pelaksanaan upacara-upacara keagamaan di masing-masing pihak.
Demikian juga peran yang cukup besar orang-orang Muslim (Bugis-Makassar) pendatang sebagai kesatuan laskar kerajaan di lingkungan Puri di beberapa kerajaan di Bali, lebih nampak ketika berada di era pengaruh Gelgel sudah mulai semakin merapuh pasca era Dalem Waturenggong. Maka beberapa kerajaan vassal mulai berani melepaskan dirinya dari pengaruh Gelgel (kerajaaan Induk) seperti Buleleng, Mengwi, Tabanan, Karangasem, Bangli. Gianyar dan Jembrana.
Selanjutnya para bekas kerajaan vassal (kerajaan bagian) ini, mereka justru saling melancarkan aksi serang menyerang satu sama lainnya untuk memperebutkan dan memperluas wilayah kekuasaan masing -masing, dengan keinginan saling berupaya menaklukkan satu dengan yang lain.
Upaya beberapa kerajaan ini dimanfaatkan oleh Muslim pendatang untuk infiltrasi ke lingkungan Puri, di mana mereka dibutuhkan untuk menjadi tameng dalam mempertahankan kerajaan masing-masing. Kalau ada kesempatan mereka pun siap membantu kerajaan yang dimukiminya untuk berusaha menginvasi kerajaan lain yang kebetulan mereka para pendatang ini adalah memang prajurit dan panglima terlatih di kerajaan asalnya.
Dukungan dari pihak ketiga inilah kemudian dipilih oleh pihak puri/kerajaan untuk mempertajam kekuatan tempurnya. Namun mereka (para pendatang) tak mungkin berkontribusi cuma-cuma misalnya ada nota kesepahaman di antara mereka jika terjadi ini dan itu termasuk di dalamnya tak boleh diganggu oleh pihak Puri dan warganya terhadap praktik kehidupan dan tradisi mereka termasuk pengamalan ajaran agamanya (Islam).
Itulah sebabnya maka para Raja ketika itu yang merasa berhutang budi kepada para pendatang Muslim ini sangat berupaya memprioritaskan kepentingan umum bagi mereka dengan berbagai langkah yang diambil oleh para raja antara lain:
Pertama, menghadiahkan tanah pelungguhan (pemukiman), yang berstatus tanah konsesi sebagai kompensasi atas kontribusi mereka kepada kerajaan yang dianggap oleh para raja, bahwa hal itu tidak bisa dinilai dengan materi meskipun mereka diberi seberapapun luasnya.
Kedua, membantu ataupun Membangunkan secara cuma-cuma tempat-tempat ibadah pendatang Muslim baik berupa lokasi maupun bahan materialnya bagi para pendatang berupa Masjid atau Musholla di beberapa perkampungan Muslim.
Ketiga, mengeluarkan titah Raja (Paswara) agar seluruh pribumi (Umat Hindu) dilarang keras untuk mengganggu praktik keagamaan mereka (Muslim). Sehingga dengan demikian maka seluruh rakyat akan terus dan tetap mematuhi titah raja-rajanya secara turun-temurun untuk tetap saling toleran dan menghormati serta tak boleh saling mengganggu satu sama lain.
Beberapa kerajaan di Bali yang pernah berhubungan baik dengan tokoh-tokoh Muslim pendatang yang cukup berpengaruh dan sangat dekat dengan puri/ kraton antara lain ada Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Al Hamid di kerajaan Gelgel beliau sangat dekat dengan Keraton hingga akhirnya beliau diangkat menjadi penasihat dan juru bicara kerajaan, kemudian Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodry (keturunan Kesultanan Pontianak) sangat dekat dengan raja Jembrana dan juga akhirnya menjadi penasihat Raja dan menjadi ayah angkat putra raja yang bernama Anak Agung Putu Seloka yang konon salah satu putra raja di Bali yang pernah mempelajari Islam dan bahkan banyak hafal ayat-ayat Al Quran. Namun anehnya tidak pernah oleh ayah angkatnya berusaha untuk mengajaknya masuk Islam karena memegang teguh janji setianya kepada Sang Raja yang hanya diamanahi untuk mendidiknya sebagai calon Raja.
Demikian juga halnya dengan Raden Sastroningrat (bangsawan Madura) yang sampai akhirnya beliau diangkat menjadi menantu Raja Badung yaitu Raja Cokorde Pamecutan III dan selanjutnya nama Nur Alam di lingkungan kerajaan Tabanan yang nama aslinya Aryo Nur Alam suku Jawa asal Desa Temenggungan Blambangan Banyuwangi. Beliau sangat dekat dengan Puri hingga akhirnya beliau diangkat sebagai juru bahasa kraton dan penerjemah bahasa Jawa di Puri / Kraton dan menjadi bagian
dari keluarga Kraton setelah dikawinkan oleh Raja Tabanan Batara Nguluhur dengan salah seorang putrinya menjadilah Dia sebagai keluarga kerajaan Tabanan selanjutnya. Ada pula nama Kapiten Pattimi (1805 M) adalah seorang pendatang bangsawan Bugis (satu-satunya yang pernah berkuasa di salah satu kerajaan Bali dari luar suku Bali) yang sangat dekat dengan Raja Badung yang kemudian dipercayai oleh Raja Badung untuk menjadi wakil Raja dan menjadi wali Negara di Kerajaan Jembrana dan terakhir Pangeran Mas Pakel putra raja Pejanggi Lombok Tengah dan kemudian diangkat menjadi anak angkat oleh Raja Karangasem. Dari tokoh Pangeran Mas Pakel inilah dengan peran Raja Karangasem Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem (1691-1692 M).
Demikianlah bukti-bukti sejarah dalam hubungan sosial antara pendatang Muslim dan Pribumi Hindu di Bali pada jaman dahulu kala yang perlu dimaklumi oleh generasi milenial sekarang. Betapa mereka saling bantu membantu bahkan mereka para pendatang telah pernah berjuang dengan mempertaruhkan jiwa dan raga mereka untuk kewibawaan para raja dan kerajaannya. Sehingga toleransi pun di antara mereka ketika itu menjadi suatu keniscayaan yang kemudian harus dibangun oleh mereka. Tentu demikian oleh karena para raja-lah yang berusaha untuk membangunnya dan meletakkan dasar dasar toleransi itu demi kelangsungan hidup mereka berdampingan di masa depan.
Menurut KH. S. Habib Adnan (alm) mantan pendiri dan ketua MUI pertama provinsi Bali bahwa ada empat faktor penting yang melandasi toleransi antar ummat beragama di Bali sejak dahulu antara lain:
Pertama, agama Islam dapat berkembang baik di Bali sehingga antara Islam dan Hindu dapat menjalin hubungan yang harmonis oleh karena agama Hindu (Bali) adalah asli bangsa Indonesia yang mengacu dengan pola pikir bangsa Indonesia. Sehingga yang tumbuh dan berkembang di Bali adalah Hindu yang khas Bali dan bukan Hindu yang berlatar India. Juga sebaliknya, agama Islam yang berkembang di Indonesia adalah agama Islam dengan pola pikir yang khas milik bangsa Indonesia. Sehingga Islam yang tumbuh dan berkembang di sini bercirikan budaya yang kita miliki, dan juga bukan
Islam yang berciri kultur Arab atau Afrika. Kesamaan pandang yang bercirikan budaya dan berpola pikir sebagai bangsa Indonesia ini, kemudian menciptakan suasana rasa penuh kekeluargaan dan keharmonisan. Ini merupakan landasan kokoh yang tak mungkin ditiru atau ditemukan di Negara mana pun di dunia. Inilah kemesraan dan keharmonisan masyarakat Muslim dan Hindu di Bali, yang hingga kini tetap terjalin baik.
Kedua, sejak awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, dapat dikatakan bahwa dari dulu Bali belum pernah mendapat sentuhan langsung dari para wali (Wali Songo) di Jawa. Hal ini dikarenakan bahwa pada masa itu Bali tak pernah masuk “hitungan” dalam jalur perniagaan baik itu dari arah Tuban maupun dari pelabuhan Gersik justru jalur perdagangan terkonsentrasi di kawasan pelabuhan Bone, Sulawesi Selatan atau Bima karena itulah, umat Islam yang hijrah ke Bali cenderung mengembangkan Syiar Islam dalam suasana persuasif.
Ketiga, sejak masa kerajaan-kerajaan dulu yakni pada masa jayanya kerajaan Bali di Gelgel, tidak pernah terjadi konflik dengan raja-raja Jawa. Artinya dari sejak dulu kala antara kerajaan Jawa dan Bali tidak pernah saling menyakiti.
Keempat, agama Hindu (Bali) dan Islam memiliki kemiripan dalam cara pandang kulturalnya. Dalam budaya Hindu dikenal apa yang disebut “Patra, Kala… dst di mana manusia mengapresir alam atas dasar ruang dan waktu atau zaman dan tempat di sisi lain budaya Jawa juga mengenal apa yang dinamakan” guyub”. Dari hal-hal yang demikian – sampai batas-batas tertentu Islam menunjukkan toleransinya dalam memahami itu semua.
Demikianlah peran raja raja di Bali dalam rangka meletakkan basis toleransi antar ummat beragama bagi rakyat di kerajaannya dari sejak awal yang kemudian dapat dipegang erat oleh rakyatnya itu secara turun temurun sebagai mana apa yang menjadi warisan leluhur mereka sampai hari ini. Maka toleransi antar ummat beragama di Bali hari ini sesungguhnya bukanlah tercipta secara tiba tiba akan tapi sudah dibangun dalam rentang waktu yang telah berlangsung berabad abad lamanya yang telah dirumuskan azas azasnya terlebih dahulu oleh para penguasa/ raja dahulu yang pada akhirnya berbuah manis sampai kini dan hasilnya dapat dinikmati oleh umumnya masyarakat Bali sekarang ini. Wallahu a’lam bis Shawab
Oleh: Drs. H. Bagenda Ali, M.M/Penulis Buku AWAL MULA MUSLIM DI BALI